Ilustrasi. (redaksiaklamasi.org/Nur Aisyah Ramadhani)


redaksiaklamasi.org - Barangkali selama ini kita memiliki suatu pandangan bahwa seluruh sahabat Nabi Muhammad Al-Mustafa (tanpa kecuali) adalah contoh-contoh dan suri teladan yang patut kita teladani dan mereka itu pada masa hidupnya tak tersentuh oleh nafsu duniawi, mereka bersih dari dosa, mereka tidak serakah dan senantiasa berbuat baik.

Barangkali selama ini juga kita memiliki pandangan bahwa semua sahabat itu saling mencintai satu sama lainnya, mereka bekerja sama untuk menuju cita-cita Islam, mereka jauh dari saling membenci dan saling iri hati satu sama lainnya. Akan tetapi pandangan itu ternyata jauh panggang dari api.

Pandangan itu tidak sesuai dengan kenyataan sejarah. Memang, kita sebenarnya berharap bahwa hal itu benar, akan tetapi fakta-fakta dan bukti-bukti sejarah malah tidak mendukung sama sekali apa yang sudah diyakini sebagai kebenaran –yang ternyata politis ini.

Fakta-fakta sejarah yang kejam merobek-robek pandangan-pandangan itu, sehingga orang-orang yang mengagumi para sahabat akan terhenyak di kursinya apabila kenyataan sejarah yang sebenarnya sampai pada mereka semua.

Mereka hampir-hampir semuanya tidak sanggup menerima kenyataan bahwa keutamaan-keutamaan para sahabat yang mereka kagumi hanyalah mitos belaka. Seorang pengagum yang paling fanatik pun tidak bisa menyangkal bahwa ada pergulatan kekuasaan diantara para sahabat yang memuncak bahkan sebelum Rasulullah dikebumikan sekalipun.

Mereka tidak bisa menyangkal sedikitpun bahwa pergulatan politik seperti itu memang ada dan pernah terjadi.

Oleh karena itu, bukti-bukti sejarah yang melimpah yang tertulis dalam berbagai buku sejarah Islam yang standar itu bisa kita pakai untuk merekonstruksi sejarah, merekonstruksi pandangan kita terhadap para sahabat, merekonstruksi keyakinan kita akan Islam karena dari para sahabatlah kita mendapatkan Islam.

Sedangkan para sahabat itu tidak semua bisa kita percayai sesuai dengan apa yang kita lihat dalam sejarah.

Tidak masuk akal sehat kita apabila para sahabat itu sama semua dari segala aspeknya termasuk aspek keimanan dan ketakwaan. Bahkan para Nabi pun memiliki berbagai tingkatan ruhaniah, apalagi para sahabat yang hanya manusia biasa.

Tidak ada dua orang yang memiliki semua tingkat keimanan dan ketakwaan yang serupa.

Ketika mereka menerima Islam sebagai agama mereka, para sahabat Nabi itu adalah manusia biasa dan mereka memiliki preferensi yang berbeda-beda terhadap Islam. Masyarakat Islam yang ada pada waktu itu sama saja dengan yang ada pada hari ini. Masyarakat Islam pada waktu itu terdiri dari berbagai umat manusia dengan setiap karakter yang berbeda-beda.

Setelah memeluk Islam, beberapa dari mereka sanggup mencapai derajat keIslaman yang tinggi bahkan mencapai ke-ma’shuman seperti contohnya Imam Ali as, sedangkan yang lainnya tetap sama—keadaan sebelum dan sesudah masuk Islam sama saja.

Satu contoh kecil boleh disebutkan, yaitu ketika Khalid bin Walid tetap tidak menyukai Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah setelah memeluk Islam, karena ayahnya gugur di tangan Imam Ali dalam Perang Badar, ketika 313 pasukan Muslim membela diri dari 1000 pasukan Qurays yang menyerang mereka.

Bahkan, ada sejumlah riwayat yang mengisahkan bahwa Khalid bin Walid tetap menyukai arak dan bahkan memperkosa istrinya Malik bin Nuwairah setelah menyatakan diri sebagai muslim, lebih memihak orang-orang munafik seperti Amr bin Ash dan Muawwiyah bin Abu Sufyan.

Penulis : Sulaiman Djaya (Seorang Penulis sekaligus Dewan Kesenian Banten)
Editor : Nur Aisyah Ramadhani


0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top