http://www.redaksiaklamasi.org/2017/06/ampas-kopi-sisa-yang-lalu.html
Ilustrasi. (redaksiaklamasi.org/Harfansa Putra Pratama)


redaksiaklamasi.org - Seiring perkembangan zaman dan kemajuan tekhnologi membuat  produksi kopi instan dengan berbagai macam kemasan memudahkan masyarakat untuk mengkomsumsinya dan kopi khas Tradisional dalam Negeri menjadi sesuatu yang hanya mampu di komsumsi oleh kelas tertentu dewasa ini.



Melihat selera Masyarakat tergolong  miskin yang juga ingin menikmati hasil produksi kopi tradisional khas dalam Negeri yang cukup berkualitas telah berubah menjadi sesuatu yang elagan,  memungkinkan masyarakat hanya mampu membeli kopi instan betkulitas rendah dalam kemasan kecil namun itupun demi membuat perut mampu menahan lapar di pagi hari hingga kantong kehidupan mereka terisi demi kelangsungan hidup. Sungguh miris Kami hanya menikmati ampas kopi dari mereka yang bersembunyi di balik selubung pemilik modal  yang selalu menghalalkan berbagai cara untuk kemauan bangsa Totok seperti Apa yang dituturkan oleh Pramoedya Ananta Toer



“melalui Bumi Manusia, menggambarkan kondisi sosial budaya Hindia Belanda ketika awal 1900-an. Dimana masa-masa terjadinya perbedaan kelas antara eropa totok, Indo, Tiongkok, dan Pribumi. Tentu saja yang menjadi kelas terbawah adalah pribumi”.  



Itulah persepsi penjajah memandang yang terjajah ketika itu.



Berseruhlah si penikmat kopi kelas rendah yang  dapat menikmati kopi instan dengan uang koin pecahan 500 Rupiah.



Sedang Perbincangan yang memilukan itu bermula saat saya nongkrong tepat depan BPN provinsi sulsel di persimpangan JL.Cendrawasi di temani secangkir kopi hitam buatan pedagang kaki lima dan bercengkeramah bersama seorang tua rentah yang biasa di sapah Dg Tatang yang berusia kurang lebih 60 Tahun dan berprofesi sebagai pengemudi Bentor ( Becak Motor ) yang juga sedang menikmati secangkir kopi hitam sembari menunggu penumpang di waktu senja. 



DG Tatang si penikmat kopi hitam kemasan kecil atau biasanya mengkomsumsi kopi bubuk kiloan berkualitas rendah, DG Tatang yang setiap pagi sebelum memulai aktivitas menarik Bentor selalu menyempatkan diri menikmati secangkir kopi hitam demi menghemat pengeluaran di Makassar agar mampu menghidupi anak dan istri di kampung dan timpang dengan mereka yang biasanya sarapan di pagi hari dengan secangkir susu dan Roti tawar berisikan keju cukup bergizi untuk memulai aktivitas di pagi hari. 

Menurut penuturan Dg Tatang, secangkir kopi hitam mampu menghilangkan nafsu makan, jika meminum secangkir kopi hitam di pagi hari akan memberikan energi maka nafsu makan akan kembali ketika malam hari tiba sepulang menarik bentor, dan sebagai manusia normal kebutahan jasmani harus terpenuhi agar mampu bertahan hidup layaknya manusia pada umumnya. Menikmati secangkir kopi hitam untuk menemani rasa lapar agar tak begitu menyakitkan, Legenda pula menyebutkan bahwa kopi pertama kali populer di Yaman, mereka menyebutnya “Qohwa” akar bahasa arab “Qoha” (yang berarti tidak nafsu makan) karena kopi membuat orang cenderung tidak nafsu makan lagi.



Di telisik dari sejarah perkembangan kopi di Indonesia pada masa kolonial sejak kopi menjadi salah satu komoditi andalan pemerintah Hindia Belanda  awal tahun 1900-an. Kopi-kopi yang di hasilkan perkebunan yang di kelola Pemerintah Hindia Belanda hampir semuanya di ekspor dan kopi-kopi yang berkualitas rendah di jual kepada rakyat atau di berikan pada buruh kebun sebagai minuman dan selera minum kopi dari bahan kopi berkualitas rendah ini akhirnya terbawa secara turun temurun hingga sekarang  tetap  bertahan karena hingga kini kita hanya di suguhkan ampas dari sisa produksi.



Saat mengetahui Indonesia sebagi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah Brazil, Vietnam dan Colombia. Dari total produksi sekitar 67% Kopi yang di ekspor sedangkan sisanya 33% untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (WJS 2014).



Di samping itu jumlah komsumsi kopi hanya menduduki peringkat ke 37 dalam Negeri. mengapa demikian ? Dengan banyaknya Cafe yg bertebaran di seluru perkotaan menjadikan kopi sebagai sesuatu yang bernilai jual tinggi untuk secangkir kopi tradisional khas Indonesia karena sebagian besar di ekspor ke berbagai negara. Memungkinkan kopi tradisional khas Indonesia hanya di nikmati oleh kelas tertentu.





Oleh: Muhammad Alif Ibnu Khaidir (Mahasiswa Jurusan Peradilan Agama UIN Alauddin Makassar serta Kader HMI Komisariat Syariah & Hukum Cabang Gowa Raya)



Editor : Harfansa Putra Pratama





0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top