Sakib Machmud. (redaksiaklamasi.org/Ilham Khalif)

redaksiaklamasi.org - Ayat Tiga
Kita lanjutkan pembahasan kita terhadap surat Al-Fatihah dengan mengkaji ayat yang ketiga yakni:

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (٣)

Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.


Ayat ini berisi keterangan yang merupakan pengulangan dari yang telah dikemukakan pada ayat pertama. Tetapi kita yakin bahwa pengulangan ini dilakukan Allah karena tujuan tertentu. Tidak mungkin Allah Swt mengulang sebuah keterangan atau kalimat dalam Al-Quran karena telah kehabisan ide atau kata-kata. Ulama tafsir menyatakan bahwa dengan pengulangan ini Allah hendak memberi tekanan kepada ingatan manusia agar mengenali Dia sebagai yang Pemurah dan yang Penyayang. Hal ini perlu karena manusia dalam kesehariannya acap kali mengalami aneka macam masalah, kesulitan, kekurangan, kegagalan dan sebagainya. Menghadapi keadaan itu kadang-kadang orang menjadi kesal, sampai-sampai merasa tidak puas kepada policy Allah. Supaya hal itu tidak terjadi, ke dalam hati manusia dimasukkan kesadaran yang sedalam-dalamnya tentang kebaikan, kemurahan serta kasih sayang Allah Swt. 

Pakar tafsir Muhammad Abduh menyatakan bahwa penekanan kedua sifat Allah الرَّحْمَنِ dan الرَّحِيمِ adalah untuk menjelaskan kedudukan Allah Swt sebagai رب العالمين Pembina alam semesta, yang berkuasa mutlak atas segala makhluknya. Sebagian orang mungkin membayangkan, Allah yang mempunyai semua kekuasaan itu bisa jadi cenderung dzalim. Kepada orang-orang yang berpikir demikian itu ditegaskan bahwa Allah Swt amat sangat mengasihi makhluk-makhluk-Nya sehingga tidak mungkin berbuat dzalim kepada mereka. Ayat 12 surah 6 Al-An’am menjabarkan keterangan tersebut: قُلْ لِمَنْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?". قُلْ لِلَّهِ Katakanlah: "Kepunyaan Allah". كَتَبَ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ Dia telah menetapkan bagi diri-Nya sendiri sebagai (Pemberi) rahmah. 

Orang yang hatinya dipenuhi kesadaran akan kasih sayang Allah, mudah memahami bahwa segala keadaan yang dihadapinya, yang sesuai dengan harapan maupun tidak, mengandung berbagai kebaikan bagi dirinya. Al-Quran mengingatkan bahwa apa yang dipandang baik oleh manusia itu boleh jadi merupakan keburukan baginya, sebaliknya apa yang dia lihat buruk itu sebenarnya merupakan kebaikan. (QS Al-Baqarah: 216). Pemahaman-pemahaman demikian hanya akan muncul dari hati orang-orang yang senantiasa yakin akan kebaikan dan kasih sayang Allah Swt. Selanjutnya orang-orang yang menghayati kasih sayang Allah akan berusaha untuk memancarkan kembali kasih Allah kepada dirinya itu dengan mengasihi sesama makhluk di bumi. Dia berupaya menerapkan akhlak Allah Swt, sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasul: تخلقوا بأخلا ق الله berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah! Salah satu akhlak Allah yang harus ditiru manusia adalah mengasihi semua orang dengan kasih yang tulus, yang suci murni tidak dikotori pamrih-pamrih sesat. Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang”. (HR Bukhari dan Muslim).

Ayat Empat

Ayat berikutnya yakni ayat 4 surah Al-Fatihah menyatakan:
 
Yang menguasai hari pembalasan.

Ada dua bacaan yang dapat diucapkan untuk perkataan maliki pada ayat ini. Pertama dengan ma panjang dan kedua dengan ma pendek. Menurut para ahli Al-Quran dua-duanya benar dan dapat digunakan. Ada sedikit perbedaan makna. Kalau diucapkan dengan ma panjang, artinya Pemilik atau yang memiliki, sedang kalau kita baca dengan ma pendek artinya Raja atau Penguasa, atau sebagaimana yang ditulis di atas: Yang menguasai. Ada yang menyatakan, membaca maliki lebih baik, tetapi ada pula yang berpendapat sebaliknya. Kita tidak akan memperpanjang soal ini karena manfaatnya tidak banyak. Lebih baik kita meyakini bahwa Allah adalah Penguasa sekaligus Pemilik segala sesuatu. Dia berkuasa atas apapun yang dimilikinya yaitu alam semesta. Maka bila Allah berkuasa untuk mengadakan langit dan bumi dan mengatur setiap unsur yang terdapat di dalamnya sehingga senantiasa harmonis dan saling memberi manfaat, maka Dia pasti Kuasa pula untuk menghancurkannya apabila Dia menghendaki. Allah menyatakan bahwa memang Dia menghendaki dan telah menetapkan untuk meniadakan alam ini secara keseluruhan, kemudian menggantinya dengan alam lain yang disebut akhirat. Pada alam yang baru itu berlaku aturan-aturan yang sangat berbeda dengan yang sekarang sedang berlaku. 

Tatkala membaca ayat pertama sampai dengan tiga, kita berada di dalam suasana meresapi Rahmah Allah, kasih sayang Allah yang berlimpah kepada hamba-hamba-Nya. Kita merasakan bagaimana Allah Swt sebagai Rabb-nya seluruh alam dan Rabb-nya manusia mewujudkan tubuh kita dengan sempurna, dan menjadikan bagi kita sarana indera untuk melihat benda, mendengar suara, mencium bebauan, mencecap rasa untuk membedakan manis, pahit, atau asin, meraba untuk mengetahui halus atau kasar dan renjul atau rata. Allah memberi rizki yang mencukupi kebutuhan, menyediakan tempat tinggal yang menyenangkan, ayah serta ibu yang menyayangi, anak keturunan yang menggembirakan. Allah telah pula menganugerahi kita akal yang bukan hanya dapat mengetahui sesuatu tetapi juga memahami proses yang menjdikannya dan mengapa demikian, kemudian bagaimana cara mengarahkan proses itu sehingga yang terjadi akan semakin baik dan semakin bermanfaat bagi manusia. Maka ayat empat ini seperti menyentakkan hati kita untuk menyadari kenyataan bahwa kehidupan dunia ini akan berakhir dan pada suatu saat akan datang suatu peristiwa ketika setiap orang menerima balasan atas apa yang dia lakukan di muka bumi ini. Saat itu disebut Hari Kiamat atau Hari Akhir atau pada ayat ini disebut yaumuddin – hari pembalasan. Kata addin berarati agama tetapi juga berarti pembalasan. Pada hari penentuan itu Allah menjadi Penguasa atau Pemiliknya. Dia dan hanya Dia sendiri yang memeriksa kemudian menetapkan siapa memperoleh balasan apa, siapa yang masuk surga dan siapa yang di neraka.

Kalau Allah menjadi Penguasa hari pembalasan, tidak berarti bahwa Dia tidak berkuasa pada hari-hari dunia yang sekarang. Perkataan itu dikemukakan untuk menandaskan bahwa pada hari Kiamat manusia tidak akan berdaya sama sekali. Kesempatan untuk ikhtiar sudah ditutup, maka setiap orang hanya menunggu keputusan Allah Swt atas dirinya. Allah telah menetapkan bahwa balasan bagi setiap orang itu bergantung sepenuhnya pada apa yang dilakukan orang itu sendiri. Karena itu ketika membaca ayat 4 surat Al-Fatihah ini mestinya orang akan termangu, penuh harap akan memperoleh janji Allah yang sangat baik, tetapi juga bergidik ngeri kalau-kalau merasakan derita luar biasa sebagai adzab Allah. Harapan dan kecemasan itu mengantar manusia unruk kemudian berhitung dengan cermat, apa yang telah dilakukannya, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang dia rencanakan untuk dilakukan pada hari-hari mendatang. 

Muhasabah (introspeksi) beserta tindak lanjutnya perlu dilakukan dengan segera, karena tidak ada orang yang tahu kapan masa hidupnya akan berakhir. Ketika seseorang diwafatkan Allah, putus segala amalnya kecuali beberapa hal yang ditetapkan. Maka orang hanya dapat menggantungkan nasibnya kepada amal yang telah dia perbuat di masa lalu. Pada hari penentuan itu Allah pribadi yang menjadi Hakim, dan Dia adalah Hakim Agung yang tunggal. Tidak akan Allah Swt dapat dipengaruhi, baik dengan bujuk rayu, atau dengan suapan maupun ancaman. Karena itu masa hidup yang tinggal beberapa saat harus dimanfaatkan untuk dua hal: pertama memperkecil dosa dengan bertaubat memohon ampun kepada Allah, dan yang kedua memperbanyak jumlah dan meningkatkan mutu ibadah serta amal saleh.

Penulis: Sakib Machmud (Salah Seorang Penggagas Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI)

Editor : Ilham Khalif


0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top