Dr. Moh Sabri AR, M.Ag . (redaksiaklamasi.org/Andi Afri Taqbir)


redaksiaklamasi.org - Meskipun udara saat itu gerah, matahari menusuk hingga ke nadi bumi dan angin malas melesap, Marcus Tullius Cicero dengan nada geram dan berapiapi meluahkan tanya retorik di hadapan tak kurang 600 senator Republik Roma pada pengujung tahun 63 SM: "Quo usque tandem abutere, Catalina, patientia nostra?"Sampai kapan Catalina, kau akan terus menguji kesabaran kami? Dengan pesona yang kuat, Cicero, filsuf, orator, dan juga politikus kawakan Romawi, mengutuk konspirasi busuk Catalina, politikus korupkontroversial yang haus kuasa dan punya hasrat menggulingkan Republik Roma.

Ketika itu, Cicero (10643 SM) dengan piawai "membuka aib" skenario pemberontakan Catalina, lalu meminta senat segera menjatuhkan hukuman mati bagi Catalina. Bagi sebagian pihak, Catalina adalah hero karena mengusung ide revolusi agraria. Tetapi bagi Cicero, Catalina tak lebih dari pecundang yang berulang kali menguji kesabaran publik Romawi lewat serangkaian kejahatan.

Napas sejarah menjadi saksi, setidaknya dalam rekaman Mary Beard, SPQR: A History of Ancient Rome (2015), bahwa tindakan "nekat" Catalina itu dipicu oleh utang yang melilitnya menyusul kekalahan berturutturut dalam pemilihan konsul, jabatan politik paling bergengsi di Romawi. Beard mencatat, jabatan publik di Roma kala itu bisa menjadi sangat mahal. Agar terpilih, kandidat harus merogoh kocek tak sedikit guna merebut simpati rakyat.

Keruntuhan keadaban politikdemokrasi pada pengujung Republik Romawi sebelum ditaklukkan Julius Caesar bisa jadi permenungan atas apa yang tengah berlangsung di Indonesia kini. Paras politikus kita pun tak jauh dari kisah kontroversi. Melalui media massa, publik bisa meraup informasi luas soal politikus yang terjerat kasus narkoba, suap, korupsi, skandal seks, kekerasan, lifestyle mentereng, dan aksi manipulasi.

Satu lagi, politikus di Indonesia masih meletakkan politik sebagai mata pencarian. Kalaupun ia tak cukup banyak uangberbeda dengan kandidat pada masa Republik Romawi semisal Catalina yang berani berutang demi ambisi politiksebagian politikus di Indonesia meminta pebisnis membiayai kegiatan politiknya dengan kompensasi ketika terpilih kelak ia akan "membanjiri" pebisnis bersangkutan dengan aneka proyek yang menggiurkan. Akibatnya, demoralisasi politikdemokrasi kita meluncur ke titik paling rendah.

Di tengah karutmarut kehidupan politikdemokrasi yang kian buram, sebilah cahayaharapan sertamerta terbit, menyusul kehadiran "Generasi Y" atau generasi milenial. Sebuah anggitan yang oleh Neil Howe dan William Strauss dalam Millenial Rising: The Next Great Generation (2000), diandaikan sebagai generasi yang memiliki ciri: berpikir strategis, inspiratif, inovatif, interpersonal, energik, antusias, egaliter, digital native, dan diproyeksi bakal menjadi pemimpin yang kuat pada masa depan yang dekat. Ditambahkan, Generasi Ymereka yang lahir pada 19801999juga peduli terhadap masalahmasalah sosial, politik, dan budaya yang secara signifikan memperkuat civil society dan negara.

Generasi Y, Howe dan Strauss melanjutkan, bisa menjadi hero, jika mampu menghalau krisis yang mengepung bangsanya. Jika gagal, energi raksasa mereka akan menjadi gelombang pemukulan balik bagi eksistensi, asa, dan citacita bangsanya. Mereka bisa menjadi kekuatan pengubah, tapi sebaliknya juga bisa menjadi kekuatan negatif dan menyuburkan kediktatoran. Di titik ini, tak sedikit kalangan berpandangan sinis bahwa Generasi Y tidak punya kematangan sosial, sulit diatur, kering loyalitas, tidak sabar, dan instan.

Di panggung politik, dalam catatan salah satu media cetak nasional tak sedikit Generasi Y bermunculan. Sebut saja beberapa nama, Bupati Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan (kelahiran 1989), Bupati Trenggalek Emil Elestianto Dardak (kelahiran 1984) dan wakilnya M. Nur Arifin (kelahiran 1990), Gubernur Zumi Zola (kelahiran 1980), Gubernur Lampung Rido Ficardo (kelahiran 1980), Bupati Bangkalan Makmun Ibnu Fuad (kelahiran 1987), Bupati Gowa Adnan Purichta Ichsan Yasin Limpo (kelahiran 1982), dan Wakil Wali Kota Palopo Ahmad "Omme" Syarifuddin (kelahiran 1980).

Mereka menjadi harapan publik untuk membangun dan mentransmisi karakter Generasi Y di entitas masingmasing. Pemimpin muda, jika menciptakan semangat dan kultur baru sesuai dengan ciri Generasi Y, bakal menjadi "darah segar" yang mengembuskan angin transformasi sekaligus terapi kesembuhan bagi demokrasi kita yang kini dilanda lesu darah.

Sebaliknya, jika mereka tak mampu keluar dari hegemoni "generasi seniornya" yang cenderung egois dan tunalogika, mereka bakal menjadi pemimpin "mati colli" yang tunaharapan. Indonesia membutuhkan pemimpinpemimpin baru yang muda dan menyegarkan. Tentu saja, upaya ini harus diimbangi dengan pencerdasan arenaarena demokrasi yang mengandaikan politikus Generasi Y memiliki pergaulandialektis dengan kelompokkelompok civil society.

Jika hal ini pun tak mampu mengubah kultur politikus kita, pertanyaan retorik Cicero dua milenium silam agaknya relevan diajukan: "wahai para politikus, sampai kapan engkau akan menguji kesabaran kami?"

*Penulis ialah Dosen Filsafat Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Email Penulis : mohdsabriar@yahoo.co.id



Oleh : Dr. Moh Sabri AR, M.Ag

Editor : Andi Afri Taqbir

0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top