Dr. Adian Husaini. (redaksiaklamasi.org/Andi Haerur Rijal) |
redaksiaklamasi.org
- Pada tanggal 24 Oktober 2013 lalu, saya bersyukur mendapatkan kesempatan
berbicara dalam satu seminar tentang peradaban Islam di Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS). Seminar itu diadakan sebagai satu rangkaian
kegiatan peringatan Dies Natalis ke-55 UMS. Bertindak sebagai keynote speaker
adalah Prof. Malik Fadjar, mantan rektor UMS yang dikenal sebagai salah satu
tokoh pendidikan di Indonesia. Pembicara lain adalah Dr. Gina Puspita, pakar
aeoronotika, dosen Fakultas Teknik UMS, yang juga pendiri Klub Istri Taat Suami,
serta Prof Dr. Heru Kurnianto Tjahjono, pakar manajemen dari Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Tema yang diberikan kepada saya adalah Pendidikan Islam
Membentuk Manusia Berkarater dan Beradab sama dengan judul salah satu buku yang
saya tulis. Memang, diakui oleh banyak pakar pendidikan, bahwa salah satu
kelemahan dari pendidikan kita selama ini adalah kurangnya penekanan pada
pembentukan karakter unggulan anak didik. Prestasi belajar hanya diukur pada
aspek kognitif. Padahal, karakter yang kuat adalah faktor penting dalam
kemajuan suatu bangsa. Begitu yang biasa dipaparkan oleh para pakar pendidikan.
Apalagi, fakta juga menunjukkan, masih menonjolnya berbaga karakter negatif di tengah masyarakat, bahkan di kalangan para elite bangsa. Sejumlah karakter manusia Indonesia yang menonjol, seperti pernah diungkap oleh budayawan Mochtar Lubis (alm.), dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 April 1977, adalah munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, dan suka jalan pintas. (Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).
Karena mengakui kelemahan dalam karakter bangsa, akhirnya
pemerintah merancang program pendidikan karakter. Kini, banyak program sedang
dijalankan dengan tujuan membentuk karakter yang dianggap unggulan, seperti
jujur, tanggung jawab, cinta kebersihan, kerja keras, toleransi, dan
sebagainya. Pemerintah dan DPR bersepakat bahwa Pendidikan Karakter perlu
diprioritaskan untuk membangun bangsa yang maju. Sekolah dianggap sebagai
tempat yang strategis untuk penyemaian pendidikan karaker. Tahun 2011,
Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan), mengeluarkan buku kecil berjudul “Panduan Pelaksanaan Pendidikan
Karakter.
Dalam pengantar buku tersebut, Kabalitbang Kemmendiknas menulis:
Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi
pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral,
beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini
sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana
diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Sedangkan tujuan Pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan
nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi : (1)
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik,
berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter
Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya
diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.
Disebutkan, bahwa dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan
pendidikan karakter pada satuan pendidikan, telah teridentifikasi 18 nilai yang
bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu:
(1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6)
Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat
Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13)
Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli
Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab (Sumber: Pusat Kurikulum.
Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah.
2009:9-10).
Apresiasi dan Kritik
Seperti dikhawatirkan Mochtar Lubis, salah satu ciri menonjol pada manusia Indonesia adalah lemah karakternya. Jika karakter yang lemah seperti ini dibiarkan dan tidak dilatih agar berangsur-angsur menjadi semakin kuat, maka masa depan bangsa juga mengkhawatirkan. Umat Islam, sebagai komponen terbesar bangsa Indonesia seharusnya menjadi umat yang paling menonjol kerakternya. Allah Berfirman, "Kamu adalah umat terbaik, yang dilahirkan untuk manusia. Kamu menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Dan kamu beriman kepada Allah." (QS 3:110).
Umat Islam adalah umat yang mulia, jika mereka benar-benar
beriman (QS 3:139). Umat Islam diserahi tugas mewujudkan rahmatan lil alamin,
memakmurkan bumi dan mewujudkan keselamatan bagi manusia, di dunia dan akhirat.
Umat Islam akan menjadi saksi atas manusia. Sebab kata Nabi s.a.w, Al Islamu
ya'lu wal yu'la alaihi. Islam itu tinggi. Tidak ada yang lebih tinggi dari
Islam. Karena itu, memang bisa dikatakan, masa depan umat Islam dan bangsa Indonesia,
akan ditentukan oleh berhasil atau tidaknya pendidikan berbasis karakter atas
mereka.
Akan tetapi, kita, warga bangsa yang Muslim, perlu bertanya,
Pendidikan Karakter seperti Apa yang dimaui oleh pemerintah? Bagaimana
pendidikan karakter itu dipandang dari perspektif pandangan alam Islam (Islamic
worldview).
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mengaku berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa. Sesuai kesepakatan Bung Hatta dengan para tokoh Islam
di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), makna Ketuhanan Yang Maha
Esa adalah Tauhid. Karena itu, tidak sepatutnya bangsa Indonesia mengembangkan
konsep Pendidikan Karakter yang ateis atau yang bersifat sekuler. (Tentang arti
Pancasila, lihat Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional
Umat Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009).
Seyogyanya, pendidikan karakter yang dikembangkan di Indonesia,
khususnya untuk umat Islam, haruslah pendidikan karakter berbasis Tauhid. Jika
bangsa Cina, Jepang, AS, dan sebagainya, maju sebagai hasil pendidikan
karakter, tentulah bangsa Indonesia harus memiliki karakter yang lebih baik,
tanpa perlu menjadi komunis, ateis, atau sekuler.
Dalam perspektif Tauhid inilah, tampak sejumlah ketidakjelasan
dan kerancuan dalam konsep Pendidikan karakter yang saat ini diajukan
pemerintah. Misalnya, disebutkan, bahwa Pendidikan karakter ditempatkan sebagai
landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan
masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab
berdasarkan falsafah Pancasila.
Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung
perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD
1945”
Jika ditanyakan, apa makna ungkapan akhlak mulia, moral, etika, adab, menurut falsafah Pancasila? Apakah Pancasila bisa dijadikan sebagai landasan untuk berakhlak mulia? Jika bisa, bagaimana kita harus berakhlak mulia sesuai Pancasila? Bisakah dijelaskan, bagaimana cara menggosok gigi yang baik menurut falsafah Pancasila?
Jika ditanyakan, apa makna ungkapan akhlak mulia, moral, etika, adab, menurut falsafah Pancasila? Apakah Pancasila bisa dijadikan sebagai landasan untuk berakhlak mulia? Jika bisa, bagaimana kita harus berakhlak mulia sesuai Pancasila? Bisakah dijelaskan, bagaimana cara menggosok gigi yang baik menurut falsafah Pancasila?
Juga disebutkan dalam buku Panduan tersebut, bahwa tujuan
Pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk
karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi : (1) mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik;
(2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi
warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya
serta mencintai umat manusia.
Menjadikan Pancasila sebagai pedoman pembentukan karakter bangsa
akan menimbulkan persoalan serius, karena akan membenturkan Pancasila dengan
agama. Pancasila seyogyanya tidak dijadikan sebagai landasan amal, akhlak, atau
karakter. Sebab, itu adalah wilayah agama. Jika Pancasila akan ditempatkan
sebagai pedoman karakter atau moral, maka akan menjadi pedoman baru, yang
berbenturan dengan posisi agama. Hal itu tidak akan berhasil, sebab Pancasila
tidak memiliki sosok panutan ideal yang bisa dijadikan contoh dalam pembentukan
karakter. Berbeda dengan Islam, yang memiliki suri tauladan yang jelas dan
abadi, yaitu Nabi Muhammad saw.
Seharusnya, bangsa Indonesia mau belajar dari kegagalan Orde
Baru dalam upaya penempatan Pancasila sebagai pedoman amal. Upaya pemerintah
Orde Baru untuk menempatkan Pancasila menjadi landasan moral dilakukan melalui
sosialisasi dan indoktrinasi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Tahun 1978, Partai Persatuan
Pembangunan menolak pengesahan Tap MPR tentang P4. Tokoh Masyumi Sjafroedin
Prawiranegara juga berkirim surat kepada Presiden Soeharto tanggal 7 Juli 1983,
yang menyatakan, bahwa tidak ada yang namanya moralitas Pancasila, karena
urusan moral sudah ada dalam agama masing-masing. Sjafroedin menekankan, bahwa
Pancasila adalah asas negara dan landasan konstitusi. Prof. HM Rasjidi juga
berpendapat, P4 membahayakan keberadaan Islam. Misalnya, ajaran tentang
kerukunan beragama telah dipergunakan untuk membelenggu umat Islam supaya tidak
menentang pemurtadan umat Islam oleh aliran kebatinan dan kristenisasi. Ada juga
tokoh yang menulis bahwa P4 memberikan perlindungan terhadap aliran kepercayaan
dan menyingkirkan kaitan historis kedudukan umat Islam dalam kerangka ideologi
Pancasila. P4 dipandang sebagai manipulasi dan pemusatan penafsiran ideologi
negara oleh penguasa tanpa mengaitkan asas-asas ajaran agama, terutama Islam.
Memang, sejak tahun 1975, PMP wajib diajarkan di sekolah-sekolah. Dan sejak
ditetapkan MPR, maka Penataran P4 diwajibkan untuk pegawai negara dan
mahasiswa. Menurut Riswanda Imawan, penataran P4 dimaksudkan untuk mengurangi
pentingnya ideologi Islam. Ada juga yang menyebut proses Pancasilaisasi
mempunyai implikasi deislamisasi. Juga, menurut Leifer, salah satu fungsi
Pancasila adalah untuk melindungi identitas budaya kelompok abangan. Muhammad
Natsir menyebut diberlakukannya pelajaran PMP di sekolah-sekolah merupakan
bentuk pendangkalan agama dan penyamaan agama dengan Pancasila. (M. Rusli
Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, hal. 179-180).
Jika pendidikan karakter didasarkan kepada falsafah Pancasila
yang tidak dijelaskan maknanya, maka sudah barang tentu, pendidikan karakter
itu berpijak di atas fondasi yang rapuh. Seharusnya, pendidikan karakter di
Indonesia dilaksanakan khususnya bagi kaum Muslim dengan berdasarkan kepada
konsep Tauhid. Itulah sebenarnya makna dan konsep yang paling tepat bagi
pendidikan Karakter di Indonesia, sesuai dengan makna Ketuhanan Yang Maha Esa
dan Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di
Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan sebuah
Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, yang antara lain menegaskan:
(1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah
agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk
menggantikan kedudukan agama. (2) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar
Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD)
1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan
dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah,
meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. (Lihat,
pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul Pancasila Kembali untuk buku Asad Said
Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).
Lihat juga, Munawar Fuad Noeh dan Mastuki HS (ed), Menghidupkan Pemikiran KH
Achmad Siddiq, (Jakarta: Pustaka Gramedia Utama, 2002), hal. 118-145).
M. Ali Haidar, dalam bukunya, Nahdatul Ulama dan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), memberikan komentar
terhadap keputusan Munas Alim Ulama tersebut: Penegasan ini sebenarnya bukannya
tidak terduga. Seperti dikemukakan Hatta ketika bertemu dengan beberapa
pemimpin Islam tanggal 18 Agustus 1945 menjelang sidang PPKI untuk mengesahkan
UUD, mereka dapat menerima penghapusan tujuh kata yang tercantum dalam Piagam
Jakarta, karena dua alasan. Pertama, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan
monoteisme tauhid dalam Islam. Kedua, demi menjaga kesatuan dan keutuhan
wilayah negara yang baru diproklamasikan sehari sebelumnya Salah seorang yang
dipandang Hatta berpengaruh dalam kesepakatan ini ialah Wachid Hasjim, tokoh NU
yang memiliki reputasi nasional ketika itu. Jadi rumusan deklarasi itu
hakekatnya menegaskan kembali apa yang telah disepakati sejak negara ini baru
dilahirkan tanggal 18 Agustus 1945 yang lalu. (hal. 285-286).
Sebenarnya, terlepas dari agama dan ideologi masing-masing,
harusnya bangsa Indonesia mau bersikap jujur, bahwa rumusan Pancasila yang
berlaku sekarang ini, tidaklah terpisahkan dari rumusan Pembukaan UUD 1945,
yang kini berlaku kembali sebagai hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit itu
menegaskan bahwa Piagam Jakarta adalah menjiwai dan merupakan satu kesatuan
dengan UUD 1945. Karena itu, dalam memahami sila Pertama, misalnya, tidak boleh
dilepaskan dari alinea ketiga Pembukaan UUD 1945: Atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa. Jadi, sila pertama, menurut berbagai tokoh organisasi Islam, bisa
dikatakan sebagai penegasan konsep Tauhid dalam Islam, sebab dalam alinea
ketiga jelas-jelas disebutkan nama Tuhan yang Esa yaitu Allah.
Dalam buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun,
tokoh Muhammadiyah, Prof. Kasman Singodimedjo menegaskan: Dan segala tafsiran
dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurut historisnya maupun
menurut artinya dan pengertiannya sesuai betul dengan tafsiran yang diberikan
oleh Islam. (Lihat, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta:
Bulan Bintang, 1982), hal. 123-125).
Karena itu, sudah sepatutnya, pendidikan karakter di Indonesia
memang didasarkan kepada konsep Tauhid, sehingga memiliki landasan, konsep, dan
teladan (uswatun hasanah) yang jelas. Sebagai aplikasinya, misalnya, karakter
toleransi, harus diberi batasan, bahwa umat Islam tidak boleh bertoleran
terhadap kemusyrikan dan kemunkaran. Dalam tataran kebangsaan, sudah
sepatutnya, negara tidak menfasilitasi berkembangnya paham-paham syirik yang
bertentangan dengan konsep Tauhid. Maka, keliru, jika atas nama Pluralisme dan
multikulturalisme, siswa diajarkan agar bertoleran terhadap segala bentuk
aliran sesat yang jelas-jelas merupakan suatu kemungkaran.
Yang benar adalah, negara wajib melindungi segenap warganya,
khususnya warga Muslim, agar tidak mengikuti paham syirik dan kemungkaran. Yang
terangkit penyakit syirik, diupayakan agar bertobat. Bukan malah dikembangkan
dengan alasan itu merupakan local wisdom. Anak-anak Muslim perlu ditanamkan
untuk memiliki karakter yang kuat dalam bertoleransi, tetapi tanpa merusak
keimanannya dan tetap didorong untuk aktif menjalankan kewajiban dakwah, yakni
malaksanakan amar maruh nahi munkar.
Jadi, kita bisa menyimpulkan, bahwa sebenarnya tidak ada yang
namanya karakter Pancasila. Pendidikan karakter di Indonesia sepatutnya
dikembalikan kepada agama masing-masing. Serahkan pembentukan karakter
anak-anak Muslim pada orang tua dan para guru yang muslim; menggunakan konsep
pendidikan akhlak dalam Islam dan menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai sosok
teladan yang agung. Didiklah anak-anak Muslim agar mereka memiliki karakter
mulia dalam Islam, seperti pemberani (syajaah), cinta pengorbanan, bermartabat,
jujur, cinta kebersihan, cinta ilmu, cinta kerja keras, punya rasa malu, cinta
sesama, dan sebagainya, dengan berdasar kepada ajaran Islam.
Dengan cara itu sebenarnya Pancasila sudah ditegakkan; tidak
perlu ada yang namanya karakter Pancasila. Tidak akan ditemukan manusia
Indonesia yang bisa mengamalkan Pancasila 100 persen, yang seluruh ucapan dan
perbuatannya bisa dijadikan contoh keteladanan. Kita memerintahkan anak kita
menolong fakir miskin, menyantuni anak yatim, karena itu perintah Allah SWT,
sesuai ajaran Islam; bukan karena perintah Pancasila. Dan yakinlah kita, di
akhirat nanti, tidak akan ditanya oleh Allah, apakah kita sudah mengamalkan
Pancasila atau tidak! Wallahu alam. (Depok, 1 November 2013)
*Penulis adalah Dr. Adian Husaini. Beliau lahir
di Bojonegoro, Jawa Timur, 17 Agustus 1965; umur 51 tahun) adalah ketua
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, sekretaris jenderal Komite Indonesia untuk
Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina-Majelis
Ulama Indonesia (KISP-MUI), Anggota Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis
Ulama Indonesia (MUI), dan anggota pengurus Majlis Tabligh Muhammadiyah serta
Ketua Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibnu Khaldun Bogor.
Penulis
: Dr. Adian Husaini
Editor
: Andi Haerur Rijal
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar