Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Alauddin Makassar, Fhazlur Rahman Maloko (redaksiaklamasi.org/Andi Afri Taqbir) |
redaksiaklamasi.org - Ramadhan selalu menjadi inspirasi tersendiri bagi para
penunggunya, dsatu sisi Ramadhan juga menjadi bulan pembeda dengan bulan-bulan
lain yang kehadirannya sangat dinanti oleh ummat muslim dunia. Khusunya
indonesia, kita bisa jumpa beberapa kegiatan walau hanya sifatnya serimonial
masyarakat namun hampir utuh terpahmpakn bahkan sudah menjadi tradisi khusus
masyarakat sebagai bentuk langkah awal "menjemput"
kehadiran bulan yang mulia. Mulai dari ritual pembacaan ayat ayat suci,
melakukan ritual ritual sesuai budaya setempat (baca: kebiasaan atau ritual masyarakat indonesia menjemput Ramadhan)
sampai pada bunyi petasan silih berganti, entah relasi bunyi petasan dengan
puasa pada konteks edukasinya terletak pada titik yang mana, namun tidak bisa
dipungkuri karena ini hampir mengakar dimasyarakat.
Ramadhan (Puasa) sebagai Jalan menuju Fitrah (Mudik-Spiritual)
Ramadhan adalah bulan yang berkah, bulang
yang dirindukan kehadirannya dan yang terpenting adalah Ramdhan dijadikan
sebagai medium untuk mentarbiyyah-melatih diri untuk menuju janji Tuhan yakni
nilai taqwa kepada hamba-hamba Nya. Makanya tak salah jika Ramadhan
dijadikan sebagi medium atau cara kita pulang pada fitrah. Ramadhan disamping
menjadi kondisi waktu terjadinya sejarah menumental perjalanan kehidupan
beragama-Islam yakni laitul qadr malam dimana diturunkannya al-Qur'an yang
menjadi pegangan hidup ummat Islam, ia (Ramadhan) juga sebagi medium
ibadah yang baik bagi hamba-hamba Nya dan tentunya ia mengajarkan kita tentang
komitmen, bagaimana komotmen kita akan apa saja kebaikan yang kita
lakukan.
Berpuasa adalah salah satu anjuran
utama dalam keutamaan Ramadhan "KUTIBA
ALAYKUMUSSIYAAM ". Puasa wajib di bulan Ramadhan adalah sebuah
madrasah kehidupan bagi manusia yang dirancang secara komprehensif oleh Allah
swt agar setiap pribadi mukminin dapat mengikuti seluruh pelajaran yang ada di
dalamnya. Selanjutnya, momentum Ramadhan dapat dijadikan sebagai alat ukur
evaluasi terhadap kualitas diri dan pola laku kehidupan pribadi mukminin yang
tersimpul dalam taqwa. Dan puasa juga bukan hanua sekedar rutinitas ibadah
tahunan semat namun memeiliki kandungan nilai yang sangat kuat yang merefleksi
pada dimensi ketuhanan dan kemanusian.
Berpuasa berarti menahan,
menahan bukan hanya sekedar menahan dahaga dan lapar semata tapi juga
segala macam bentuk gangguan yang bisa merusak proses "latihan" yang bersifat non fisikal 'KAM MIN SHAIMA LAYSALAHU
ILLAL JUU' WAL ATS' (berapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak ada yang
didapatnya dari puasa itu kecuali lapar dan dahaga). Imsak,
adalah pesan yang mengandung makna yang kuat dengan puasa, karena
dialah yang akan menghubungkan kita dengan jalan pulang menuju fitrah.
Fitrah adalah kodrat manusia pada
mulanya yakni keadaan suci, bersih yang kemudian dipahami sebagai refleksi pada
kesadaran akan ketuhanan. Mudik spritual pada posisi ini dipahami sebagai
kondisi puncaknya keberadaan manusia pada konteka spritual yakni pencapaian
manusia dalam megarungi lautan menuju tepian muttaqien, menjadi pribadi yang
bebas-merdeka, pribadi yang meraih kemenangan setelah melewati cobaan, menahan
segala macam ego yang mencekam dan bertarung melawan hawa nafsu melalu puasa sebulan
penuh dibulan Ramadhan. Dengan demikian relasi fitra dengan ramadhan adalah
komitmen keberagamaan kita melalui ritual ibada Ramadhan yang kita
lakukan.
Maka dari itu, melihat penjelasn
diatas, tepat kiranya jika puasa adalah sebuah medium yang terencana dan
teratur dalam membingkai hambaNYa untuk terus menegakkan komitmen peng-hambaannya
dengan merefleksikan kedua dimensi-ketuhanan dan kemanusiaan dalam proses
kehidupan kedepannya dengan mengamalkan aman al-Baqara ayat 183 yakni Iman,
puasa dan Taqwa ssbagi medium utama dan universal.
Ramadahan sebagai Medium Baik untuk Mudik (Pulang-Kultural)
Ramadhan, disamping menjadi
laboratorium dalan melakukan ritual keagamaan, ia juga tak luput dari fungsi
yang bernada publik lainnya yakni wisata religi. Hampir disetiap penjuru
dunia yang dihuni oleh kaum muslimin, sudah bisa dipastikan mereka menjadikan
Ramadhan sabagi sebuah distenasi wisata yang bertemakan riligiusitas.
Hampir setiap sudut kota dan tempat ibadah ibadah direnov sebaik mungkin untuk
memikat para ummat muslim bertandang kerumah Allah tersebut, paling tidak mari kita
ambil poin positifnya dari realitas seperti ini.
Disamping itu, Ramadhan juga memiliki
spirit tertenu lainnya bagi ummatnya untuk merayakan atau terlibat didalamnya.
Budaya mudik hampir menjadi realitas yang lumrah kita saksikan setiap tahunnya
ketika bulang Ramadhan dan menjelang idul fitry, dan laku ini hampir dialami
oleh masyarakt muslim Indonesia pada khususnya. Mudik seperti ini juga bisa
dikatakan sebagai mudik biologis karena posisi ini hanya berorientas untik
memenuhi hasrta, ingin manusiawi semata karena hajat menghilangkan rasa rindu
pangkuan orang tua, sanak keluarga dan tentunya kampung halaman tercinta yang
mungkin sudah sekian lama tak tersentuh oleh mata kita.
Namun, pada posisi yang lain
proses mudik biologis ini menjadi kesan yang hedonistik jika hanya dijadikan
sebagai medium untuk memamerkan kemewahan, dan ini bisa saja terjadi akan
tetapi bukan hal itu yang diharapkan dan semoga tdak ditemukan kondisi-kondisi
seperti itu. Namun hal yang perlu diharapkan dibalik proses kultur mudik ini
adalah aspek sosiologisnya, yakni memulun talisilaturrahmi dengan sanak
keluarga yang mungkin sempat terlepas dan memanfaatkan momentum fitrah ini
untuk merajut kembali ikatan itu.
Sejauh manapun engkau berjalan maka
jalan yang paling baik adalah jalalan pulang. Maka pulanglah, karena dengan
pulang engkau akan tau dari mana engkau berasal.
Semoga semua kita manjadi pemenang
yang sejati melalui amal ibadah Ramadhan kita selama sebulan penuh.
Penulis : Fhazlur Rahman Maloko (Mahasiswa Pasca Sarjana UIN
Alauddin Makassar)
Editor : Andi Afri Taqbir
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar