Sakib Machmud. (redaksiaklamasi.org/Ilham Khalif) |
redaksiaklamasi.org –AYAT LIMA
Ayat berikutnya yakni ayat 5 surah Al-Fatihah meneruskan pembicaraan:
Ayat ini berisi ikrar atau pernyataan hati yang pantas dikemukakan oleh orang yang telah menghayati Eksistensi dan Posisi Allah sebagai Tuhan yang mencipta, mengatur, menguasai alam semesta, yang telah menganugerahkan kepada manusia segala keperluan hidupnya, yang telah mencurahkan kasih sayang-Nya yang agung, dan yang menetapkan nasib manusia pada hari Kiamat. Ada dua ikrar yang tepat sekali dinyatakan setiap orang kepada Allah. Yang pertama: إِيَّاكَ نَعْبُدُ – hanya kepada Engkau kami menyembah. Perkataan “menyembah” di sini sebenarnya tidak tepat benar karena belum mencakup seluruh nuansa yang terdapat di dalam kata na’budu. Dalam bahasa Indonesia ada kata “mengabdi”, yang mungkin lahir karena pengaruh bahasa Arab. Dalam kata “mengabdi” tercakup pengertian tunduk, patuh, mengikuti dan melaksanakan semua perintah dan menjauhi segala larangan. Pernyataan إِيَّاكَ نَعْبُدُ adalah ikrar untuk menyembah Allah dan patuh secara mutlak hanya kepada Allah.
Pernyataan kedua yang terdapat pada ayat 5 surah Al-Fatihah tadi adalah وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ – dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan. Pernyataan ini menandaskan sebuah tekad untuk tidak menyerahkan nasib kepada siapapun kecuali kepada Allah. Orang yang sakit memang akan datang minta pertolongan kepada dokter, tetapi dia yakin bahwa dokter dan obat hanyalah sarana yang dapat digunakan Allah untuk menyembuhkan seseorang kalau Dia menghendaki. Datang ke dokter adalah ikhtiar yang harus dia lakukan, tetapi keputusan untuk menyembuhkan atau tidak menyembuhkan berada di Tangan Allah. Seseorang yang telah berikrar وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ tidak akan datang ke kuburan, dukun, gunung, gua, untuk meminta pertolongan apapun karena tidak ada alasan untuk berikhtiar ke tempat-tempat itu.
Kalau seseorang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat, itu karena baginya belaku Sunnatullah, ketetapan Allah yang mengatur dirinya. Atas kehendak Allah, orang dapat menderita sakit, baik karena adanya bakteri, virus dan hal-hal lain yang mengganggu, maupun karena kelemahan atau kelelahan yang menghinggapi organ tubuh. Namun pada saat yang sama Allah berkenan pula menganugerahi manusia kemampuan menolak serangan-serangan pengakit itu. Ada kalanya daya tahan tubuh mampu melawan sendiri penyakit-penyakit yang menyerangnya, namun ada kalanya pula tubuh memerlukan bantuan dari luar, yang merupakan bagian dari Sunnatullah pula. Karena itu orang harus berusaha mencari dan menemukan Sunnatullah tersebut, karena Allah memberi kemampuan untuk memahaminya. Rasulullah Saw menyatakan bahwa semua penyakit manusia ada obatnya kecuali penyakit tua. Termasuk penyakit tua adalah menurunnya daya tahan tubuh, berkurangnya kemampuan indera, tenaga, dan sebagainya.
Di luar itu orang yang terkena suatu penyakit perlu dan harus berobat, maka dia datang meminta pertolongan kepada orang tertentu yang sudah mempelajari berbagai penyakit, yaitu dokter dan ahli kesehatan lainnya. Dia meminta pertolongan kepada mereka karena memenuhi Sunnatullah yang kita bicarakan tadi. Sedangkan meminta pertolongan ke dukun yang menggunakan mantera, atau datang ke kuburan – orang tidak menemukan adanya Sunnatullah yang mendorong dia ke arah itu. Maka ikhtiar yang demikian adalah ikhtiar yang bathil, yang akan mendorongnya kepada syirik – dosa kemanusiaan yang paling besar. Itulah pemahaman yang dapat kita tarik dari ayat 5 surah Al-Fatihah: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ – Hanya kepada Engkau ya Allah kami mengabdi dan hanya kepada Engkau saja kami mohon pertolongan.
AYAT ENAM
Dengan membaca ayat kelima surat Al-Fatihah, orang mengikarkan tekadnya untuk hanya memohon pertolongan kepada Allah Swt, karena hanya Dia yang dapat menolongnya untuk mengatasi berbagai problematika kehidupan. Maka dua ayat terakhir dari surah pembuka Al-Quran ini mengartikulasikan permohonan manusia yang paling penting dan yang hanya dapat disampaikan kepada Allah Swt. Ayat berikut yakni ayat 6 surah Al-Fatihah menyatakan:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus
Allah Swt telah menjadikan manusia sebagai makhluk istimewa, makhluk yang sadar diri. Orang bukan hanya tahu di mana dia berada tetapi juga tahu untuk apa dia berada di suatu tempat. Orang tahu mengapa dia melakukan sesuatu perbuatan dan dapat memperhitungkan apa yang akan dia peroleh dengan melakukan perbuatan itu. Manusia mempunyai kemauan dan dapat menentukan apakah mengikuti kemauannya itu atau menahannya. Dalam setiap saat manusia terus menerus memilih dan menanggung konsekuensi dari keputusannya itu. Rentang pilihan manusia sangat luas, maka konsekuensi dari pilihan itu juga beraneka ragam. Pilihan yang sederhana – corak dan warna baju yang akan dia kenakan misalnya – berakibat sederhana, rasa percaya diri atau malu di tengah masyarakat. Tetapi pilihan atas keyakinan hidup yang menjadi acuan perjalanannya di dunia, mengandung konsekuensi amat sangat berat. Untuk segala bentuk pilihan itu Allah tidak memaksa manusia. Karena manusia mempunyai kesadaran, maka Allah membebaskannya untuk memilih sendiri dengan segala akibatnya, termasuk memilih untuk beriman atau tidak beriman, beramal saleh atau berbuat jahat. Surah 18 Al-Kahfi ayat 29 menegaskan: وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ – dan katakan (wahai Rasul): “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Maka barangsiapa mau silakan beriman dan barangsiapa mau silakan kufur”.
Meskipun demikian, sebagai Al-Rahim Allah menghendaki agar manusia memilih yang benar sehingga memperoleh hasil yang terbaik. Karena itu Dia menurunkan Al-Dinul Islam – agama Islam, berupa keterangan, petunjuk dan ketetapan-ketetapan hukum yang diwahyukan melalui para Rasul yang Dia pilih di antara manusia sendiri. Barangsiapa melakukan pilihan yang benar, dia berjalan menuju kebahagiaan yang hakiki dan abadi.
Masalah besar yang dihadapi manusia adalah: dia tidak selalu sadar ketika pilihannya keliru. Atau dia tahu tetapi tidak menaruh perhatian atas kekeliruannya itu. Atau pengetahuannya dikaburkan oleh kekuatan lain di dalam dirinya yang menyeruak ke permukaan yaitu nafsu. Dalam kondisi itu pancaindera dan akal pikirannya tidak melihat kebenaran karena telah dibutakan oleh nafsunya. Ayat 45 surah 22 Al-Hajj menyatakan tentang hal ini: فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ – Sesungguhnya bukan mata yang buta tetapi hati yang berada di dalam dada. Hati menjadi buta ketika syaitan berhasil menguasai nafsu dan nafsu yang buruk membentuk sikap dan kemauan hati. Karena itu orang perlu terus menerus memohon pertolongan Allah dengan pertolongan yang paling penting yaitu menunjuki jalan yang lurus. Permohonan pada ayat 6 surat Al-Fatihah ini merupakan permohonan pertama dan utama, sesudah orang mengikrarkan diri untuk hanya memohon kepada Allah Swt.
Ahli tafsir menyatakan bahwa perkataan الصراط berarti jalan yang lapang, jalan yang rata dan mudah dilewati, bukan jalan kecil sehingga orang yang hendak melaluinya harus bersusah payah. Sedangkan المستقيم berarti lurus. Jalan yang lurus adalah jalan yang paling dekat untuk mencapai tujuan. Dengan demikian ayat ini merupakan permohonan seorang hamba kepada Allah agar dianugerahi petunjuk untuk dapat berada di jalan raya yang lapang dan mudah dilewati, dan yang paling dekat untuk mencapai apa yang dituju manusia yaitu ridha Allah Swt, dan dengan ridha-Nya itu Allah menganugerahkan surga. Jalan yang dimaksud adalah Dinul Islam.
Sehubungan dengan itu ada tiga macam petunjuk yang diperlukan manusia. Pertama petunjuk agar dia sadar kepada adanya Dinul Islam. Banyak orang yang karena tidak memiliki kesadaran, menolak jalan Allah itu secara apriori, tanpa dipikirkan atau dianalisis terlebih dahulu. Yang kedua petunjuk yang berupa pengetahuan Dinul Islam, jangan sampai dia mempelajari Islam tetapi dengan interpretasi dan pemahaman yang salah. Yang ketiga petunjuk untuk meneguhkan hati di dalam Dinul Islam, terutama tatkala menghadapi godaan dan cobaan yang pelik.
Penulis: Sakib Machmud (Salah Seorang
Penggagas Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI)
Editor : Ilham Khalif
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar