redaksiaklamasi.org – Ada
dua hal yang membuat Jilbab yang mungkin menjadi mitos. Pertama, kemampuannya
dituturkan sebagai produk modernisasi gaya berjilbab. Kedua, kemampuannya
menjadi pemenuhan hasrat perempuan.
Penciptaan hijab style contohnya sebagai inovasi dari gaya berjilbab proporsional
tentu mengalami seleksi panjang.
Ada bagian dari kostum jilbab yang diperlebar,
dipersempit, bahkan dihilangkan. Inilah yang disebut komunikasi kebudayaan
menurut Kusumohamidjojo.
“Komunikasi kebudayaan (yang memiliki makna lebih luas dari sekadar makna umum komunikasi) itu terselenggara melalui kompleks dari berbagai kontak dan dialog yang tidak saja saling menjelaskan atau mencerahkan, tapi bisa juga saling meminggirkan dan bahkan saling mengeliminasi.“ (Kusumohamidjojo, 2010:195-186).
Sedikit Sentuhan Sejarah
Semenjak perjalanan
pengalaman penulis dan hasil perjalanan pemikiran penulis, bahwa budaya
menggunakan jilbab bukan hanya diperuntukkan di wilayah timur tengah atau arab
saja yang dimana islam lahir.
Budaya ini mulai
merambat ke seantero negeri yang di khususkan untuk kaum-kaum hawa yang
mendapat predikat muslimah (islam) wajib mengenakannya. di Indonesia sendiri
sejak sebelum kemerdekan dan saat ini ini budaya hijab selalu mengalami
transformasi, sempat penggunaan hijab pada era 70-80 an dilakukan pelarangan
pengunaan hijab oleh depertemen pendidikan dan kebudayaan.
Di sekolah
sekolah, mengenakan hijab pada masa itu semacam di kriminalisasika oleh pihak
sekolah, tak jarang bagi para pemudi atau mahasiwi yang bertahan mengenakannya
menjadi musuh birokrasi-birokrasi sekolah yang mana pula dampaknya mereka harus
dikeluarkan dari sekolah.
Di tuduh
sebagai PKI, di ancam dibunuh dan lain sebagainya yang bisa menggoyahkan
penggunaan jilbab ini. Perlu dikethui, Sebenarnya legilasi pelarangan ini,
adalah produk daru orde baru yang di jalankan oleh tangan kanan mereka.
Munculnya Mitos Modern
Selanjutnya,
Ada bagian yang harus dikukuhkan dan diruntuhkan untuk memitoskan sesuatu.
Seperti yang diungkapkan Barthes,
“Mitos yang muncul pada satu waktu dapat digeser atau dipatahkan oleh mitos yang lahir selanjutnya. Hal ini terjadi karena mitos berkaitan dengan sejarah manusia,” (2006:153).
Di
satu sisi jilbab yang bisa saya juga katakan seiring perkembangan zaman menuju
zaman modernitas muncul hijab style seperti yang saya terangkang dipengatar
tulisan ini.
Mengukuhkan
diri sebagai mitos modernitas mode dan gaya berjilbab. Dengan hijab style
muslimah akan tampil cantik dan trandy. Di sisi lain ia membuat hijab style
dipandang sebagai mode berbusana bukan sebagai pakaian yang wajib dikenakan
oleh muslimah. Transendensi hijab menghilang. Hijab sebagai penutup aurat yang
sudah memiliki aturan baku dipinggirkan, diganti dengan definisi baru yang
dimuat dalam citra kecantikan pengguna hijab style.
Sebagai
Pemenuhan Hasrat
Inovasi
biasanya mucul karena ketidakpuasan seseorang atau sekelompok orang terhadap
sesuatu. Begitupun yang terjadi dalam kelahiran hijab style.
Kalau boleh mengutip, “Dalam fashion, kita menginginkan objek-objek bukan karena ketidakcukupan alamiah, melainkan ketidakcukupan yang kita produksi dan reproduksi sendiri” (Amir Piliang, 2011:276).
Ketidakcukupan
dalam jilbab konvensional adalah ketiadaan kesan cantik dan trandy. Kesan
cantik dan trandy ini adalah hasrat yang dimiliki perempuan (pemenuhan hasrta).
Mode berjilbab proporsional ini dianggap tidak memunculkan aura kecantikan
penggunanya dan tidak sesuai dengan trand mode dunia. Jilbab berkesan kuno,
jadul, dan tradisional. Kesan ini membuat orang-orang yang belum berjilbab
menjadi enggan berjilbab. Kecantikan dan kesan trandy yang dimunculkan hijab
style menarik minat muslimah yang belum berjilbab menjadi berjilbab. Namun, hal
ini mengakibatkan masyarakat melihat hijab sebagai mode berpakaian bukan
sebagai perintah agama. Penggunaan hijab sebagai ketaatan muslimah menguap.
“Mitos adalah sebuah cara untuk menyampaikan pesan. Mitos tidak ditentukan oleh objek pesan tapi cara mengutarakan pesan itu.” (2006:153).
Sebagai
sebuah mitos, tidak menarik penggunanya untuk pempertimbangkan antara mode yang
ia pakai dengan aturan berhijab yang sudah ditetapkan dalam syariat
Islam. Tawaran yang diajukan adalah terlihat cantik dan trandy apabila
menggunakannya. Hal ini sesuai dengan hasrat alamiah seorang perempuan.
“Hasrat atau disire menurut Amir Piliang adalah mekanisme psikis berupa rangsangan terhadap objek atau pengalaman yang menjanjikan kepuasan yang selalu berupa sesuatu yang lain,” (2010: 22).
Dengan
menggunakan hijab style muslimah tampil cantik, modern, trandy, dan tidak lagi
terlihat kuno, ndeso, pesantrenan, dan tradisional.
Akhirnya,
menurut penulis Perubahan pasti terjadi karena merupakan keniscayaan dalam
kebudayaan. Beramai-ramainya muslimah mengikuti jilbab dalam tanda kutip hijab
style. Hijab Style adalah kebaikan walaupun masih ada kesenjangan antara hijab
yang dikenalan dengan aturan hijab sebagai pakaian yang dituliskan. Semoga
setelah hijab style syar’i muncul, hijab tidak hanya berfungsi sebagai penutup
tubuh, pelindung dari suhu panas dan dingin, agar tampil cantik dan trandy,
tapi juga dilengkap dengan pakaian ketakwaan.
Semoga
pula, jilbab tidak lagi Di tuduh
sebagai propaganda dari PKI, di ancam dibunuh dan lain sebagainya yang bisa menggoyahkan
penggunaan jilbab.
“Dan pakaian takwa itulah yang lebih baik,” (Al A’raf: 26).
Penulis : Muhammad Yusuf Waliyu Khandani (Mahasiswa
Jurusan Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar, Kader HMI Kom. Ushuluddin, Filsafat
dan Ilmu Politik Cabang Gowa Raya serta Pengurus dalam Forum Silaturrahmi
Mahasiswa Alumni DDI Mangkoso Periode 2016-2017)
Editor : Harfansa Putra Pratama
Baca Juga : Kembali, Andi Irwan Patawari Fasilitatori Mahasiswa Asal Sinjai Mudik
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar