Ilustrasi. (redaksiaklamasi.org/Andi Afri Taqbir)

redaksiaklamasi.org - “Siapa yang tahu di mana kedua anakku,
Dua mutiara, baru lepas dari kerang,
Siapa yang tahu di mana kedua bocahku,
Kuping dan jantung hatiku telah diculik orang,
Siapa yang tahu di mana kedua puteraku,
Sumsum tulang dan otakku disedot orang,
Kudengar Busr, aku tidak percaya apa orang bilang,
Berita itu bohong, mana mungkin ia lakukan,
Menyembelih dua bocah, leher kecil ia potong?
Aku bingung, tunjukkan kepadaku, sayang,
Mana bayiku, tersesat setelah salaf hilang”

Mu’âwiyah bin Abu Sufyan, disebut sebagai fi’ah al-baghiah atau kelompok pembangkang (bughot) oleh Sunnî maupun Syî’î, karena ia memerangi Imâm Alî yang telah dibaiat secara sah oleh kaum Anshâr dan Muhâjirîn. Hanya sekitar enam orang yang tidak membaiat Alî tetapi Alî membiarkan mereka. Di antara yang tidak membaiat Alî bin Abî Thâlib adalah Abdullâh bin Umar dan Sa’d bin Abî Waqqâsh.

Mu’âwiyah memberontak terhadap Alî. Sejak Utsmân meninggal tahun 35 H, 656 M. Mu’âwiyah melakukan tiga cara untuk melawan Alî bin Abî Thâlib:

[1] Melakukan pembersihan etnik terhadap Syî’ah Alî dengan melakukan jenayah (invasi pembantaian) ke wilayah Alî. Pembunuhan terhadap Syî’ah Alî dilakukan terhadap lelaki maupun anak-anak. Perempuan dijadikan budak. Menyuruh seseorang melaknat Alî, dan bila ia menolak langsung dibunuh.

[2] Melaknat Alî dalam khotbah-khotbah Jum’at, Idul-Fithri dan Idul-Adha di seluruh negara. Juga pada musim haji di Makkah.

[3] Membuat hadis-hadis palsu untuk menurunkan martabat Alî serendah-rendahnya dan membesarkan dirinya serta ketiga khalîfah awal.


MEMBUNUH, SEMBELIH BAYI, PERBUDAK MUSLIMAH

Tatkala khalîfah Alî masih hidup, yaitu setelah tahkim, Muawwiyah mengirim ‘mâlikil maut’ yang bernama Busr bin Arthât dengan 4.000 anggota pasukan berkeliling ke seluruh negeri untuk membunuh siapa saja pengikut dan sahabat Alî yang ia temui termasuk perempuan dan anak-anak, kemudian merampas harta bendanya. Perempuan Muslimah ditawan dan dijadikan budak untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam. Busr melakukannya dengan baik sepanjang perjalananya sampai ia tiba di Madînah dan ia telah membunuh ribuan Syî’ah Alî yang tidak bersalah.

Abû Ayyûb Al-Anshârî, rumahnya ditempati Rasûl Allâh saw tatkala baru sampai di Madînah ketika hijrah, pejabat gubernur Alî di Madînah, melarikan diri ke tempat Alî di Kûfah.

Kemudian Busr ke Makkah dan membunuh sejumlah keluarga Abî Lahab. Abû Mûsâ, gubernur Alî juga melarikan diri. Ia lalu ke Sarat dan membunuh semua yang turut Alî di perang Shiffîn. Sampai di Najran ia membunuh Abdullâh bin Abdul Madân Al-Harâ’î dan anaknya, ipar keluarga Banû Abbâs yang ditunjuk Alî sebagai gubernur. Kemudian ia sampai di Yaman. Pejabat di sana adalah Ubaidillâh bin Abbâs. Ubaidillâh melarikan diri tatkala mengetahui kedatangan Busr. Busr menemukan kedua anaknya yang masih balita. Ia lalu menyembelih dengan tangannya sendiri kedua anak itu di hadapan ibunya.

Kekejamannya sukar dilukiskan dengan kata-kata dan memerlukan buku tersendiri. Seorang dari Banû Kinânah berteriak tatkala Busr hendak membunuh kedua anak tersebut:

“Jangan bunuh mereka! Keduanya adalah anak-anak yang tidak berdosa dan bila Anda hendak membunuhnya, bunuhlah saya bersama mereka.” Maka Busr bin Arthât membunuhnya kemudian menyembelih kedua anak yang berada di tangan ibunya, yaitu Qatsm dan Abdurrahmân. Sang ibu, Juwairiah binti Khâlid bin Qârizh Al-Kinânîah, istri Ubaidillâh bin Abbâs jadi linglung dan gila. Di musim haji ia berkeliling mencari kedua anaknya dan dengan menyayat hati ia bertanya tentang anaknya yang kemudian ditulis oleh penulis-penulis sejarah seperti yang tertulis dalam Al-Kâmil berikut:

“Siapa yang tahu di mana kedua anakku,
Dua mutiara, baru lepas dari kerang,
Siapa yang tahu di mana kedua bocahku,
Kuping dan jantung hatiku telah diculik orang,
Siapa yang tahu di mana kedua puteraku,
Sumsum tulang dan otakku disedot orang,
Kudengar Busr, aku tidak percaya apa orang bilang,
Berita itu bohong, mana mungkin ia lakukan,
Menyembelih dua bocah, leher kecil ia potong?
Aku bingung, tunjukkan kepadaku, sayang,
Mana bayiku, tersesat setelah salaf hilang”


Ia juga mengirim Sufyân bin Auf Al-Ghamidi dengan 6.000 prajurit menyerbu Al-Anbar dan Al-Mada’in. Di sini mereka membunuh pejabat Alî Hassân bin Hassân Al-Bakrî dan orang-orangnya.

Kemudian di Anbar mereka membunuh 30 dari seratus orang yang mempertahankan kota ini, mengambil semua barang yang ada, membumihanguskan kota Al-Anbar sehingga kota itu hampir lenyap. Orang mengatakan bahwa pembumihangusan ini sama dengan pembunuhan, karena hati korban sangat pedih sekali.

Kepedihan Alî tidak terlukiskan sehingga ia tidak dapat membaca khotbahnya dan menyuruh maulânya yang bernama Sa’d untuk membacakannya. Al-Aghânî melukiskan bahwa setelah Ghamidi sampai di kota Anbar ia membunuh pejabat Alî dan juga membunuhi kaum lelaki maupun perempuan.

Mu’âwiyah juga mengirim Dhuhhâk bin Qays Al-Fihrî dengan pasukan yang terdiri dari 4.000 orang ke kota Kûfah untuk membuat kekacauan dengan membunuh siapa saja yang ditemui sampai ke Tsa’labiah dan menyerang kafilah haji yang akan menunaikan haji ke Makkah serta merampok semua bawaan mereka. Kemudian ia menyerang Al-Qutqutanah dan turut dibunuh kemanakan Ibnu Mas’ûd, sahabat Rasûl, Amr bin Uwais bin Mas’ûd bersama pengikutnya. Fitnah di mana-mana. Di mana-mana bumi disiram dengan darah orang yang tidak berdosa.

Pembersihan etnik terhadap Syî’ah Alî berjalan dengan terencana dan mengenaskan. Kemudian Mu’âwiyah mengirim Nu’mân bin Basyîr[[1]] pada tahun 39 H, 659 M, menyerang Ain at-Tamr[[2]] dengan 1.000 prajurit dan menimbulkan bencana. Di sana hanya ada seratus prajurit Alî. Perkelahian dahsyat terjadi. Untung, kebetulan ada sekitar 50 orang dari desa tetangga lewat. Pasukan Nu’mân mengira bantuan datang untuk menyerang dan mereka pergi.

CATATAN:
[1] Nu’mân bin Basyîr al-Anshârî al-Khazrajî, tatkala Rasûl wafat berumur delapan tahun tujuh bulan. Ia adalah anak Basyir bin Sa’d, teman Abu Bakar; lihat Bab 8, Pembaiatan Abû Bakar. Ia yang membawa baju gamis Utsmân yang penuh darah serta potongan jari istri Utsmân, Nailah, ke Damaskus untuk dipamerkan dan membangkitkan emosi untuk memerangi Alî. Ia akhirnya dibunuh di zaman Marwân, dipenggal lehernya oleh Banû Umayyah yang dibelanya dan kepalanya dilemparkan ke pangkuan istrinya.
[2] Ain at-Tamr, sebuah kota dekat al-Anbar, sebelah Barat Kûfah.

Oleh : O Hashem
Editor : Andi Afri Taqbir


0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top