http://www.redaksiaklamasi.org/2017/06/mudik.html
Dosen Filsafat UIN Alauddin Makassar, Dr. Mohd. Sabri AR, M. Ag. (redaksiaklamasi.org/Andi Afri Taqbir)

redaksiaklamasi.org - Dari gelombang manusia jelang lebaran tiba: di terminal-terminal yang gaduh, di stasiun kereta yang riuh, di pelabuhan laut yang saling desak, di bandar udara yang bising, di antrian panjang jalan raya yang macet; Apa sejatinya yang hendak mereka ungkap? Jawabnya: “Mudik.” Satu diksi dari kultur Melayu-Nusantara yang berakar dari kata “udik” bermakna “kampung pedalam
an.” Mengapa setiap orang, yang melakukan perjalanan jauh dan lama tak kembali ke kampung, acap kali tersengat rindu untuk segera pulang? Mengapa diksi tentang “pulang” (raja’a) dengan berbagai derivasinya: yarji’u, irji’î, râjiûn, dan seterusnya memiliki makna fundamental dalam tradisi Alqur’an? Jawabnya: pulang hanya bisa dicapai oleh mereka yang tahu asal-usul.

Sementara, di kampung nun jauh di pedalaman, kehidupan demikian eksotik dan berwarna: rumah-rumah dan pagar halaman dicet ulang, kursi dan sofa baru dipajang, anak-anak meledakkan meriam bambu, dan anyaman ketupat daun pandan pun riuh di setiap rumah tangga. Semua berporos pada satu tujuan: menyambut sang-pemudik “pulang” setelah sekian lama di rantau. Ada setangkup kerinduan-biru yang terbit di sana, namun tak tercakapkan. Semua berlangsung pradah dan sublim.

Ramadan, mudik, dan idul fitri bukan sebilah garis linear, tentu. Tapi matriks keimanan yang mengandaikan momen pengalaman sang-ego dalam “menyelami” diri.

Ramadan bermakna “pembakaran,”—identik dengan purgatorio dalam karya penyair Dante—Divine Comedy. Ibarat terpisahnya emas dari logam yang merengkuhnya justru ketika dibakar pada titik didih tertentu. Ramadan juga momen refleksi: melihat ke dalam diri guna menemukan ego-otentik. Sejauh ini kita mungkin gandrung melemparkan ego “keluar” dan termangsa simulakrum: citra, prestise, status, mode, dan gaya hidup. Di titik ini—secara moral—ego tercerabut dari kebahagiaan (paradiso), kesucian primordial (fitrah) dan tercampak dalam kegelapan (inferno). Itu sebab, alegorisme Alqur’an mengandaikan ego yang bangkit dan meretas dari selubung “ego-gelap” tak-otentik menuju “ego-cahaya” yang otentik: min al-zhulumâti ila al-nûr.

Dalam tradisi Abrahamic Religions—Yahudi, Kristen, dan Islam—simbol “kejatuhan” manusia-primordial dan terusir dari paradiso, diwakili oleh narasi tentang Adam dan Hawa. Meski kedua insan pertama dan nenek moyang seluruh manusia itu pada urutannya mendapat ampunan Tuhan karena teguh menjalankan “kalimat-kalimatNya” (Qs. 2: 37), namun mereka mewariskan anak cucu yang kesucian-primordialnya selalu terancam jatuh. Sebab itu, setiap orang berpotensi jatuh dan terjebak pada ego-tak-otentik alias ego-palsu.

Menahan diri di alam purgatorio ramadan bertumpu pada ide latihan “membakar” ego-palsu agar menemukan ego-otentik dan sepenuhnya menghayati “Kemahahadiran Allah” dalam segenap napas kehidupan. Sebilah episentrum cahaya yang membawa manusia-puasa menemukan kesucian primordialnya yang sirna dan kembali “ke Asal-yang-suci” (‘îd al-fithr).

Kerinduan manusia untuk selalu menyucikan ruhaninya, melahirkan naluri kuat untuk kembali “ke Asal-yang-suci”. Seyyed Hossein Nasr dalam Knowledge and Sacred (1992) mendaku, rindu untuk selalu kembali “ke Asal-yang-suci”, tidak semata dialami manusia tapi juga seluruh kosmik. Naluri kosmik untuk kembali “ke Asal-yang-suci” menuju Tuhannya menyebabkan terjadinya gerak siklis laksana tawaf dalam tradisi haji: atom bertawaf pada sumbunya, bulan mengelilingi bumi, bumi mengitari matahari, matahari beredar mengitari galaksi, dan seterusnya. 

Gerak siklis “memusat-melingkar” yang berbenturan “arah jarum jam” itu, pada urutannya berakhir pada titik pusat “Kesadaran Eksistensi” yang dalam teologi disebut sebagai Tuhan. Ini pula makna esensial firman Tuhan: Innâ Lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn: Sungguh kita semua berasal dari Allah, dan hanya kepada Allah kita “kembali”. Di titik ini, jejak telaga suci keruhanian Islam mengalir deras dalam jantung narasi kebudayaan Bugis-Makassar: “amminro” (Konjo), “ammaliang” (Makassar) dan “lisu” (Bugis) yang juga mengandaikan gerak siklis “pulang” ke Asal.

E.F. Schumacher (1990), menyebut ilustrasi gerak siklis “kembali ke Asal yang suci” di atas sebagai “the hierarchy of existence”: mulai dari Tuhan pada tingkat tertinggi dan tak tepermanai (Infinitum) hingga manusia dan benda-benda “di bawah” manusia. Atau sebaliknya: dari benda-benda mati (terrestrial) di tingkat paling rendah hingga Tuhan pada tingkat tertinggi. Dengan begitu Tuhan adalah “Titik Berangkat” dan “Titik Pulang” seluruh realitas.

Inilah akar doktrin “persaudaraan kosmik” antara kosmik dan manusia dalam melakukan pergerakan bersama “kembali” atau “mudik” ke Asal yang-suci. Akibatnya, lahir “senyawa” kimiawi manusia-kosmik: realitas-benda (terrestrial) “bersenyawa” dengan tubuh (body); realitas-cakrawala (intermediate) dengan pikiran (mind); realitas-langit (celestial) dengan jiwa (soul), dan “realitas-tak-tepermanai” (infinitum) dengan ruh (spirit) manusia.

Itu sebab, keterpanggilan ego-otentilk atau ruh yang bersifat Ilahi untuk selalu menyucikan dirinya dan kembali kepada Tuhannya, menjadi sumbu seluruh pergerakan “Mudik ke Kampung Asal-yang-suci” dan mengepung kerinduan absolut setiap ego. Bukankah pulang, adalah sebuah gerak kepastian yang mengandaikan seseorang menemukan dirinya tak jauh dari titik dimana ia berangkat? Mudik, sebab itu, bukan hanya urusan orang-orang yang ingin pulang, tapi juga mereka yang mau berangkat.

1 Juli 2016


Oleh : Dr. Mohd. Sabri AR, M. Ag (Dosen Filsafat UIN Alauddin Makassar)

Editor : Andi Afri Taqbir









0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top