Muhammad Syahir. (redaksiaklamasi.org/Andi Haerur Rijal) |
redaksiaklamasi.org - Agama bertujuan untuk menghentikan kekacauan, sebagaimana
dalam bahasa sansekerta “A” adalah tidak dan “Gama” adalah kacau. Dimana
agama sebagai suatu sistem yang mengikat manusia untuk selalu berada pada
hal-hal yang baik dan secara kontekstual agama sebagai panduan hidup dalam kehidupan
bersosial. Apabila agama memiliki tujuan seperti itu, mengapa sangat paradoks
dengan fakta empiris saat ini? Terkhusus pada Islam itu sendiri.
Tuhan
adalah sesuatu yang abstrak, penafsiran mengenai Tuhan macam2 sesuai dengan
landasan epistemiknya, baik agama yang dianut berdasarkan warisan (nenek
moyang/agama ardhi) maupun agama yang samawi yang telah disepakati oleh para
teologis, sebagaimana sabda Tuhan "aku
sebagaimana prasangka hamba2ku", dalam buku karen amstrong yang berjudul
"sejarah Tuhan" .
Tuhan
adalah abstraksi intelektual, dimana sesuatu yang sangat metafisi namun
dipercayai dan diyakini melalui ajaran2 yang dianut oleh manusianya melalui
agama sebagai petunjuk dari eksistensi Tuhan. Islam adalah agama Rahmatan lil alamin,
artinya islam mengayomi seluruh umat manusia tanpa terkecuali, tugas dari islam
adalah sebagai petunjuk subtansinya sama dengan agama2 lain yang tertranformasi
pada kebaikan, keadilan, dan kebenaran, dan bukan sebagai panglima tertinggi
untuk memberikan predikat "kafir"
kepada siapa saja, sehingga dengan mudahnya orang2 menggunakan islam untuk
menyerang orang lain, baik secara personal, kelompok yang berbeda mazhab
misalnya, atau bahkan karena hanya persoalan aksidenisme.
Manifesto
non agama islam terhadap islam jelas telah mengeneralisasi bahwa islam sangat
kognitif dan sensitifistik dalam mengurusi rumah tangganya sendiri, bagaimana
tidak, ada kelompok2 dengan mudahnya mengklaim kafir pada kelompok2yang lain,
yang seolah olah itu adalah tugas dari agama, dan agama telah melegitimasi
seseorang atau kelompok untuk menyatakan itu sebagai jaminan masuk surga,
sehingga agama Islam dimata agama lain diasumsikan sebagai agama yang yang
bersifat radikalisme, ekstrimisme, ladang terorisme, yang memecah belah umat
manusia. pada tahapan pengetahuan empirisme apabila salah satu kelompok yang
merusak, maka agama sebagai penyebab dan dalang dari semua kekacauan ini,
silogisme ini yang kemudian banyak diambil oleh pemikir2 barat seperti marx,
bertrand russel, atau negara2 adi kuasa sekuler seperti amerika, inggris
mengenai pelarangan agama islam untuk masuk di negaranya.
Islam sangat peka terhadap kebutuhan manusia, aktualisasi dari
islam adalah menyandarkan Tuhan pada alam, baik secara macrocosmik maupun
microcosmik, penyandaran ini dimaksudkan untuk berhubungan dengan Tuhan
(habluminallah) melalui hubungan dengan manusia (hablumminannas).
Islam adalah agama yang desain sistemnya sangat objektif untuk
kebutuhan manusia, missalnya : dilarang membuang sampah, dilarang melakukan
kekerasan, zina dan lain-lain.
Eko prasetyo juga dalam bukunya islam kiri menjelaskan mengenai islam yang sangat progresif, melawan tirani dan ketidakadilan, ini merupakan
tranformasi dari nilai-nilai ketuhanan sebabai bentuk untuk mencegah hal-hal
buruk yang terjadi pada manusia. Jika manusia melakukan kejahatan kepada
manusia yang lain, maka tanpa ia sadari ia telah berbuat jahat kepada Tuhan,
sebab entitas pada Tuhan adalah melakukan hubungan baik dengan manusia lain.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “jika ia bukan saudaramu dalam seiman maka ia adalah saudaramu dalam
kemanusiaan”, ini dimaksudkan agar bagaimana kita sesama manusia saling
menjaga, bukan merusak apalagi saling mengkafirkan.
Jadi menurut hemat saya adalah Agama sebagai metodologi untuk mengantarkan manusia pada Tuhannya. Itu
artinya Agama adalah petunjuk yang baik untuk manusia dan buka
sebagai alat propaganda untuk memecah belah.
Oleh : Muhammad Syahir
(Mahasiswa Jurusan Peradilan Agama UIN Alauddin Makassar serta Anggota di Palang Merah Indonesia)
Editor : Andi Haerur Rijal
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar