Ilustrasi. (redaksiaklamasi.org/Andi Afri Taqbir) |
redaksiaklamasi.org - Kemiskinan, dalam
pemahaman masyarakat sekarang ini hanyalah sebuah takdir yang telah ditetapkan
oleh Tuhan. Kemiskinan juga diidentikkan dengan kemalasan seseorang. Dan ketika
kita bertanya kepada masyarakat miskin, jawabannya pasti sama, semua ini
sudah di tetapkan oleh Tuhan. Dan ketika kita bertanya kepada masyarakat kelas
menengah ke atas tentang kemiskinan, jawabannya selain karena takdir Tuhan,
kemiskinan itu karena kemalasan seseorang.
Namun, ketika kita
mengambil jawaban diatas yang pertama, kemiskinan
itu karena takdir Tuhan. Berarti kita sudah menganggap Tuhan yang Maha sempurna
tetapi diskriminatif. Karena, kalau benar demikian, mengapa Tuhan membela dan
memberi kenikmatan hidup hanya kepada orang yang kaya dan selalu memberikan
penderitaan kepada kaum miskin? Kedua,
kemiskinan itu karena kemalasan seseorang. Coba lihat para pedagang sayur di
jalan Veteran utara, kota Makassar dan di desa Pallangga, kabupaten Gowa. Dari
jam 02.00 dinihari para pedagang sudah berada di pasar untuk berdagang sampai
pasar itu tutup di sore harinya dan merekapun masih dibawah garis kemiskinan.
Saya juga mempunyai
beberapa orang tetangga yang bekerja untuk bertahan hidup sebagai pedagang
sewaktu saya masih tinggal di kabupaten Pinrang,tepatnya di kelurahan Pekkabata
kecamatan Duampanua. Para pedagang tersebut bisa dikategorikan sebagai
masyarakat miskin. Dan banyak diantara mereka yang juga bekerja sebagai petani.
Di kecamatan ini, ada dua pasar yang menjadi pusat jual-beli masyarakat , yaitu
pasar Pekkabata, dan pasar Bungi. Jarak dari pasar Pekkabata dari
lingkungan tempat tinggal saya, sekitar 2 km, dan jarak menuju pasar Bungi
sekitar 10-15 km. Dan hari-hari pasar diantara keduanya pun tidak bersamaan
setiap harinya. Maksudnya, kalau di pesar Pekkabata ramai di hari senin, maka
di pasar Bungi di hari selasa. Begitupun seterusnya antara hari-hari berikutnya
kecuali di hari minggu.
Para pedagang yang
berada di sekitar rumah saya, biasanya memulai aktivitasnya dari jam 03.00
dinihari. Mereka memulai dengan mempersiapkan barang dagangan untuk dibawah ke
pasar. Kalau tempat berdagangnya di pasar Pekkabata, mungkin mereka tidak
terlalu susah untuk membawanya ke pasar.
Tetapi, kalau barang
dagangan tersebut dibawa ke pasar bungi, bisa dibayangkan bagaimana kerja keras
mereka mencari nafkah untuk bertahan hidup. Dan kendaraan mereka ke sana ada
yang memakai mobil yang sudah tua dan banyak kemungkinannya untuk mogok di
tengah kesunyian jalan dan ada pula yang menggunakan becak dan sepeda. Dan
setelah pulang dari pasar, di antara para pedagang ini melanjutkan pekerjaannya
disawah walaupun kurang beristirahat dari berdagang. Betapa mirisnya hidup
mereka hanya untuk memberi makan keluarganya. Dengan kerja yang sangat keras
pun belum menjamin kesejahteraan mereka dan melepaskan status kemiskinan
mereka. Dan ketika mereka tidak bekerja, mereka pun tidak bisa mendapatkan uang
untuk makan, apalagi untuk kebutuhan lainnya. Waktu senggang mereka pun sangat
singkat dan tak dapat dinikmati seperti halnya pejabat-pejabat negeri ini.
Setelah melihat
fenomena-fenomena masyarakat diatas, apakah betul kemiskinan ini karena takdir
mereka untuk terus menderita sebagai masyarakat miskin? Ataukah kemalasan yang
menyebabkan seseorang menderita kemiskinan? Apakah para penguasa di negeri ini
adalah orang yang tidak malas sehingga mereka kaya? Apakah pengusaha besar yang
kerjanya bermalas-malasan itu adalah orang miskin? Dan apakah mereka “sang
penguasa dan Kapitalisme” bekerja keras seperti kerja keras kaum miskin untuk
bertahan hidup? Ternyata dunia ini sangat mengerikan dan membuat mereka yang
kuat selalu menindas dan yang lemah ditindas, membuat yang kaya semakin kaya
dan yang miskin semakin miskin.
Oleh : M.
Alfian Arifuddin
Editor : Andi Afri Taqbir
Baca Juga : Ampas Kopi Sisa yang Lalu
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar