Ilustrasi. (redaksiaklamasi.org/Harfansa Putra Pratama) |
redaksiaklamasi.org
- Seiring perkembangan zaman dan kemajuan
tekhnologi membuat produksi kopi instan dengan berbagai macam kemasan
memudahkan masyarakat untuk mengkomsumsinya dan kopi khas Tradisional dalam
Negeri menjadi sesuatu yang hanya mampu di komsumsi oleh kelas tertentu dewasa
ini.
Melihat selera
Masyarakat tergolong miskin yang juga ingin menikmati hasil produksi kopi
tradisional khas dalam Negeri yang cukup berkualitas telah berubah menjadi
sesuatu yang elagan, memungkinkan masyarakat hanya mampu membeli kopi
instan betkulitas rendah dalam kemasan kecil namun itupun demi membuat perut mampu
menahan lapar di pagi hari hingga kantong kehidupan mereka terisi demi
kelangsungan hidup. Sungguh miris Kami hanya menikmati ampas kopi dari mereka
yang bersembunyi di balik selubung pemilik modal yang selalu menghalalkan
berbagai cara untuk kemauan bangsa Totok seperti Apa yang dituturkan oleh
Pramoedya Ananta Toer
“melalui Bumi Manusia, menggambarkan kondisi sosial budaya Hindia Belanda ketika awal 1900-an. Dimana masa-masa terjadinya perbedaan kelas antara eropa totok, Indo, Tiongkok, dan Pribumi. Tentu saja yang menjadi kelas terbawah adalah pribumi”.
Itulah persepsi
penjajah memandang yang terjajah ketika itu.
Berseruhlah si
penikmat kopi kelas rendah yang dapat menikmati kopi instan dengan uang
koin pecahan 500 Rupiah.
Sedang Perbincangan
yang memilukan itu bermula saat saya nongkrong tepat depan BPN provinsi sulsel
di persimpangan JL.Cendrawasi di temani secangkir kopi hitam buatan pedagang
kaki lima dan bercengkeramah bersama seorang tua rentah yang biasa di sapah Dg
Tatang yang berusia kurang lebih 60 Tahun dan berprofesi sebagai pengemudi
Bentor ( Becak Motor ) yang juga sedang menikmati secangkir kopi hitam sembari
menunggu penumpang di waktu senja.
DG Tatang si penikmat
kopi hitam kemasan kecil atau biasanya mengkomsumsi kopi bubuk kiloan
berkualitas rendah, DG Tatang yang setiap pagi sebelum memulai aktivitas
menarik Bentor selalu menyempatkan diri menikmati secangkir kopi hitam demi
menghemat pengeluaran di Makassar agar mampu menghidupi anak dan istri di
kampung dan timpang dengan mereka yang biasanya sarapan di pagi hari dengan
secangkir susu dan Roti tawar berisikan keju cukup bergizi untuk memulai
aktivitas di pagi hari.
Menurut penuturan Dg Tatang, secangkir kopi hitam mampu menghilangkan nafsu makan, jika meminum secangkir kopi hitam di pagi hari akan memberikan energi maka nafsu makan akan kembali ketika malam hari tiba sepulang menarik bentor, dan sebagai manusia normal kebutahan jasmani harus terpenuhi agar mampu bertahan hidup layaknya manusia pada umumnya. Menikmati secangkir kopi hitam untuk menemani rasa lapar agar tak begitu menyakitkan, Legenda pula menyebutkan bahwa kopi pertama kali populer di Yaman, mereka menyebutnya “Qohwa” akar bahasa arab “Qoha” (yang berarti tidak nafsu makan) karena kopi membuat orang cenderung tidak nafsu makan lagi.
Menurut penuturan Dg Tatang, secangkir kopi hitam mampu menghilangkan nafsu makan, jika meminum secangkir kopi hitam di pagi hari akan memberikan energi maka nafsu makan akan kembali ketika malam hari tiba sepulang menarik bentor, dan sebagai manusia normal kebutahan jasmani harus terpenuhi agar mampu bertahan hidup layaknya manusia pada umumnya. Menikmati secangkir kopi hitam untuk menemani rasa lapar agar tak begitu menyakitkan, Legenda pula menyebutkan bahwa kopi pertama kali populer di Yaman, mereka menyebutnya “Qohwa” akar bahasa arab “Qoha” (yang berarti tidak nafsu makan) karena kopi membuat orang cenderung tidak nafsu makan lagi.
Di telisik dari
sejarah perkembangan kopi di Indonesia pada masa kolonial sejak kopi menjadi
salah satu komoditi andalan pemerintah Hindia Belanda awal tahun 1900-an.
Kopi-kopi yang di hasilkan perkebunan yang di kelola Pemerintah Hindia Belanda
hampir semuanya di ekspor dan kopi-kopi yang berkualitas rendah di jual kepada
rakyat atau di berikan pada buruh kebun sebagai minuman dan selera minum kopi
dari bahan kopi berkualitas rendah ini akhirnya terbawa secara turun temurun
hingga sekarang tetap bertahan karena hingga kini kita hanya di
suguhkan ampas dari sisa produksi.
Saat mengetahui
Indonesia sebagi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah Brazil,
Vietnam dan Colombia. Dari total produksi sekitar 67% Kopi yang di ekspor
sedangkan sisanya 33% untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (WJS 2014).
Di samping itu jumlah
komsumsi kopi hanya menduduki peringkat ke 37 dalam Negeri. mengapa demikian ?
Dengan banyaknya Cafe yg bertebaran di seluru perkotaan menjadikan kopi sebagai
sesuatu yang bernilai jual tinggi untuk secangkir kopi tradisional khas
Indonesia karena sebagian besar di ekspor ke berbagai negara. Memungkinkan kopi
tradisional khas Indonesia hanya di nikmati oleh kelas tertentu.
Oleh: Muhammad Alif Ibnu Khaidir (Mahasiswa Jurusan Peradilan Agama UIN
Alauddin Makassar serta Kader HMI Komisariat Syariah & Hukum Cabang Gowa
Raya)
Editor : Harfansa Putra Pratama
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar