Ilustrasi. (redaksiaklamasi.org/Nur Aisyah Ramadhani) |
’i dengan ulama-ulama Khawarij dan Mu’tazilah, dan perebutan mencari pengaruh politik dari para khalifah yang sedang berkuasa.
Dalam hal ini, diperlukan waktu hampir beberapa abad untuk sampai pada proses terbentuknya pemikiran politik Sunni tersebut, terhitung sejak mulai diperkenalkannya pada masa awal Islam, sahabat, tabi’in sampai pada pengukuhannya dalam Risalah Al-Qadiriyyah.
Istilah ini (Ahlus Sunnah Wal Jamaah) awalnya merupakan nama bagi aliran Asy’ariyah dan Maturidiah yang timbul karena reaksi terhadap paham Mu’tazilah yang pertama kali disebarkan oleh Wasil bin Atha’ pada tahun 100 H (718 M) dan mencapai puncaknya pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, yaitu Al-Ma’mun (813-833 M), Al-Mu’tasim (833-842 M) dan Al-Wasiq (842-847 M).
Baca Juga : Pendidikan Formal dan Kapitalisme
Pengaruh ini semakin kuat ketika paham Mu’tazilah
dijadikan sebagai mazhab resmi yang dianut negara pada masa Al-Ma’mun.
Sementara itu, pada masa khalifah Mutawakkil negara berakidah Ahlul Hadits.
Paham ini didukung negara sehingga hadits-hadits Sunni menjadi mudah
di-intervensi dengan penambahan-penambahan yang dilakukan para ulama pelayan
keainginan selera penguasa kerajaan.
Ironisnya, Ahlul Hadits hanya memakai hadis tanpa rasio, padahal hadits-hadits yang ada tidak ada jaminan 100% akurat dari Nabi SAW. Namun, karena fanatisme mazhab, orang-orang pada masa tersebut mengarang-ngarang hadits agar mazhab-nya tetap tegak. Di sinilah muncul pertanyaan lanjutan: “Kenapa Syi’ah (12 Imam) hanya mau menerima sebagian hadits-hadits Sunni? Jawabnya tak lain karena:
Ironisnya, Ahlul Hadits hanya memakai hadis tanpa rasio, padahal hadits-hadits yang ada tidak ada jaminan 100% akurat dari Nabi SAW. Namun, karena fanatisme mazhab, orang-orang pada masa tersebut mengarang-ngarang hadits agar mazhab-nya tetap tegak. Di sinilah muncul pertanyaan lanjutan: “Kenapa Syi’ah (12 Imam) hanya mau menerima sebagian hadits-hadits Sunni? Jawabnya tak lain karena:
PERTAMA, hadits Sunni terkadang satu sama lain saling bertentangan, padahal masih dalam satu kitab hadits yang sama.
KEDUA, hadits-hadits Sunni diriwayatkan dengan makna, bukan dengan lafaz.
KETIGA, hadits-hadits Sunni diriwayatkan dengan daya ingat perawi, jadi kata perkata-nya belum tentu 100% asli dari Nabi SAW.
Dan KEEMPAT, tidak ada jaminan hadits-hadits Sunni tidak mengalami perubahan dan pemalsuan, kitab-kitab selain Al-Qur’an pasti ada benar dan ada salahnya tanpa kecuali, namun ironisnya Shahih Bukhari-Muslim diklaim benar semua oleh Sunni (meski banyak hadits yang palsu di dalam kedua kitab tersebut), sedangkan Syi’ah lebih selektif dan rasional dalam memandang Bukhari-Muslim.
Oleh : Sulaiman Djaya (Penulis serta Ketua
Komite Sastra di Dewan Kesenian Banten)
Editor : Nur Aisyah Ramadhan
Baca Juga : UNDANGAN KONFERENSI PERS
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar