Ilustrasi. (redaksiaklamasi.orrg/Andi Afri Taqbir)


redaksiaklamasi.org - Heh.. kau yang gondrong keluar!
Mengapa?
Kau tidak rapi, gayamu aca-acakan saya tidak suka.
Tetapi kan bukan rambut ku yang mau belajar, nah terus mengapa di permasalahkan.
Saya tidak mau tau, yang jelasnya saya tidak terima berambut gondrong.

Mungkin kita pernah merasakan hal yang diatas atau cerita dari kawan kita yang berambut gondrong. Hal yang membuat ku bingung kepada mereka, mengapa kami yang berambut gondrong malah di marjinalkan, ruang untuk belajar sampai mengurus perihal akademik kami di batasi? Apakah kami pencuri, pembuat onar atau oarang jahat di mata kalian? Lantas demikian, adakah landasan yang akurat mengenai sangkaanmu kepada kami. Jangan sampai itu hanya pemahaman warisan dari orde baru yang melakukan operasi pemberantasan para pemuda berambut gondrong, yang nota benenya merupakan bentuk praktik kekuasaan terhadap masyarkat berambut gondrong. Mari kita lihat latar belakangnya.

Sejarah Kelahiran Praktik Kekuasaan Terhadap Rambut di Indonesia

Mahasiswa pada tahun 60-90an di identik dengan gondrong, aktifis yang kritis di segi menganalisis akan realitas, baik itu di segi pemerintahan, tatanan dunia yang semakin di kuasai oleh Negara Adikuasa,  sebagian orang beranggapan bahwa berambut gondrong merupakan cerminan dari kemerdekaan yang di miliki oleh menusia dan mengimplementasikan dalam bentuk perlawanan terhadap system pemerintahan yang fasis, zalim, dan otoriter yang ujungnya hanya menindas dan tidak mengedepankan kepentingan rakyat. Tetapi apa yang melatar belakangi stigma atau anggapan buruk terhadap orang yang berambut gondrong? semua di mulai pada Gerakan 30 September PKI 1965 (G3oS PKI) yang dimana kejadian yang sangat tergelap, tertutup, dan sangat tidak manusiawi, berbagai cara yang dilakukan dan propaganda yang sedemikian rupa diciptakan demi menghalalkan peristiwa ini terjadi, diawali dari pembantaian dan pembunuhan 6 Jendral dan 1 Kolonel Indonesia yang tidak diketahui alasannya tetapi sangat jelas kepada siapa ditujukan dampak dari peristiwa ini.

Partai Komunis Indonesia (PKI) besar dikarenakan Ideologi yang sangat sosialis dan sesuai dengan kondisi masyarakat yang baru terjajah yang dimana antek-antek kolonialisme masih berkuasa dengan cara penguasaan lahan yang sangat luas, dan lagi jumlah mereka yang sangat sedikit (minoritas) dan dikenal Feodalisme (tuan tanah). “lahan untuk penggarapnya” kata Soekarno, di karenakan petani gurem(buruh tani) semakin tertindas sebab lahan hanya di kuasai oleh segelintir orang saja. Menghilangkan budaya Feodalisme merupakan cita-cita dari ideologi PKI yaitu masyarakat tanpa kelas yang dimulai dari pemerataan sarana prosuksi. Hal malah di dukung lagi dengan program Land Reform yang dalam pengertiannya“Perundang-undangan [Legislasi] yang di niatkan dan benar-benar di peruntukkan meredistribusikan kepemilikan, [mewujudkan] klaim-klaim, atau hak-hak atas pertanian, dan di jalankan untuk memberi manfaat pada kaum miskin dengan cara meningkatkan status, kekuasaan, dan pendapatan absolute maupun relative mereka, berbanding dengan situasi tanpa perundang-undangan tersebut”. Lipton,2009:328. Yang di sahkan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1960 dan di kenal dengan UUPA (Undang-undang pokok agraria).

Program Land Reform dan UUPA tidak berlangsung lama, setelah pengkudetaan Soekarno terjadi dengan penumpasan berjuta orang di lakukan tanpa ada jiwa kemanusiaan terselip sekalipun dalam benak mereka. Tragedi yang membawa Rezim Soeharto ketampuk kekuasaan dalam pemerintahan. Setelah di ambil alih kekuasaan dari tangan soekarno, maka rezim soeharto kembali melahirkan tragedi yang dikenal zaman pembungkaman. Tidak sampai di situ, bahkan pemusatan kekayaanpun terjadi ke tangan para oligarki sehingga semakin melebarnya jurang kaya-miskin.

Larangan gondrong meruak setelah hadirnya Pangkopkamtib Jendral Soemitro di siaran nasional Indonesia (TVRI) pada tanggal 1 Oktober 1973, dalam perbincangan di media Pangkopkamtib Jendral Soemitro mengatakan bahwa rambut gondrong membuat pemuda menjadi onverschillig alias acuh tak acuh. Razia di berbagai kota dilakukan dijalan oleh aparat tidak untuk memeriksa surat-surat kendaraan dan senjata yang mereka bawa tidak lagi AK-47 atau M-16, tetapi gunting rambut. Orde Baru bukan hanya sebagai penumpas PKI tetati juga penumpas Rambut Gondrong, kejadian ini bukanlah permasalahan yang mesti kita sepelekan di karenakan peristiwa larangan gondrong suatu bentuk Praktek Kekuasaan pemerintah yang bersifat otoriter dan kesewenang-wenangan.

Rambut gondrong di anggap sebagai ancaman bagi Negara, mengapa. Apakah kami adalah pemberontak di hadapan mereka ataukah kegelisahan yang coba mereka hilangkan dari Negeri ini, kegelisahan akan terungkapnya tindak  kekejaman, dan kebohongan besar yang mereka buat akan kejadian sebenarnya dari peristiwa 2 hari tergelap sejarah Indonesia atau menguat berbagai kepentingan-kepentingan yang lahir dari Orde Baru. Pemberantasan rambut gondrong tidak ada bedanya dengan penumpasan PKI yang tidak memiliki alasan yang rasional dan tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, ini merupakan perampasan hak-hak kemanusiaan. Peristiwa semacam ini tidak lain merupakan senjata mereka dalam menstigmatisasi rakyat hanya untuk melancarkan pembungkaman, penghukuman tanpa landasan etis dan perampasan hak dalam mengekspresikan kehidupan kita.

Pencitraan berambut gondrong yang di muat dalam media selalu di antagoniskan, peristiwa pemerkosaan, merampok, merampas, memeras, dan pecandu narkotika merupakan ulah dari perambut gondrong (Angkatan Bersenjata, 3 Agustus 1973; Indoneia Raya, 12 Agustus 1973; Dilarang Gondrong, Aria Wiratma Yudhistira: Marjin Kiri), kini kejahatan tidak lagi di lakukan oleh orang yang berambut gondrong seperi pencitraan yang mereka buat, justru kebalikan dari pencitraan yang mereka buat, para orang-orang ber Jas, ber Dasi, dan ber Rambut rapi yang melakukan kejahatan yang sangat besar dan di kenal dengan Tikus-tikus kantor yang di katakan Iwan fals. Berambut gondrong merupakan cerminan kemerdekaan bagi kami dan juga sebagai bentuk perlawanan terhadap Neoliberalisme, Kapitalisme, yang sudah membuat rakyat berjuang sendiri tanpa ada keberpihakan pemerintah lagi. Sepenggal kutipan dari salah satu novel, Dalam hal bungkam-membungkam para penulis, kekuasaan lebih sering terlihat menggelikan ketimbang mengerikan. Aparat boleh di kerahkan, senjata boleh dibidikkan, tapi kenyataan sejarah selalu menjawab sama: percuma (Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta, Luis Sepulveda: Marjin Kiri).

“Pada era ’70-an biasanya perampok diberitakan berambut gondrong, tetapi pada era ’90-an penculik para aktivis di kabarkan berambut cepak” (Asvi Warman Adam sejarawan LIPI).

“Secerdas-cerdasnya sipembuat system (system dehumanisasi) lebih cerdas orang yang mengetahui system ini dan bangun untuk melawanya”. 


Oleh : Rizal Karim (Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar, Kader HMI Komisariat Syariah dan Hukum Cabang Gowa Raya serta Anggota di SIMPOSIUM DPP SULSEL)

Editor : Andi Afri Taqbir


0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top