Salah Seorang Penggagas NDP HMI, Sakib Machmud. (redaksiaklamasi.org/Ilham Khalif)


redaksiaklamasi.org - Surah yang diletakkan Rasul dalam mushaf Al-Quran pada urutan ke 112 ini dinamai Al-Ikhlas, yang berarti murni atau tulus. Para ulama sepakat bahwa surah ini Makkiyah, diturunkan sebelum Rasulullah Saw hijrah ke Madinah. Para mufassir bahkan menyatakan bahwa Al-Ikhlas termasuk surah yang diturunkan pada awal kenabian. Di antara mereka ada yang secara eksplisit mengemukakan bahwa surah ini merupakan wahyu ke sembilan belas, disampaikan kepada Rasul sesudah surah ke 105, Al-Fil. Mengapa diletakkan di mushaf sesudah Al-Lahab? Ulama tafsir menyatakan bahwa ada kaitan erat antara kedua surah tersebut. Al-Lahab membicarakan orang yang mengingkari Allah sedangkan Al-Ikhlas menerangkan siapa dan bagaimana Allah yang diingkari sebagian orang itu. 

Ada berbagai riwayat yang dikatakan sebagai sababun nuzul atau latar belakang turunnya surah Al-Ikhlas. Semuanya tentang orang-orang yang menanyakan kepada Rasulullah, bagaimanakah Tuhan itu? Di antara mereka itu ada yang bertanya semata-mata karena hendak menguji atau mengejek, tetapi ada pula yang bertanya karena benar-benar ingin tahu. Pada ayat-ayat yang turun sebelumnya, Tuhan selalu dinyatakan dengan istilah Rabb, yang berarti Pemelihara, Pelindung dan Pembina alam semesta beserta segala isinya. Maka orang-orangpun ingin tahu bagaimana sebenarnya Rabb itu, berapa jumlahnya, di mana tempat tinggalnya, bagaimana bentuknya, dan sebagainya. Surah Al-Ikhlas memberikan jawaban yang jelas terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Marilah kita awali kajian terhadao surah ke 112 ini dengan membaca ayatnya yang pertama:

Katakanlah (Wahai Rasul): Dialah Allah yang Maha Esa.

Ayat yang baru saja kita baca tadi dimulai dengan perkataan قُلْ yang berarti Katakanlah. Perkataan tersebut sesungguhnya merupakan perintah Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad Saw. Akan tetapi karena merupakan bahagian dari Al-Quran, Rasulullah membacakan dan mengajarkan kepada umat persis seperti yang diwahyukan kepada beliau. Ini menunjukkan salah satu sifat Rasul yaitu tabligh, menyampaikan segala wahyu yang beliau terima tanpa mengurangi sedikitpun juga. Dengan bukti ini kita bertambah yakin bahwa seluruh ayat Al-Quran yang berjumlah 6236 itu benar-benar berasal dari Allah Swt. Muhammad Saw tidak menambah, menambah atau mengu-rangi, meskipun hanya satu patah kata saja. 

Ulama tafsir menyatakan bahwa kata قُلْ yang terdapat pada surah Al-Kafirun maupun surah Al-Ikhlas ini mengantarkan suatu pesan yang sangat penting. Apakah pesan penting yang diantar oleh perkataan قُلْ pada surah Al-Ikhlas? هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ - Dialah Allah yang Maha Esa. Kalau kita agak peka dalam mengikuti susunan perkataan dalam surah ini, pasti kita akan bertanya: Mengapa tiba-tiba ada perkataan هُوَ yang berarti dia? Bukankah sebelum itu tidak ada perkataan apa-apa? Seandainya sebelum kata هُوَ itu sudah ada pembicaraan tentang Tuhan, tidak akan menjadi masalah. Tetapi dalam ayat ini tidak ada perkataan apa-apa. Para ahli bahasa menerangkan bahwa ini merupakan suatu gaya bahasa untuk menunjukkan,, akan disampaikan sesuatu yang sangat penting. Kata قُلْ sudah menugantarkan pesan penting, kemudian kata هُوَ menunjuk pula hal yang sama. Maka hal itu berarti bahwa pesan yang akan disampaikan benar-benar sangat penting.

Pesan atau keterangan yang amat sangat penting itu adalah: bahwa Allah itu ahad - satu. Ada perkataan yang seakar dengan ahad yaitu wahid. Tetapi menurut mufassir ada perbedaan antara dua perkataan itu. Ahad adalah satu yang tidak ada duanya, satu yang tidak bisa digabung dengan sati-satu yang lain, sedangkan wahid artinya satu, tetapi bila digabung dengan satu yang lain menjadi dua, digabung dengan satu yang lain lagi menjadi tiga, dan seterusnya. 

Untuk menerangkan hal tersebut, maka orang menerjemahkan ahad-nya Allah ke dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan perkataan Maha Esa. Sebenarnya ada kata yang lebih tepat dan lebih sederhana yaitu “satu-satunya”. Maka قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ bermakna: Dia Allah adalah satu-satunya Tuhan. Inilah keyakinan yang disebut tauhidullah me-Maha Esa-kan Allah. Ulama aqidah menerangkan, keyakinan tauhid itu mencakup dua hal. Yang pertama adalah Tauhid Rububiyyah – meyakini Allah sebagai satu-satunya Pencipta, Pengatur, Pemelihara dan Penguasa alam semesta beserta semua isinya. Yang kedua Tauhid Uluhiyyah – mengakui Allah sebagai satu-satunya yang disembah dan yang kepada-Nya setiap orang berserah diri. 

Ulama menguraikan lebih lanjut bahwa Allah adalah Esa dalam zat-Nya, Esa dalam sifat-sifat-Nya dan Esa dalam perbuatan perbuatan-Nya. Allah Esa dalam zat-Nya berarti Allah itu satu dan tidak terbagi-bagi. Marilah kita bandingkan dengan manusia. Masing-masing Anda pendengar KLCBS adalah satu orang, tetapi terdiri atas jasmani dan ruhani. Jasmani Anda terbagi pula atas kepala, badan, tangan, kaki dan sebagainya. Kepala juga terdiri atas mata, telinga, otak, rambut dan sebagainya. Begitu seterusnya. Sedangkan Allah, sebagaimana yang kita bicarakan tadi, satu yang tidak terbagi-bagi. 

Allah Esa dalam sifat-sifat-Nya, artinya sifat-sifat Allah hanya ada pada Dia dan tidak dimiliki oleh selain-Nya. Allah Maha Penyayang, maka kasih sayang Allah itu tidak berbatas dan Dia tidak mengharapkan sesuatu apapun dari siapapun. Berbeda dengan ayah dan ibu yang meskipun menyayangi anaknya, tetapi tetap berbatas dan sedikit banyak mempunyai pamrih tertentu kepada yang disayanginya itu. Allah Esa dalam perbuatan-perbuatan-Nya, artinya perbuatan Allah hanya dapat dilakukan oleh Dia tidak oleh siapapun selain Dia. 

Allah Maha Pencipta, karena mencipta dari tidak ada menjadi ada. Kalau seseorang dikatakan mencipta, dia hanya menyusun, mengubah bentuk, memadukan, dan mengolah untuk mewujudkan sesuatu dari bahan-bahan yang sudah ada. Itulah perbedaan antara satu-Nya Allah dengan satunya makhluk. Maka karena Allah adalah satu-satunya, dan Dia telah mencipta manusia dari tidak ada menjadi ada, kemudian menempatkan makhluk ini di bumi yang menyediakan segala keperluan hidupnya, lalu memberinya kemampuan untuk mengusahakan kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang sangat banyak, lalu memberi petunjutk mengenai benar dan salah serta baik dan buruk, sudah sepantasnyalah manusia menyembah Allah dan hanya menyembah Dia. Sudah sewajarnya menusia berserah diri kepada Allah dan berserah diri hanya kepada-Nya. Dalam rumusan ulama, tauhid Rububiyah berkonsukuensi pada tauhid Uluhiyah. Kalau pemahaman ini tertanam di hati seseorang, dia akan tunduk dan patuh kepada Allah, tidak dengan perasaan terpaksa tetapi suka rela dan gembira. Orang yang demikian itulah yang bersikap Islam – maka dia disebut muslim. 

Keyakinan dasar yang dituangkan dalam ayat pertama surah Al-Ikhlas sebagaimana kita bicarakan tadi merombak kepercayaan yang dianut oleh umumnya bangsa Qureisy selama berabad-abad. Mereka juga percaya bahwa ada yang mencipta dan memelihara alam dan manusia, bahkan yang mencipta serta memelihara segala sesuatu itu juga mereka sebut Allah. Ayat 61 surah 29 Al-‘An-kabut menyatakan: وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: Siapakah yang mencipta langit dan bumi serta menundukkan matahari dan bulan, niscaya mereka menjawab: Allah. فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ Maka mengapa mereka itu berpaling dari jalan kebenaran? Orang-orang Qureisy meskipun percaya kepada Allah tetapi juga mempercayai adanya kekuatan-kekuatan yang turut menggerakkan segala sesuatu; mereka adalah washilah – perantara manusia dengan Allah. 

Maka untuk mendekatkan diri kepada Allah orang-orang Qureisy menyembah berhala. Untuk mengajukan permohonan kepada Allah mereka datang mempersembahkan sesaji kepada berhala-berhala, yang mereka namai Al-Lata, Al-Uzza, Manat, dan lain-lain. Kepercayaan demikian itu ternyata dianut pula oleh banyak orang di tempat-tempat lain, termasuk sebagian orang Indonesia pada masa sekarang ini, bahkan yang mengaku dirinya muslim, bahkan juga yang menunaikan shalat lima waktu, puasa Ramadhan, telah melaksanakan ibadah haji. Di antara mereka ada yang datang ke makam ulama terkemuka untuk berdoa kepada Allah. Mereka berharap, ruh tokoh yang jasadnya dimakamkan di situ akan mengantarkan doa tersebut kepada Allah. Sayang sekali, banyak orang yang belum menghayati petunjuk Allah yang secara sangat tegas dan jelas dinyatakan dalah satu kalimat: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ .

Penulis : Sakib Machmud (Salah Seorang Penggagas NDP HMI)
Editor : Ilham Khalif

0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top