http://www.redaksiaklamasi.org/2017/06/pendidikan-formal-dan-kapitalisme.html
Ilustrasi. (redaksiaklamasi.org/Andi Muh Ridha R)

redaksiaklamasi.org - “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk tempat sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar dan murid bukan kerbau” (Soe Hok Gie).
Pendidikan merupakan hal yang paling sering kita dengar ketika berbicara persoalan menjadi manusia, pendidikan atau bisa di bilang proses memanusiakan manusia ini, adalah kebutuhan bagi manusia itu sendiri. Manusia pada hakikatnya merupakan mahkluk social, yang berarti harus peduli terhadap sesamanya. Untuk menciptakan sebuah kepedulian terhadap sesamanya, manusia harus sadar dari mana dirinya?, Untuk siapa dia?, Dan nantinya akan kemana dia?, dan ini semua akan di bentuk lewat pendidikan itu sendiri.

Dalam situasi sekarang ini, ketika kekuatan dominan menguasai sistem kehidupan dunia, kebanyakan masyarakat tenggelam dalam logika untung-rugi. Kapitalisme dengan tujuan akumulasi kapitalnya, menjadikan setiap rana kehidupan manusia sebagai lahan untuk menghasilkan keuntungan lebih, di tambah lagi dengan sebuah sistem pasar bebas yang tidak terhalang oleh batas-batas territorial. Dan inilah yang menjadikan Kapitalisme masuk dalam setiap kehidupan manusia, salah satunya pendidikan formal.


Sekarang pendidikan formal menjadi sangat kapitalistik, dengan adanya logika kompetisi, pembagian strata social yang di tinjau dari pembayaran biaya pendidikan, pembungkaman terhadap sikap kritis, dan berbagai macam exploitasi lainnya. Pendidikan yang awalnya menjadi sebuah predikat terhadap pembentukan manusia, kini menjadi sarana produksi untuk menciptakan komoditi yang siap di pasarkan ke perusahaan-perusahaan atau perkantoran dan bahkan aparatur Negara demi melindungi sistem yang dominan, dan ini merupakan proses kapitalisasi bagi masyarakat. Kita bisa melihat hal ini dalam proses pembelajaran formal, mulai dari SD, SMP, SMA, sampai tingkat Perguruan Tinggi.

Ada beberapa doktrin kapitalisasi yang muncul, mulai dari kurikulum yang lebih menonjolkan pelajaran yang bersifat pasti dan perlahan menghilangkan pelajaran yang berbau mitos, seperti budaya dan sejarah. Bagaimana juga pemerintah mengeluarkan program wajib sekolah selama 9 tahun dengan gratisnya biaya SPP, tapi buku tulis dan seragam sekolah menjadi tanggungan pribadi pelajar, mungkin ini yang di katakan Abdur seorang stand up comedyan  

“seperti halnya kita tidur itu gratis tapi ketika tutup mata bayar”

Beberapa anekdot juga yang muncul seperti “Time is money” dalam sebuah pembelajaran formal, menjadikan pelajar untuk lebih menghargai uang ketimbang orang lain. Ini jelas sejalan dengan tujuan Kapitalisme akan Akumulasi Kapitalnya.

Dalam pendidikan formal sekarang, terjadi kemerosotan kesadaran yang berbasis social. Hilangnya kesadaran kritis, hilangnya kesadaran akan sebuah rekayasa sosial, dan pastinya hilangnya juga kesadaran kita sebagai makhluk social. Jadi bukannya memproduksi Intelektual organik, malah mereproduksi Intelektual itu sendiri. Padahal pendidikan harus menjadi wadah bagi masyarakat untuk melakukan revolusi mental. Seperti yang di katakana oleh salah satu tokoh Mazhab Frankfrut asal Italy yaitu Antonio Gramscy tentang bagamana pentingnya sebuah kesadaran terhadap terciptanya hegemoni. Intelektual organik yang menurutnya merupakan actor utama dari pembentukan kesadaran bagi masyarakat harus melakukan perbaikan diri terlebih dahulu ketika ingin memunculkan kesadaran tersebut, karena kesadaran yang di bungkus dalam blok historis akan menjadi kuat, dan syaratnya melalui intelektual organik yang lahir di tengah-tengah masyarakat. Jadi wajar ketika nantinya di perguruan tinggi ada sebuah sapaan yang muncul bahwa 

“di bangku kuliah kita hanya mendapatkan 10% ilmu pengetahun atau bahkan tidak sama sekali dan sisanya ada di luar kampus”.

Oleh : Muh. Firman Rusyaid (Ketua Umum SIMPOSIUM SULSEL)
Editor : Andi Muh Ridha R








0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top