Ilustrasi Virtual dan Kata Imam Ali Pada Gambar Tersebut. (redaksiaklamasi.org/Andi Muh Ridha R)


redaksiaklamasi.org - Benarkah konsep dan wawasan toleransi yang dipahami saat ini sebagai jalan untuk menciptakan keselarasan dan kerukunan antar ummat beragama telah memenuhi semangat keadilan? Almarhum Jacques Derrida meragukannya. Dalam kajian filosofis dan linguistik filsuf akbar abad ini tersebut, definisi linguistik dan aproriasi keagamaan dan politik toleransi sebenarnya secara inheren mengandung benih-benih kekerasan dan ketidakadilan –memiliki beban dominasi sepiihak dari pihak yang lebih kuat, dari si penjamin.

Menurut Jacques Derrida, meski diterima oleh wawasan politik sekuler, justru muasal dan bubuhan keagamaannya yang membuat toleransi menyimpang dari semangat yang ingin dimaksudkan oleh kata toleransi itu sendiri. Dan karenanya Jacques Derrida pun meniatkan ikhtiar etis-politis filsafatnya dalam rangka melampaui semangat keagamaan sekaligus mengoreksi penalaran dan argumentasi Kantian tentang toleransi.

Yang PERTAMA, alias wawasan keagamaan toleransi, menjadikan toleransi sebagai laku dan sikap paternalistis, seperti yang tergambarkan dengan jelas dalam sikap dan perkataan Ibrahim as kepada para tamu asing yang berkunjung ke rumahnya: “Kuijinkan engkau semua berada di rumahku (wilayahku), tapi ingatlah kalau ini adalah rumahku (kekuasaanku).”

Sementara yang KEDUA, alias toleransi dalam wawasan Kantian, pengertian dan penerimaan toleransi telah dibubuhi dengan segugus persyaratan, sebagaimana tercermin dalam esai panjangnya Immanuel Kant yang berjudul Towards Perpetual Peace itu.

Untuk mengoreksi dan melampaui dua wawasan tersebut, Jacques Derrida menawarkan konsep dan wawasan kesanggrahan (hostipitality) sebagai ganti toleransi. Ia mengoreksi pandangan filsafatnya Immanuel Kant yang masih memahami toleransi sebagai kesanggrahan bersyarat –yang menjadikannya sebagai toleransi yang terbebani dan tidak tulus.

Menyangkut gugus PERTAMA, alias toleransi dalam semangat teologiko-politik, Jacques Derrida menganjurkan untuk melakukan ikhtiar pembongkaran matriks Kristiani yang menyebabkan toleransi menjadi sebuah konsep politik dan etik yang justru malah tidak netral dari semangat yang menjadi klaim toleransi itu sendiri.

Muasal dan fokus keagamaannya, demikian menurut Jacques Derrida, malah menjadikan kata dan pengertian toleransi diaproriasi alias dipahami lebih sebagai sisa sikap paternalistis. Di mana “orang lain” tidak dipandang secara setara dan sepadan, melainkan sebagai bawahan. Begitu juga Immanuel Kant dalam pandangan Jacques Derrida belum keluar dari bubuhan teologiko-politik tersebut ketika memahami toleransi.

Filsafatnya Immanuel Kant dalam pandangan Jacques Derrida di satu sisi memahami toleransi sebagai janji emansipatoris jaman modern. Tetapi, di sisi lain, di dalam wawasan dan pemikiran Immanuel Kant tentang toleransi masih terkandung komponen Kristiani yang amat kuat, yang malah menjadikan klaim toleransi itu sendiri tidak netral.

Karena itulah, lanjut Jacques Derrida, seringkali sejarah konsep dan laku toleransi memihak sekaligus diaproriasi lebih sebagai dalih, alasan, dan argumentasi pihak dan kekuasaan yang lebih kuat atas “yang lain” dan “yang asing”. Toleransi dalam sejarahnya terkontaminasi oleh semangat bubuhan teologiko-politik kekuasaan yang memandang “orang lain” sebagai pelengkap semata, seperti perkataan Ibrahim as kepada tamu-tamunya itu: “Aku ijinkan engkau semua berada di rumahku (wilayahku). Tapi ingatlah kalau ini adalah rumahku (kekuasaanku)”.

Pemahaman dan aproriasi alias penerimaan toleransi yang seperti itu menurut Jacques Derrida juga tak lepas dari semangat yang inheren dalam agama itu sendiri, ketika agama menginjeksikan isu-isu yuridis dan mengikatkan dirinya ke dalam lingkaran hukum, yang memang secara inheren mengandung kekerasan alias intoleran dan cenderung menolak keterbukaan terhadap keberlainan atawa alteritas, pihak yang sepenuhnya lain.

Seperti yang dikupas secara linguistik oleh Jacques Derrida, sejauh menyangkut agama sesungguhnya tidak ada sesuatu yang dapat diidentifikasi atau pun yang identik dengan dirinya sendiri untuk apa yang disebut agama.

Secara historis, agama merupakan ciptaan Romawi kuno yang kemudian diapropriasi oleh Kristianitas. Dengan mengutip perbendaharaan linguistiknya Cicero, kata religio itu sendiri berasal dari “religare” yang merupakan modifikasi dari kata “legere” yang artinya memanen dan mengumpulkan. Sementara itu dalam perbendaharaan istilahnya Tertulianus, si muallaf Kristen dari Afrika Utara abad kedua itu, kata religio berasal dari “religare” yang artinya mengikat atau simbolisasi ikatan kewajiban alias hutang primordial manusia dengan Allah.

Persis dalam artian yang kedua itulah, menurut Jacques Derrida, kata religio telah menginjeksikan isu-isu yuridis dan mengikat agama ke dalam lingkaran hukum, yang pada akhirnya mengandaikan ketertutupan. Penolakan dan pemisahan yang ditunjukkan oleh prefiks “re” dalam kata “religio” menurut Jacques Derrida muncul dengan sesuatu yang paralel di dalam “responsibilitas” dan “respons” yang berasal dari kata kerja Latin, “spondeo”, yang artinya menjamin. Dan arti tersebut memiliki kedekatan dan kemiripan dengan kata religare yang dikemukakan Tertulianus, di mana kata “respondeo” berarti penerjemah para dewa yang memberikan suatu janji sebagai balasan atas persembahan (sesajen), di mana balasan yang dinginkan dari persembahan itu tak lain adalah jaminan keamanan.

Sebab itulah menurut Jacques Derrida, kata responsibility berbagi arti dengan religio dalam kepedulian terhadap transaksi-ekonomis: suatu imbalan dan jaminan yang dituntut dari persembahan (sesajen), yang mana menurut Jacques Derrida, jaminan yuridis dan ekonomis tersebut tidak memasukkan inti tanggungjawab di hadapan alteritas (keberlainan), di hadapan yang tak terkalkulasikan, di hadapan yang asing dan “kafir”. Di hadapan orang-orang yang bukan bagian dari komunitas agama tertentu.

Asal-usul tersebut pada akhirnya, lanjut Jacques Derrida, akan mempengaruhi pemahaman religius atas wawasan toleransi dan kekafiran. Dan pada konteks inilah, tanggungjawab etis dan politis filsafat adalah menganalisis dan menarik konsekuensi-konsekuensi praktis wawasan filosofis dalam struktur-struktur sistem yuridis-politis dalam kehidupan ruang publik kita. Hingga praktek-praktek penyingkiran dan kekerasan tidak lagi memiliki alasan religius dan teologis.

Penulis : Sulaiman Djaya (Seorang Penulis dan Dewan Kesenian Banten)
Editor : Andi Muh Ridha R


0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top