Ilustrasi. (redaksiaklamasi.org/Andi Muh Ridha R) |
redaksiaklamasi.org - “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk tempat sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar dan murid bukan kerbau” (Soe Hok Gie).
Pendidikan
merupakan hal yang paling sering kita dengar ketika berbicara persoalan menjadi
manusia, pendidikan atau bisa di bilang proses memanusiakan manusia ini, adalah
kebutuhan bagi manusia itu sendiri. Manusia pada hakikatnya merupakan mahkluk
social, yang berarti harus peduli terhadap sesamanya. Untuk menciptakan sebuah
kepedulian terhadap sesamanya, manusia harus sadar dari mana dirinya?, Untuk
siapa dia?, Dan nantinya akan kemana dia?, dan ini semua akan di bentuk lewat
pendidikan itu sendiri.
Dalam
situasi sekarang ini, ketika kekuatan dominan menguasai sistem kehidupan dunia,
kebanyakan masyarakat tenggelam dalam logika untung-rugi. Kapitalisme dengan
tujuan akumulasi kapitalnya, menjadikan setiap rana kehidupan manusia sebagai
lahan untuk menghasilkan keuntungan lebih, di tambah lagi dengan sebuah sistem
pasar bebas yang tidak terhalang oleh batas-batas territorial. Dan inilah yang
menjadikan Kapitalisme masuk dalam setiap kehidupan manusia, salah satunya
pendidikan formal.
Baca Juga : Sebagai Wadah Gerakan Intelektual Kolektif, Lembaga Kajian Mahasiswa Gowa (LKMG) akan Deklarasi Bulan Juli
Sekarang
pendidikan formal menjadi sangat kapitalistik, dengan adanya logika kompetisi,
pembagian strata social yang di tinjau dari pembayaran biaya pendidikan,
pembungkaman terhadap sikap kritis, dan berbagai macam exploitasi lainnya.
Pendidikan yang awalnya menjadi sebuah predikat terhadap pembentukan manusia,
kini menjadi sarana produksi untuk menciptakan komoditi yang siap di pasarkan
ke perusahaan-perusahaan atau perkantoran dan bahkan aparatur Negara demi
melindungi sistem yang dominan, dan ini merupakan proses kapitalisasi bagi
masyarakat. Kita bisa melihat hal ini dalam proses pembelajaran formal, mulai dari
SD, SMP, SMA, sampai tingkat Perguruan Tinggi.
Ada
beberapa doktrin kapitalisasi yang muncul, mulai dari kurikulum yang lebih
menonjolkan pelajaran yang bersifat pasti dan perlahan menghilangkan pelajaran
yang berbau mitos, seperti budaya dan sejarah. Bagaimana juga pemerintah
mengeluarkan program wajib sekolah selama 9 tahun dengan gratisnya biaya SPP,
tapi buku tulis dan seragam sekolah menjadi tanggungan pribadi pelajar, mungkin
ini yang di katakan Abdur seorang stand up comedyan
“seperti halnya kita tidur itu gratis tapi ketika tutup mata bayar”.
Beberapa anekdot juga yang muncul seperti “Time
is money” dalam sebuah pembelajaran formal, menjadikan pelajar untuk lebih
menghargai uang ketimbang orang lain. Ini jelas sejalan dengan tujuan
Kapitalisme akan Akumulasi Kapitalnya.
Dalam
pendidikan formal sekarang, terjadi kemerosotan kesadaran yang berbasis social.
Hilangnya kesadaran kritis, hilangnya kesadaran akan sebuah rekayasa sosial,
dan pastinya hilangnya juga kesadaran kita sebagai makhluk social. Jadi
bukannya memproduksi Intelektual organik, malah mereproduksi Intelektual itu
sendiri. Padahal pendidikan harus menjadi wadah bagi masyarakat untuk melakukan
revolusi mental. Seperti yang di katakana oleh salah satu tokoh Mazhab Frankfrut asal Italy yaitu Antonio Gramscy tentang bagamana
pentingnya sebuah kesadaran terhadap terciptanya hegemoni. Intelektual organik
yang menurutnya merupakan actor utama dari pembentukan kesadaran bagi
masyarakat harus melakukan perbaikan diri terlebih dahulu ketika ingin
memunculkan kesadaran tersebut, karena kesadaran yang di bungkus dalam blok
historis akan menjadi kuat, dan syaratnya melalui intelektual organik yang
lahir di tengah-tengah masyarakat. Jadi wajar ketika nantinya di perguruan
tinggi ada sebuah sapaan yang muncul bahwa
“di bangku kuliah kita hanya mendapatkan 10% ilmu pengetahun atau bahkan tidak sama sekali dan sisanya ada di luar kampus”.
Oleh : Muh. Firman
Rusyaid (Ketua Umum SIMPOSIUM SULSEL)
Editor : Andi Muh
Ridha R
Baca Juga : UNDANGAN KONFERENSI PERS
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar