http://www.redaksiaklamasi.org/2017/06/jilbab-mitos-totalitas-penghambaan-atau.html
Muhammd Yusuf Waliyu Khandani, Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar, Kader HMI Kom. Ushuluddin, Filsafat dan Ilmu Politik Cabang Gowa Raya serta Pengurus dalam Forum Silaturrahmi Mahasiswa Alumni DDI Mangkoso Periode 2016-2017. (redaksiaklamasi.org/Harfansa Putra Pratama)


redaksiaklamasi.orgAda dua hal yang membuat Jilbab yang mungkin menjadi mitos. Pertama, kemampuannya dituturkan sebagai produk modernisasi gaya berjilbab. Kedua, kemampuannya menjadi pemenuhan hasrat perempuan. 

Penciptaan hijab style contohnya  sebagai inovasi dari gaya berjilbab proporsional tentu mengalami seleksi panjang. 

Ada bagian dari kostum jilbab yang diperlebar, dipersempit, bahkan dihilangkan. Inilah yang disebut komunikasi kebudayaan menurut Kusumohamidjojo.


“Komunikasi kebudayaan (yang memiliki makna lebih luas dari sekadar makna umum komunikasi) itu terselenggara melalui kompleks dari berbagai kontak dan dialog yang tidak saja saling menjelaskan atau mencerahkan, tapi bisa juga saling meminggirkan dan bahkan saling mengeliminasi.“ (Kusumohamidjojo, 2010:195-186).


Sedikit Sentuhan Sejarah
Semenjak perjalanan pengalaman penulis dan hasil perjalanan pemikiran penulis, bahwa budaya menggunakan jilbab bukan hanya diperuntukkan di wilayah timur tengah atau arab saja yang dimana islam lahir.

Budaya ini mulai merambat ke seantero negeri yang di khususkan untuk kaum-kaum hawa yang mendapat predikat muslimah (islam) wajib mengenakannya. di Indonesia sendiri sejak sebelum kemerdekan dan saat ini ini budaya hijab selalu mengalami transformasi, sempat penggunaan hijab pada era 70-80 an dilakukan pelarangan pengunaan hijab oleh depertemen pendidikan dan kebudayaan.

Di sekolah sekolah, mengenakan hijab pada masa itu semacam di kriminalisasika oleh pihak sekolah, tak jarang bagi para pemudi atau mahasiwi yang bertahan mengenakannya menjadi musuh birokrasi-birokrasi sekolah yang mana pula dampaknya mereka harus dikeluarkan dari sekolah. 

Di tuduh sebagai PKI, di ancam dibunuh dan lain sebagainya yang bisa menggoyahkan penggunaan jilbab ini. Perlu dikethui, Sebenarnya legilasi pelarangan ini, adalah produk daru orde baru yang di jalankan oleh tangan kanan mereka.

Munculnya Mitos Modern

Selanjutnya, Ada bagian yang harus dikukuhkan dan diruntuhkan untuk memitoskan sesuatu. Seperti yang diungkapkan Barthes,


“Mitos yang muncul pada satu waktu dapat digeser atau dipatahkan oleh mitos yang lahir selanjutnya. Hal ini terjadi karena mitos berkaitan dengan sejarah manusia,” (2006:153).


Di satu sisi jilbab yang bisa saya juga katakan seiring perkembangan zaman menuju zaman modernitas muncul hijab style seperti yang saya terangkang dipengatar tulisan ini.

Mengukuhkan diri sebagai mitos modernitas mode dan gaya berjilbab. Dengan hijab style muslimah akan tampil cantik dan trandy. Di sisi lain ia membuat hijab style dipandang sebagai mode berbusana bukan sebagai pakaian yang wajib dikenakan oleh muslimah. Transendensi hijab menghilang. Hijab sebagai penutup aurat yang sudah memiliki aturan baku dipinggirkan, diganti dengan definisi baru yang dimuat dalam citra kecantikan pengguna hijab style.

Sebagai Pemenuhan Hasrat

Inovasi biasanya mucul karena ketidakpuasan seseorang atau sekelompok orang terhadap sesuatu. Begitupun yang terjadi dalam kelahiran hijab style.


Kalau boleh mengutip, “Dalam fashion, kita menginginkan objek-objek bukan karena ketidakcukupan alamiah, melainkan ketidakcukupan yang kita produksi dan reproduksi sendiri” (Amir Piliang, 2011:276).


Ketidakcukupan dalam jilbab konvensional adalah ketiadaan kesan cantik dan trandy. Kesan cantik dan trandy ini adalah hasrat yang dimiliki perempuan (pemenuhan hasrta). Mode berjilbab proporsional ini dianggap tidak memunculkan aura kecantikan penggunanya dan tidak sesuai dengan trand mode dunia. Jilbab berkesan kuno, jadul, dan tradisional. Kesan ini membuat orang-orang yang belum berjilbab menjadi enggan berjilbab. Kecantikan dan kesan trandy yang dimunculkan hijab style menarik minat muslimah yang belum berjilbab menjadi berjilbab. Namun, hal ini mengakibatkan masyarakat melihat hijab sebagai mode berpakaian bukan sebagai perintah agama. Penggunaan hijab sebagai ketaatan muslimah menguap.

Khas jibab tersebut itu tidak lagi dikaitkan dengan perintah berhijab tapi lebih dieratkan  hubungannya dengan tampil cantik dan trandy. Inilah yang menyebabkan fenomena hijab style dikategorikan sebagai mitos dalam kajian budaya. Menurut Barthes,


“Mitos adalah sebuah cara untuk menyampaikan pesan. Mitos tidak ditentukan oleh objek pesan tapi cara mengutarakan pesan itu.” (2006:153).


Sebagai sebuah mitos, tidak menarik penggunanya untuk pempertimbangkan antara mode yang ia pakai dengan aturan berhijab  yang sudah ditetapkan dalam syariat Islam. Tawaran yang diajukan adalah terlihat cantik dan trandy apabila menggunakannya. Hal ini sesuai dengan hasrat alamiah seorang perempuan.

“Hasrat atau disire menurut Amir Piliang adalah mekanisme psikis berupa rangsangan terhadap objek atau pengalaman yang menjanjikan kepuasan yang selalu berupa sesuatu yang lain,” (2010: 22).


Dengan menggunakan hijab style muslimah tampil cantik, modern, trandy, dan tidak lagi terlihat kuno, ndeso, pesantrenan, dan tradisional.

Akhirnya, menurut penulis Perubahan pasti terjadi karena merupakan keniscayaan dalam kebudayaan. Beramai-ramainya muslimah mengikuti jilbab dalam tanda kutip hijab style. Hijab Style adalah kebaikan walaupun masih ada kesenjangan antara hijab yang dikenalan dengan aturan hijab sebagai pakaian yang dituliskan. Semoga setelah hijab style syar’i muncul, hijab tidak hanya berfungsi sebagai penutup tubuh, pelindung dari suhu panas dan dingin, agar tampil cantik dan trandy, tapi juga dilengkap dengan pakaian ketakwaan.

Semoga pula, jilbab tidak lagi Di tuduh sebagai propaganda dari PKI, di ancam dibunuh dan lain sebagainya yang bisa menggoyahkan penggunaan jilbab. 


“Dan pakaian takwa itulah yang lebih baik,” (Al A’raf: 26).


Penulis : Muhammad Yusuf Waliyu Khandani (Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar, Kader HMI Kom. Ushuluddin, Filsafat dan Ilmu Politik Cabang Gowa Raya serta Pengurus dalam Forum Silaturrahmi Mahasiswa Alumni DDI Mangkoso Periode 2016-2017)

Editor : Harfansa Putra Pratama


Baca Juga : Kembali, Andi Irwan Patawari Fasilitatori Mahasiswa Asal Sinjai Mudik



 

0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top