redaksiaklamasi.org - HMI Tidak Bermaksud Mendongkel Bung Karno
DR.
SULASTOMO, saat itu Ketua Umum
Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam. Menilai “Bung Karno merupakan seorang
pemimpin besar yang revolusioner. Sebagai seorang yang revolusioner, dia sangat
mengandrungi kehidupan yang dinamik, yang serba bergelombang ibarat gelombang
samudra yang besar.
Oleh karena itu menurut
Sulastomo. “HMI harus ikutan jalannya revolusi dan tidak boleh ketinggalan.
“Apalagi di tahun 65-an HMI sedang gencar-gencarnya diteror sebagai organisasi
yang kontra revolusioner. Teror tersebut terutama datangnya dari pihak PKI dan
para pendukunnya. Untuk itu, maka Sulastomo meyimpulkan, “HMI harus mengambil
kesan revolusioner, jika HMI tidak mau dibubarkan”.
“Keseluruhan
sikap dan langkah HMI, tampaknya memang telah berhasil menyakinkan Bung Karno.
Sudah tentu (upaya itu) tidak oleh HMI sendiri, tetapi juga oleh para pendukung
dan sipatisan HMI, baik oleh para pemimpin umat, serta pemimpin negara lain.
Hal ini dapat terlihat, betapa Bung Karno dan Pak Leimena dengan tegar menolak
tuntutan perubahan HMI oleh Aidit dan CGMI di forum terbuka di Istora Senayan
tanggal 29 September 1965...”. Padahal beberapa menit sebelummnya, Aidit dengan
sombong berkata “Lebih baik pakai sarung jika tidak membubarkan HMI”. Bung
Karno ternyata tidak bisa digertak dalam forum terbuka seperti itu, apalagi hal
itu datangnya dari seorang semacam Aidit. Bung Karno bahkan dengan lantang
berkata, CGMI pun, apabila ternyata konta revolusi, juga akan dibubarkan. “Now,
it can be told”.
Sekarang, dapat diceritakan, kata Sulastomo. Dan penilaian
tersebut kini tertuang dalam buku hari-hari yang panjang 1963-1966. Buku
berwarna merah darah setebal 150 halaman itu menceritakan pengalaman pribadinya
selama menjadi ketua umum PB HMI periode 1963-1966. Pada hematnya peristiwa
panjang di tahun 1963-1966 yang penuh tanda tanya bagi generasi sekarang, sudah
tiba waktunya untuk dijelaskan seperti yang tertulis dalam buku ini. Adapun
unsur subjektifitas yang tidak dapat dihindari dalam penulisannya, seperti
diakui sendiri oleh Sulastomo, adalah wajar. Dan yang jelas “Para pembaca
dihadapkan pada berbagai alternatif yang dapat dipilihnya sendiri”. Kata
Sulastomo dalam kata pengantar bukunya ini.
Secara
terbuka Sulastomo menceritakan betapa hubungan baik antara HMI dan ABRI,
sehingga tidak mengherankan, karena keakrabannya ini PB HMI bisa langsung
bertemu Pak Harto pada saat dualisme kepemimpinan nasional berlangsung. Bahkan
pernah mendesak agar Pak Harto selaku pengembang Supersemar dapat memimpin
kabinet Ampera.
Hasilnya”....esok
harinya (tanggal 15 Juli 1966) saya terkejut bahwa pemikiran PB HMI telah
menjadi berita utama harian Berita Yudha. Yang dikenal sebagai dekat
dengan Angkatan Darat. Surat akbar menulis: HMI Berdiri Dibelakang Pak
Harto”...Sulastomo juga mengaku sangat dekat dengan Subchan Z.E. tokoh NU,
bahkan bersedia masuk NU jika HMI dibubarkan. Menurut penuturannya. “Meskipun
Mas Subchan adalah seorang tokoh NU tetapi beliau bisa lebih dekat dengan HMI
dibanding mungkin dengan PMII atau G.P Ansor. Tidak mustahil hubungan demikian
baik dengan HMI ini dapat menumbuhkan rasa iri hati di kalangan generasi muda
NU. Selain itu Sulastomo juga menceritakan hubungan baiknya dengan Sudjono
Humardani. “Saya pribadi sudah menganggap beliau sebagai orang tua saya”. Kalau
sudah bertemu beliau , Pak Djono tidak saja ingin berdiskusi masalah-masalah
politik/kenegaraan, tetapi juga ajaran-ajaran Jawa....Terus terang ajaran
Jawanya sendiri saya tidak asing lagi, tetapi cara beliau mendalami ajaran itu
banyak yang saya rasakan sebagai baru”.
Bagi
Sulastomo yang terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI priode 1963-1966, itu adalah
masa yang paling gawat dalam kehidupan ormas tersebut. Di pundaknya terpikul
tanggungjawab hidup matinya HMI. Dan terbukti Sulastomo memang pantas untuk
memimpin organisasi semacam HMI pada masa lalu, khususnya dalam menghadapi
teror dari PKI dan para pendukungnya, begitu juga sebaliknya, tatkala Jakarta
sudah semakin panas dengan aksi-aksi demontrasi untuk menganyang PKI. Dan
ketika ada pemikiran untuk mengarahkan sasaran demontrasi kepada Bung Karno,
Sulastomo sebagai Ketua Umum PB HMI secara tegas menolak pemikiran semacam itu.
Menurut
Sulastomo ada lima faktor yang meyebabkan HMI tidak bisa menerima ajakan atau
pemikiran untuk mengarahkan demontrasi kepada Bung Karno. Pertama,
menjaga jangan sampai terjadi konflik nasional. Kedua, boleh dibilang
inkonstitusional. Ketiga, mempertimbangkan posisi ABRI. Keempat,
secara moril, Bung Karno seorang pemimpin besar yang telah banyak jasanya bagi
bangsa dan negara. Kelima, menjaga keselamatan HMI itu sendiri,
mengingat KAMI ternyata dibubarkan oleh Bung Karno. Kebijaksanaan yang diambil
dengan sikap hati-hati ini, bukan sekedar pertanggung jawabannya sebagai Ketua
Umum PB HMI, tetapi juga kepentingan nasional.
Banyak
temannya yang berhaluan keras menentang kebijaksanaan Sulastomo, namun sedikit
pun ia tak bergeming dari pendiriannya. Sama seperti Bung Karno yang tak
sehelai rambutpun bergeser dari prinsifnya untuk tidak membubarkan HMI, dari
tuntutan Aidit. Dalam pada itu Sulastomo meminta kepada teman-temanya agar bisa
menjalankan kebijaksanaan yang telah digariskan. “Sebagai seorang Ketua saya
mempunyai semacam hak prerogatif”, tandasnya dengan nada pasti. Atas dasar lima
faktor tersebut Sulastomo sebagai Ketua Umum PB HMI menyatakan: “HMI
tidak bermaksud mendongkel Bung Karno” Memang dalam aksi demontrasi
yang cukup panas di tahun 65-an, banyak organisasi yang mengarahkan aksi
demontrasinya kepada Bung Karno. Dan Sulastomo sebagai seorang Ketua Umum PB
HMI setidaknya telah berupaya untuk melarang teman-temanya berbuat semacam itu.
Sulastomo
yang mengaku pernah menari lenso dengan Bu Hartini di Istana Bogor, ternyata
dalam bukunya setebal 150 halaman ini masih menanyakan dan penasaran: Mengapa
Bung Karno tidak mau membubarkan HMI? Sedangkan Masyumi, BPS, Manikebu, KAMI,
dllnya dapat dibubarkan oleh Bung Karno. Sayangnya, Bung Karno yang bisa
menjawab semua ini sudah meninggal dunia dan tidak sempat meninggalkan pesan
atau tulisan kepada HMI.
Sebuah
teka-teki memang masih belum terjawab. “kata Sulastomo”. Tetapi, faktanya
benar, bahwa meskipun didesak oleh Aidit di dalam Forum yang terbuka, Bung
Karno bersikap tidak membubarkan HMI. “Hubungan HMI dan Bung Karno” seperti
yang diungkapan oleh Sulastomo dalam bukunya ini, sangat menarik untuk kita
pelajari dan setidaknya kita dapat melihat bahwa ada orang-orang diluar
pendukung formal seperti PNI, yang dekat dengan Bung Karno.
Menulis
kejadian disekitar tahun 1963-1966, menurut Sulastomo. “ tidaklah mudah, sebab
banyak masalah politik yang terkait. Dan menjelaskan masalah politik, selamanya
tidak akan mudah, meskipun itu hanya menyangkut sebuah organisasi mahasiswa,
yaitu “HMI”. Kendati begitu, pada pronsifnya, minimal para pembaca telah
mendapat satu wawasan, yaitu wawasan ke-HMI-an.
Editor:
redaksiaklamasi.org
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar