Sakib Machmud.(redaksiaklamasi.org/Nur Aisyah Ramadhani) |
redaksiaklamasi.org - Ayat pertama surah Al-Fatihah berbunyi:
“Dengan (menyebut) Nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Kalimat yang dituliskan di atas biasa disebut Basmalah. Ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kalimat tersebut di dalam Al-Quran. Ada tiga pendapat. Yang pertama menyatakan bahwa Basmalah merupakan ayat pertama dari semua surah, kecuali surah 9, Al-Taubah. Sejak dari kodifikasi Al-Quran yang dibuat pada masa Khalifah Utsman, Al-Taubah tidak dimulai dengan Basmalah. Pendapat kedua menyatakan, Basmalah pada permulaan surah hanya merupakan pembatas antar dua surah, bukan ayat pertama dari surah yang manapun, termasuk Al-Fatihah. Perkataan itu dalam Al-Quran hanya terdalam dalam ayat 30 surat 27 An-Naml. Pendapat ketiga menyatakan Basmalah sebagai ayat pertama dari surah Al-Fatihah saja. Kita mengambil pendapat terakhir ini.
Ayat pertama surah Al-Fatihah diawali dengan perkataan بِسْمِ اللَّهِ yang umumnya diterjemahkan : "Dengan Nama Allah" atau "Dengan menyebut Nama Allah". Para penafsir menyatakan, maksud perkataan "Dengan Nama Allah" adalah memulai sesuatu dengan Nama Allah, atau memulai sesuatu dengan berdo’a kepada Allah. Tetapi dalam bahasa Indonesia, ungkapan seperti itu tidak dikenal. Yang diketahui dan umum digunakan adalah "atas nama". Karena itu بِسْمِ اللَّهِ lebih tepat dialihbahasakan menjadi "Atas Nama Allah". Dengan demikian orang yang mengucapkan kalimat itu menyatakan pengakuannya bahwa yang hendak dia lakukan itu dia niatkan "karena Allah" atau "untuk memenuhi perintah Allah". Perkataan ini memang seyogyanya diucapkan seorang mukmin setiap kali hendak memulai suatu pekerjaan. Rasulullah Saw menyatakan: “Setiap perbuatan penting yang tidak dimulai dengan Bismillah, maka perbuatan itu cacat”. Tetapi hendaknya ucapan Basmalah itu disertai atau muncul dari hati, dan orang menghayati maknanya. Dengan demikian ucapan itu mempunyai dua makna: Sebagai niat, sehingga pekerjaannya menjadi ibadah, dan sebagai pagar yang kokoh. Dia sudah meniatkan melakukan sesuatu "karena Allah", maka dia akan berusaha keras agar selalu di jalan Allah dan tidak akan ke luar dari rambu-rambu-Nya.
Bagian terpenting dari ayat ini adalah perkataan "Allah". Siapakah itu? Ulama sepakat bahwa Allah adalah sesembahan manusia, karena Dia dan hanya Dia yang mencipta dan mengatur serta memiliki seluruh alam. Hanya Dia yang menghidupkan, memberi perlengkapan hidup, rizki dan petunjuk kehidupan kepada manusia. Dia memberi kemampuan alamiah kepada manusia untuk mengenal diri-Nya. Psikolog terkemuka pemenang hadiah Nobel, Prof. Dr. Carl Gustav Yung menyebut potensi mengenal Tuhan itu "naturaliter religiosa". Al-Quran secara metaforik menggambarkan hal itu pada ayat 172 surah 7 Al-A’raf: وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا - Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka dengan berfirman: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?". Mereka menjawab: "Benar, Engkau adalah Tuhan kami. Kami menjadi saksi akan hal itu".
Potensi mengenal Tuhan itu dipunyai manusia sejak lahir, maka orang-orang Arab penyembah berhala pun mengenal Tuhan, bahkan mereka juga menyebut Tuhan yang menguasai segala sesuatu itu "Allah". Surat Luqman (31) ayat 25 menyatakan: وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ - Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka; "Siapakah yang mencipta langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah". Hanya saja pandangan orang-orang Arab jahiliyah tentang Allah berbeda dengan keterangan yang dikemukakan Allah sendiri. Mereka menganggap Allah tidak berkomunikasi dengan manusia. Untuk itu manusia memerlukan washilah atau mediator - perantara, yakni berhala-berhala, yang meneruskan keinginan dan permohonan manusia kepada Allah, dan kemudian menurunkan anugerah Allah kepada manusia. Maka pada saat-saat tertentu orang-orang musyrik Qyreisy mempersembahkan sesuatu kepada berhala-berhala mereka: Al-Lata, Al-Uzza, Manaat dan lain-lain, agar bersedia menyampaikan permohonan mereka kepada Allah dan berkenan pula meneruskan anugerah dari Allah kepada mereka.
Al-Quran mengajarkan, Allah adalah Tuhan yang Maha Esa, yang tidak berputera dan tidak diputerakan, yang sendirian tanpa batuan siapapun mengatur segala proses yang berlangsung di seluruh alam kemudian menentukan hasil-hasilnya. Allah tidak memerlukan perantara untuk berkomunikasi dengan hamba-hamba-Nya. Ayat 186 surah Al-Baqarah menegaskan: وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ – Dan apa bila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Daku (wahai Rasul), jawablah bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila dia memohon (langsung) kepada-Ku. Dengan uraian tadi jelas bahwa petunjuk terpenting yang dikemukakan Al-Quran tentang Tuhan tidak terletak pada penyebutan Nama-Nya tetapi pada pengenalan hakekat-Nya, posisi-Nya, dan hubungan-Nya dengan manusia. Karena itu ayat-ayat yang pertama-tama diturunkan kepada Rasulullah Saw tidak atau belum menyebut Nama itu. Ayat pertama surah Al-‘Alaq menggunakan perkataan Rabbuka, Tuhanmu. Begitu pula pada surah Al-Muzammil dan Al-Mudatstsir, surah-surah yang memuat ayat-ayat perdana. Sebutan "Allah" dikemukakan setelah orang mengenali bagaimana Tuhan itu.
Selanjutnya ayat pertama surat Al-Fatihah ini memaparkan dua sifat Allah, yaitu الرَّحْمَنِ dan الرَّحِيمِ – diterjemahkan sebagai "Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang". Banyak pendapat tentang dua sifat tersebut, tetapi semua sepakat bahwa Rahman dan Rahim berasal dari akar kata yang sama yang makna dasarnya kasih sayang. Sebagian ulama menyatakan bahwa Rahman adalah kasih sayang yang umum, yang dicurahkan Allah kepada semua makhluk-Nya, sedangkan Rahim adalah kasih sayang khusus, yaitu kepada mereka yang beriman dan mewujudkan imannya itu dalam bentuk amal saleh. Sebagian lagi menyatakan bahwa Rahman adalah kasih sayang yang bersifat sementara yaitu duniawi, sedangkan Rahim bersifat tetap, yakni di akhirat. Rasulullah Saw menggambarkan bahwa Rahim Allah itu jauh lebih besar dari Rahman-Nya. Dalam hadits riwayat Muslim dinukilkan sabda beliau: "Allah Swt menjadikan kasih sayang-Nya itu seratus bagian. Satu bagian digunakan untuk mengatur seluruh makhluk-Nya di bumi ini sehingga seekor induk burung mengangkat sebuah kakinya agar tidak menginjak telur yang berada di bawahnya. Sembilan puluh sembilan bagian lagi Dia simpan untuk dianugerahkan di alam akhirat".
Penulis:
Penulis: Sakib Machmud (Salah Seorang Penggagas Nilai-nilai Dasar Perjuangan
HMI)
Editor
: Nur Aisyah Ramdhani
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar