http://www.redaksiaklamasi.org/2017/06/messianisme-tanpa-messianisme.html

Ilustrasi: Lukisan karya Ghenadie Sontu. (redaksiaklamasi.org/Andi Muh Ridha R)



redaksiaklamasi.org - “Manusia sesungguhnya bersifat mesianis. Kita tak bisa tidak begitu, karena kita eksis dalam sebuah keadaan mengharapkan sesuatu akan terjadi. Meski kita tengah berada dalam sebuah keadaan hampa harapan, dorongan akan pengharapan merupakan bagian tak terpisahkan dari hubungan kita dengan waktu. Hampa harapan hanya mungkin karena kita berharap bahwa sejumlah kebaikan atau seseorang yang kita cintai akan datang” (Jacques Derrida)

Saat ini ummat manusia sedang berada di akhir millenium kedua berdasarkan teologi milleniarisme dan messianik. Salah-satu isu, yang katakanlah cukup dominan, menyangkut teologi messianik adalah ‘isu akhir zaman’, yang berbagi secara merata dalam Yahudi, Kristen, dan Islam. Tetapi, sebagaimana didadar oleh filsuf Jacques Derrida, messianisme yang dapat diramalkan bukan lagi ‘messianisme’ sesuatu yang dapat diduga dan diprediksi merupakan wilayah saintifik, bukan messianik.

Beberapa waktu silam, contohnya, banyak kalangan dengan terburu-buru, menyatakan bahwa Perang Yaman dan Perang Suriah menunjukkan ‘dekatnya’ akhir zaman, meski tak sedikit dari kalangan rasional, tidak menganggapnya demikian. Jantung messianisme, demikian celotehnya Jacques Derrida, justru terletak pada ketakteramalannya, bukan karena ia dapat diduga, yang dalam hal ini, menurutnya, messianisme adalah teka-teki yang justru ‘mengawetkan’ harapan.

Harapan Anda kepada seseorang yang dicinta untuk berjumpa, justru akan menjelma rindu yang sedemikian indah, hingga rindu yang bergolak dan membucah itu menjadi doa dan bahkan menjelma baris-baris sajak cinta dan kerinduan yang demikian merajuk dan musikal serta berdendang dalam kesepian dan kesunyian, justru ketika Anda tidak tahu ‘kapan’ dan ‘di mana’ Anda akan berjumpa dengan seseorang tercinta yang Anda rindukan.

Harapan seseorang yang menantikan apa dan siapa yang dinantinya justru tumbuh dan semakin tumbuh ketika ia tak tahu kapan yang dinantikannya hadir dan datang. Justru karena ia tak dapat meramalkan itulah, harapannya berkembang dan kesetiaannya diuji dan dicoba adakah ia memiliki iman yang sungguh-sungguh, ataukah ia hanya tak lebih seorang pengharap yang durjana dan khianat? Menantikan yang dapat diramalkan bukanlah ‘penantian’. Seseorang hanya dapat dikatakan ‘menanti’ ketika ia tak tahu kapan dan di mana yang dinanti itu akan datang dan hadir. 
 
Penulis : Sulaiman Djaya (Dewan Kesenian Banten)
Editor : Andi Muh Ridha R

0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top