|
Redaksiaklamasi.org - “...Harus diingat bahwa, kodrat
bangsa Indonesia adalah kodrat keberagaman. Takdir Tuhan untuk kita adalah
keberagaman. Dari Sabang sampai Merauke adalah keberagaman. Dari Miangas sampai
Rote adalah keberagaman...”. Demikian penggalan pidato Presiden Jokowi pada
peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 2017 kemarin.
Negara kita memang ditakdirkan beragam, Indonesia
Negeri yang sangat Indah. Bagaimana tidak, sekitar 17.508 Pulau, 1340 Suku dan
300 Etnik berada di dalam Jamrud Khatulistiwa ini. Mulai dari Suku Gayo di
Aceh, hingga Suku Dani di Papua. Keramah-tamahan seluruh Suku, meleburkan diri
menjadi satu, Indonesia.
Sebuah riwayat yang sangat
populer menyebutkan bahwa, “perbedaan
antara umatku adalah rahmat”, hadis ini juga sering diucapkan para dai. Namun, hadis ini
ternyata sama sekali tidak valid dan otentik dari Rasulullah saw. Teks
matan hadis ini tidak dapat ditemukan di dalam kitab hadis manapun.
Meskipun tidak memiliki jalur
periwayatan yang dapat dipertanggungjawabkan, kandungan riwayat ini memberikan
pesan yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Jadi, apakah sebenarnya perbedaan
itu bisa jadi rahmat atau malah menjadi laknat?. Umat islam di era Rasulullah
saw., jika berbeda pendapat maka mereka langsung bertanya pada Rasulullah saw.,
pada masa itu, pemahaman umat itu satu. Akan tetapi, sepeninggal Nabi saw. sudah timbul beragam pemahaman,
baik itu dari tafsir Al-Qur’an maupun ma’anil Hadis (pemahaman
terhadap hadis). Padahal, sebelum Nabi saw. wafat, beliau sudah berpesan agar
kita berpegang teguh kepada dua hal, yaitu kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya.
(HR. Malik, No. 1395).
Kita harus berpedoman pada
keduanya. Masalahnya adalah, pola pemahaman terhadap dua hal itu juga beragam.
Entah siapa yang paling mendekati kebenaran yang sebenarnya, kadang dikatakan
dalam hal ini, pendapat ini yang benar, lalu dalam hal yang lain, pendapat yang
itu yang paling benar. Dari situlah terkadang timbul yang namanya sikap fanatik
golongan, baik itu yang ke Arab-Araban begitupun yang ke Barat-Baratan.
Sehingga, terkadang timbul perbuatan saling sikut-menyikut, boikot-memboikot
antara penganut agama yang sama.
Dalam kasus Negara Indonesia,
tentu hal yang urgen ialah agama, budaya, dan etnik dikarenakan keberagamannya.
Jika ditinjau dari segi agama, belum bisa saya katakan itu bisa jadi rahmat
dikarenakan banyak golongan yang terkotak-kotakkan, ada yang radikal, moderat,
liberal, dan ketiga paham itu saya katakan tidak bisa disatukan karena sesama
penganut paham yang sama, masih timbul konflik internal, saling menyalahkan,
bahkan mengkafirkan, dan malah ditambah dengan justifikasi masuk neraka,
apalagi yang beda agama, seperti konflik Poso dan Maluku. Ditinjau dari segi
budaya dan etnik, mustahil dikatakan bisa jadi rahmat, perbedaan budaya sudah banyak
menimbulkan konflik, disebabkan kurangnya sikap saling menghormati dan
menghargai, baik yang mayoritas maupun minoritas, seperti tragedi Sampit.
Contoh lain misalnya, belum lama
setelah Bank Indonesia resmi mencetak uang baru, dengan gambar pahlawan yang
juga baru, masih ada saja segelintir orang yang menghujat para pahlawan yang
bukan dari etnik mereka yang gambarnya ada di mata uang Rupiah, seperti berita
yang sempat jadi “viral” di media, yaitu Frans Kaisiepo, seorang pahlawan dari
Papua yang wajahnya dikatakan mirip
monyet. Sungguh miris, katanya mengaku Pancasilais, malah menghujat,
dikemanakan yang namanya “Bhineka Tunggal Ika”?.
Berbeda-beda tapi tetap satu,
itulah semboyan bangsa Indonesia. Islam lebih mengedepankan sikap keterbukaan
daripada kebencian dan permusuhan. Ajaran Islam secara jelas melarang sikap
menghujat dan mendiskreditkan agama atau kelompok lain. Begitupula
yang terdapat dalam esensi ajaran agama non-Islam. Toleran bagi kaum mayoritas
itu perlu diutamakan, dan bagi kaum minoritas harus punya sikap menghormati
yang mayoritas. Toleransi hendaknya dapat dimaknai
sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain,
dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan masing-masing,
tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah,
dari satu pihak ke pihak yang lain dan harus menanamkan pikiran yang kuat bahwa kita
ini sama-sama manusia, sama-sama orang Indonesia, satu bahasa kesatuan, bersama
memperjuangkan kemerdekaan. Kalau kita tidak menyadari hal yang sedemikian itu,
siapa lagi yang mau mengurus negara ini kalau bukan kita bangsa Indonesia
sendiri. Apakah kita mau dijajah kembali oleh Negara lain? Saya juga tidak mau
hal itu terjadi dan semoga tidak terjadi.
Nabi Muhammad saw. pun telah
memberikan contoh, bagaimana beliau membangun negara Madinah yang terdiri dari
beragam suku, budaya, ras, dan agama. Beliau juga memberikan contoh
menyelesaikan pertikaian dengan damai tanpa menimbulkan peperangan. Apakah kita
mengaku telah menjalankan agama dengan baik, lantas tidak bisa menghargai
perbedaan yang diciptakan oleh Allah swt.?. Tentu, kalau kita sudah mengamalkan
ajaran agama dengan baik, maka kita bisa merangkul segala perbedaan, sehingga
bisa melahirkan yang namanya konsep kasih sayang dengan sesama manusia.
Dengan demikian, muslim Indonesia
itu sudah seharusnya sangat mencintai toleransi, tidak senang dengan konflik,
merangkul perbedaan dan menjadikannya kesatuan yang hakiki, mengamalkan Al-Qur’an
dan Hadis sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah swt. dan Nabi saw., juga
menghormati Pancasila sebagai asas pemersatu Bangsa, memiliki kesadaran akan
rasa saling menyayangi dan mengasihi. Agar terwujud sinergitas dan harmoni yang
tak tertandingi. Hanya dengan itulah, keragaman yang telah ditakdirkan untuk
negeri ini akan menjadi rahmat bagi semua.
|
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar