Syasroni Ramli, Kabid
PAO Badko HMI Sulselbar. (redaksiaklamasi.org/Andi Haerur Rijal) |
Ini bisa jadi awal munculnya calon rektor yang tidak kompeten jika hanya lewat penunjukan, sangat syarat akan kepentingan, biarlah kementrian terkait bersama dengan senat perguruan tinggi yang menentukan siapa rektor terpilih. Dan jika presiden ikut-ikutan menentukan siapa rektor sebuah kampus saya rasa terlalu jauh kewenangannya memasuki dunia akademik yang seharusnya punya wilayah otonom tersendiri dalam menentukan struktur kepemimpinannya.
Disisi lain, beberapa kebijakan presiden sendiri yang mengeluhkan tentang padatnya jadwal agenda ke presidenan hingga kadang ia tak bisa melakukan semuanya bahkan sering lupa bahwa dirinya bertanda tangan.
Contoh kasus, keluarnya Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2010 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka Bagi Pejabat Negara pada Lembaga Negara untuk Pembelian Kendaraan. PP Nomor 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terbit 6 Desember 2016.
Kampus sebagai wahana berkecimpungnya para akademisi seharusnya menjadi contoh miniatur sistem demokrasi. Malah sebenarnya dengan sistem pemilihan yang saat ini dengan kuota suara 30 persen milik kementerian, juga bisa dikatakan syarat akan kepentingan politik, apalagi dengan sistem yang coba diterapkan hari ini dengan penunjukan langsung oleh presiden.
Cara seperti ini menunjukkan upaya diktatorian masuk dalam struktur kepemimpinan universitas. Coba kita menoleh bagaimana sistem pemilihan rektor di negara maju yang mengedepankan nuansa akademik-demokratis. Justru mampu menjaga marwah nuansa akademik tidak tercemari dengan kepentingan ‘luar’ dan murni mempertimbangkan pendapat ilmiah dalam memilih pimpinan universitas.
Amerika Serikat ialah contoh negara yang mendukung mimbar kebebasan akademik. Pemerintah AS punya kewenangan intervensi terhadap pendidikan yang berkaitan dengan empat hal:
(1) Demokrasi dan kebebasan akademik
(2) Menyangkut kesamaan peluang dalam pendidikan bagi semua penduduk,
(3) Meningkatkan produktivitas nasional, dan
(4) Memperkuat pertahanan keamanan nasional.
Dari keempat kewenangan pemerintah AS tersebut, tidak satupun menyebutkan adanya upaya pengekangan mimbar akademik dalam memilih struktur kepemimpinan kampus. Malah poin pertama mendukung adanya demokrasi dan kebebasan akademik.
Apalagi melarang civitas akademika berpolitik seperti yang baru-baru ini juga dilayangkan pemerintah terkait pelarangan kegiatan politik di kampus oleh mahasiswa. Persoalan yang mengganjal sebenarnya dan menjadi sebuah ketakutan adalah syaratnya kepentingan dan intrik politik yang terlalu meluas sampai di meja presiden.
Dalam menentukan siapa ya g akan menduduki jabatan rektor. Lahan akademik jangan dibawa sampai pada kepentingan politik nasional. Biarlah sekalipun ada politik dalam pemilihan calon rektor namun masih dalam skala lokal kampus tersebut. Dan menjadi dinamika serta pembelajaran bagi civitas akademika, karena kalau sudah keluar dari situ (kampus) maka bisa jadi akan banyak kepentingan yang menungganginya.
Gaya penunjukan sepihak seperti ini justru tidak menunjukkan indonesia sebagai negara demokrasi. Tidak ada jaminan yang nyata hal ini tidak mendapat protes dan kritikan dari berbagai pihak, baik dari benturan akademik, hukum maupun politik. Hal ini bisa menjadi ancaman tersendiri dan buah simalakama bagi pemerintah jika tetap bersikukuh menerapkan sistem ini.
Oleh : Syasroni Ramli, Kabid PAO Badko HMI Sulselbar
Editor : Andi Haerur Rijal
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar