Dr. Moh Sabri AR, M.Ag. (redaksiaklamasi.org/Andi Afri Taqbir)

redaksiaklamasi.org - G. Mosca, The Rulling Class (1939) dan V. Pareto, Mind and Society (1935), dapat dipandang sebagai figur-figur awal yang mengidentifikasi fenomena kehadiran elit dalam sebuah masyarakat. Kedua  ilmuan tersebut mendaku, elit dibaca sebagai minoritas terbatas yang melaksanakan kekuasaan dan pengaruhnya karena keahlian mereka “mengelola” sejumlah sumberdaya yang menyebar dalam masyarakat. Filsuf Johan Galtung menyimpul, akumulasi sumberdaya tersebut meliputi: kekuasaan ideologi, remuneratif, dan punitif.

Realisme politik menunjukkan, elit yang mampu menguasai ketiga jenis sumberdaya ini akan dapat melaksanakan misinya dengan baik. Sebaliknya, massa yang secara sadar “mengakui” kualifikasi elit akan memberikan legitimasi kepada kepemimpinan elit tersebut. Hal ini mengandaikan, setiap aspiran di Indonesia yang ingin menembus “lingkar elite” kekuasaan hendaknya membekali diri dengan tiga sumberdaya tersebut.

Membaca sejarah elit politik di Indonesia, menarik menimbang “teori siklus” sejarahwan Belanda, Prof. Booke: “Dalam siklus duapuluh tahunan, Indonesia selalu memperlihatkan dentuman besar dalam rentang sejarah kekuasaannya”. Siklus  elite satu generasi, karena itu, selalu didorong oleh zeit geist yang digerakkan para elit kepemimpinan satu generasi sebelumnya.

Sejauh ini, ada tiga gelombang besar sirkulasi elit di Indonesia. Pertama, gelombang “intelektual-pemikir”, generasi yang diteladankan Founding Fathers: Soekarno, Moh. Hatta, St. Syahrir, Agus Salim, M. Natsir, Soepomo, Tan Malaka, dan seterusnya. Mereka adalah generasi “elit” yang dipersiapkan para aktivis-gerakan pemuda-mahasiwa generasi 1928.

Kedua, gelombang “militer-ideologis” yang diwakili antara lain, Soeharto, A. Haris Nasution, Ahmad Yani, Sumitro, Ali Murtopo, DN Aidit, yang tumbuh dari situasi kenegaraan yang “rawan” secara politik-keamanan di bawah kepemimpinan Soekarno. Karena itu, figur-figur yang melingkar di sekitar kekuasaan  Soekarno sebagian besar adalah militer dan politisi yang kelak—ketika  rezim Orde Lama rontok—merekalah yang  menjadi elit.

Ketiga, gelombang “teknokrat-pengusaha” yang tercipta di bawah kekuasaan Soeharto di antaranya: Emil Salim, Moh. Sadli, Mar’ie Muhammad, Jusuf Kalla, Fahmi Idris, Soegeng Sarjadi, dan Jusuf Wanandi. Merekalah yang kelak menjadi elite hingga tumbangnya rezim Orde Baru.

Ketika reformasi meledak pada Mei 1998, tak sedikit asa lahir untuk Indonesia Baru. Tapi dentuman itu terasa landai dan sirkulasi elit “gelombang keempat” pun masih dibekuk misteri. Apakah karena misi zaman dibajak oleh “bandit-bandit” demokrasi yang haus-kuasa, menyusul praktik kejahatan politik uang yang berbau pesing?
2018-2019 adalah sebuah episentrum: tahun politik, harapan, tapi juga kecemasan. Di tengah pusaran itu terbit “komodifikasi,” istilah yang lahir di lingkungan peminat teori sosial kritis yang mengandaikan bergesernya arti penting sesuatu dari “nilai guna” menjadi “nilai tukar”. Kampus-kampus misalnya, tergoda membangun world class university bukan karena ingin mengembangkan ilmu dan peradaban tapi karena peminatnya—yang berani bayar SPP tinggi berjubal.

Demikian juga dengan politik. Motif pendirian partai terutama karena alasan kekuasaan. Tentu tak ada yang salah dengan “hasrat-kuasa” yang mengalir di setiap detak jantung partai politik. Namun menjadi masalah ketika kecenderungan libido kekuasaan itu akhirnya menihilkan kehadiran negarawan: sosok yang menjadi suluh dalam perjalanan genting bangsanya.

Setiap kali mempercakapkan negarawan, umumnya kita membayangkan seorang tokoh politik yang punya jasa bagi negaranya, cakap dalam bekerja, serta berwatak kepemimpinan tegas. Kita juga membedakan antara “negarawan” dan “politisi” dengan memberikan apresiasi lebih tinggi pada yang pertama ketimbang yang terakhir. Ketika Plato mengandaikan negarawan (statesman) memiliki kecakapan dan syarat tertentu dalam mengelola negara, para ilmuan politik modern lebih suka membicarakannya sebagai tipologi kepemimpinan.

Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy  in Indonesia (1962), mengenalkan dua tipe kepemimpinan politik di Indonesia, “tipe pengelola” (administratur)  dan “tipe pemersatu” (solidarity maker). Tipe pertama biasanya diwakili oleh tokoh-tokoh terdidik yang menguasai suatu bidang tertentu. Sementara tipe terakhir adalah pemimpin yang mampu mendekati massa, mempengaruhi mereka, dan mendapatkan simpati-dukungan mereka.

Ilmuan politik lain yang berbicara tentang tipe-tipe kepemimpinan adalah William Liddle. Dalam  artikelnya “Marx and Machiavelli” (2011), Liddle mengintrodusir dua tipe kepemimpinan yang dimiliki pemimpin Indonesia: “tipe transformasional” yang mampu merekonstruksi situasi politik Indonesia dari satu keadaan kepada keadaan lain yang lebih baik dan “tipe transaksional” model kepemimpinan yang “membarter” kekuasaannya dengan posisi-posisi yang dapat menguntungkan dirinya dan kelompoknya.

Dari tipologi di atas, agaknya tipe “pengelola” dan “transaksional” yang mendominasi tipe pemimpin politik di Indonesia dan mengisi posisi-posisi di kementrian dan birokrasi, di parlemen-parlemen, universitas-universitas, dan partai-partai politik. Dengan lain perkataan, kita memiliki stok yang “berlimpah” untuk dua tipe pemimpin tersebut, tapi jarang menemukan karakter pemimpin “solidarity maker” dan “transformational”. 

Masihkah akan lahir negarawan di negeri ini? Memasuki “era” Pilkada serentak 2018: sayup-sayup menghadirkan detak harap tapi juga rasa cemas.


*Penulis ialah Dosen Filsafat Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Email Penulis : mohdsabriar@yahoo.co.id



Oleh : Dr. Moh Sabri AR, M.Ag

Editor : Andi Afri Taqbir



0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top