Rizal Karim. (redaksiaklamasi.org/Andi Muh Ridha R) |
redaksiaklamasi.org - “Pendidikan merupakan pasar kerja yang
paling berkembang dan terbesar didunia.” Ivan Illich.
Sirkulasi
kapital ternyata menampakkan wujudnya dalam ranah pendidikan dengan karakter
yang berbeda. Disaat proses keberlangsungan capital dalam ruang produksi pabrik
berjalan dengan cara eksploitatif, maka didalam ruang pendidikan yakni dengan
cara Dominasi. Wajah pendidikan tidaklah mengalami perubahan dari masa kemasa.
Suatu hal yang membuat kita bingung ketika diperhadapkan kondisi pendidikan
yang tak mengalami perubahan . layaknya
system pendidikan tidak pernah menjadi soal dalam kehidupan yang terus
mengalami pergantian rezim.
Buah yang jatuh tak jauh dari pohonya.
Begitupula dengan produk kampus yang tak jauh beda dengan apa yang diinginkan
dari sistemnya. Di Rezim yang tengah mensyaratkan adanya komoditi sebagai nilai
yang mampu mengerakkan sirkulasi kapital, juga melihat ruang pendidikan
sebagai komoditi. Masuknya Rezim ini
kedalam relung-relung pendidikan, maka pendidikan berubah menjadi wadah yang
dikomersialisasikan dengan prinsip liberalisme.
Dengan adanya muatan kepentingan dalam
ruang pendidikan maka kehidupan kampus pasti akan mengalami perubahan yang
sesuai dengan kepentingan tersebut. Di mulai dari metode pembelajaran hingga
cara pandang manusia harus sejalan bersama kepentingan kapitalisme. Wajah
pendidikan semacam ini tidak hanya mengubah bentuk pendidikan yang kita bisa
tangkap secara empirik, bahkan juga mengontrol kehendak bebas manusia untuk
tidak keluar dari arus
kepentingan mereka. Sepeti yang telah penulis singgung
diatas, bahwa metode yang dipakai dalam mencengkram ruang pendidikan ialah
dominasi. Dengan Dominasi yang menjadi pintu masuk dalam ruang pendidikan
sehingga segala nafas kehidupan dalam kampus mampu terkontrol dengan baik.
Dominasi tidak pernah lepas dari yang
namanya kekuasaan atau otoritas. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah
otoritas siapa yang kini dijalankan oleh kampus? Apakah kepentingan segelintir
orang saja atau kepentingan kemanusiaan? Simpan dulu pertanyaan ini. Mari kita
simak terlebih dahulu pernyataan dari pemikiran Henry A. Giroux terhadap krisis yang menimpa kampus, “Universitas mewakili keperluan siapa dan
untuk kepentingan siapa.” Fream yang senada dengan pertanyaan awal tadi.
Pemikiran Giroux juga membuka cakrawala berpikir kita dan
menegaskan akan ketimpangan kampus yang merusak segala siklus
kehidupan akademik. Kekuatan dominasi yang didapatkan melalui struktur hiraerki
kekuasaan dipraktekkan dengan cara menundukkan nalar berfikir para Mahasiswa
dalam konteks kampus.
Maka dengan cara demikianlah proses Hegemoni dapat berjalan dan bertahan
dengan baik. Atau meminjam gagasan Lois
Altuseer “ideologi aparatus state” proses
dimana peng ideologisasian terjadi melalui aparatur-aparatur pendidikan. Jadi
proses sirkulasi kapital yang berjalan dalam ruang pendidikan tidaklah sekasar
sistem eksploitasi manusia pada umumnya, akan tetapi lebih halus dan terawat
oleh dominasi intelektual.
Pembentukan Tradisi Diam
Diam adalah emas tak lagi memiliki
kekuatan bila diperhadapkan dengan realitas yang mengharuskan mulut untuk
berucap. Diam disaat kondisi keadilan terkubur hanya menjadikan kita sebagai
ornamen-ornamen dalam bangunan kezaliman yang tidak memiliki pengaruh selain
hiasan bagi tuannya. Tetapi pernah kita sejenak memikirkan bahwa realitas tradisi diam ini adalah
hal yang alamiah atau produk dari sistem pedidikan kapitalistik? Mari kita
beranjak dari pemikiran salah satu tokoh
asal Amerika Latin,
yakni Paulo Freire. Gagasannya yang
dikenal ingin menggiring kembali ruang pendidikan layak peryataan Betrand
Russel “bahwa ciri pendidikan ada pada
nilai-nilai kejujuran dan keberanian.”
Pendidikan tak ubahnya dengan pengontrol sosial yang memiliki dua wajah: mendiamkan atau membebaskan. Bentuk wajah pertama bisa kita tafsirkan sebagai pembungkaman. Dimana kondisi sosial seperti pembungkaman tidak turun begitu saja dari langit, akan tetapi melalui tahap pendidikan yang berkarakter dominasi. Terdominasinya kaum pelajar dalam ranah pendidikan menjadikan ruang sadar tak terstimulus untuk merasakan keberadaannya dalam ketidaktahuan. Maka diam menjadi pilihan dalam melakonkan dirinya diruang pendidikan.
Bagi Paulo Freire manusia harus
mengaktifkan kesadarannya atau disebutnya sebagai Konsentisasi. Proses dimana
manusia menggali secara terus menerus ruang sadarnya terhadap realitas yang
menghimpitnya dan tergerak untuk merubahnya. Itulah konsep konsentisasi yang
dimiliki manusia namun bersifat potensial, menurut Freire. Namun hal potensial
yang dimiliki manusia ini menjadi sebuah ancaman bagi realitas yang telah
dibangun kapitalisme. Maka
usaha yang penuh dengan dominasi atau ditegaskan oleh Foucault dalam karyanya Disipliner and Punish, ‘bahwa Disiplin membentuk indidvidu; ini
merupakan teknik khusus dari sebuah kekuasaan yang memandang individu sebagai
objek dan juga sebagai instrument latihannya (Foucault 1979: halaman 170)’ harus di jalankan.
Bentuk
normalisasi dalam teori disiplin Foucault menjadikan watak manusia tak lebih
dari mesin yang menjalani segalanuya dengan cara mekanik. Maka bila
diperhadapkan dengan ragam jenis mahasiswa: apatis,
hedonis dan aktifis, dibawah system pendidikan semacam ini sungguh jelas bahwa
pilihan yang ketiga bukanlah pilihan bagi system pendidikan yang liberal
kapitalistik.
Eko
Prasetyo, salah satu tokoh yang tulisannya masih gencar membakar semangat
mahasiswa yang sedang mengalami hantaman rezim pendidikan yang membungkam.
Seperti yang pernah di ucapkan bahwa mahasiswa
dan aktifis memiliki peran yang berbeda: mahasiswa hanya memiliki tujuan
menjadi wisudawan dan aktifis merupakan penggerak terciptanya perubahan dalam
realitas social masyarakat. Amanah yang sangat besar terpikul dalam pundak para
Aktifis ketimbang mereka yang hanya berstatus mahasiswa saja. Mungkin kita bisa
melogikan bahwa kehidupan aktifis tak pernah direstui dalam dunia kapitalis.
Ketika melihat gerakan pemuda yang pernah ditorehkan dalam sejarah bernegara
kita, merupakan ancaman sirkulasi dan kerja-kerja kapitalis dalam dunia yang
hendak mereka wujudkan: dunia Neo imperialisme.
Dekonstruksi
bangunan pendidikan merupakan langkah kedepan dalam menghadirkan para
intelektual yang peka terhadap kondisi realitas kehidupannya. Atau melahirkan
para Intelektual Organik seperti gagasan Gramsci
sebagai patron gerekan yang pastinya lahir tidak dalam atmosfir kampus
bermenara gading.
Wiji
Tukul, aku ingin jadi peluru, sesungguhnya sudah lama bertanya. Di penggalan
puisi “ucapkan kata-katamu”, sang sastrawan bersajak: / jika kau tak berani
lagi bertanya/ kita akan jadi korban
keputusan-keputusan/ jangan kau penjarakan ucapanmu/ jika kau menghamba kepada
ketakutan/ kita akan memperpanjang barisan perbudakan.
Oleh : Rizal Karim/Bung Ical (Mahasiswa
Ilmu Hukum UIN Alauddin serta Delegasi dari Mahasiswa yang Terbungkam)
Editor : Andi Muh Ridha R
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar