Dok. LAPMIFEBI

redaksiaklamasi.org – Dilansir LAPMIFEBI.WORDPRESS.COM, Tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang memilih netral di tengah krisis moral. -Dan Brown.
 
Kutipan kalimat di atas yang serupa ancaman dilontarkan seorang novelis fenomenal bernama Dan Brown. Ini saya temukan pada sebuah novel milik seorang kawan yang belum sempat saya baca secara utuh, seri ke tiga dari The Da Vinci Code berjudul Inferno. Pemilihan kata yang mengagumkan, menggambarkan betapa naifnya seorang yang memilih bersikap netral alias tidak berpihak dan saya akan berbohong jika mengatakan kalimat tadi tidak mengingatkan saya pada kondisi kampus tempat saya bertualang, dikenal berperadaban dengan simbolisasi  “Kampus Hijau”.

Institusi pendidikan sudah semestinya menjadi arena pertempuran ide, gagasan  yang adil, dimana semua orang hanya bertumpu pada apa yang kita sebut argumentasi. Ketika memulai perkuliahan tentu bayangan kita tentang kampus mesti lah berbeda, begitu pula dengan saya, ekspektasi tentang kuliah yang seru dengan banyak perdebatan serta  ragamnya pemikiran ternyata tak sesuai pengharapan. Sepanjang mengikuti proses belajar di Universitas, saya bahkan menyaksikan banyaknya kontradiksi dengan tujuan pendidikan ala UUD 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa. Gaya pendidikan, setidaknya yang saya alami di UIN Alauddin Makassar adalah model pendidikan gaya bank seperti penjelasan Paulo freire, sulit menemukan pertukaran gagasan ketika pengajar cenderung memaksakan sudut pandangnya yang umum untuk diterima sebagai kebenaran satu-satunya, tak hanya itu tenaga pendidik sering kali menggunakan otoritasnya untuk menekan nalar kritis mahasiswanya dengan berbagai intimidasi, seperti intimidasi umum yang ditemui: nilai anjlok atau tidak diikutsertakan sama sekali dalam proses belajar mengajar.

Persoalan moral akan menjadi tema sentral dalam tulisan ini, utamanya moral tenaga pendidik yang di minggu-minggu terakhir sebelum libur ini membuat saya berpikir betapa bobroknya sebuah sistem pendidikan tanpa landasan moralitas yang jelas di tiap strukturnya. Masih segar di ingatan saya, bagaimana seorang dosen yang juga berposisi sebagai pimpinan dalam salah satu jurusan di fakultas dimana saya menimba ilmu, tiba-tiba menerobos kelas dan memaki-maki mahasiswa –hanya untuk mengumumkan batas akhir pengurusan KRS– tepat saat dosen lain tengah memulai perkuliahannya.  Dosen tersebut saya kenal sebagai dosen yang cukup disegani di kampus UIN alauddin Makassar,  DR. Sabri a.r, beliau adalah dosen yang kala itu memenuhi kewajiban mengisi jadwal mata kuliah Etika Bisnis. Setelah kejadian tersebut beliau melanjutkan kelasnya dengan beberapa kali menyentil sikap pimpinan jurusan kami yang dirasanya tidak mempunyai gaya komunikasi yang mencerminkan seorang pendidik dan tentu saja dengan attitude yang buruk, sebelum kemudian beliau menginginkan ketua kelas untuk menyampaikan sikap tersinggungnya kepada wakil dekan I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam.

Saya mungkin tak akan bisa menggambarkan begitu jelas bagaimana kedudukan moralitas di institusi pendidikan kampus UIN secara luas, saya hanya akan memberi gambaran tentang apa yang saya saksikan sendiri di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam. Contoh kasus selanjutnya adalah kejadian pembubaran kegiatan HMJ Manajemen yang dilakukan secara sembrono dan jauh dari attitude yang bisa diakatakan baik, kejadian yang diwarnai teriakan dan seruan bubar ini berakhir dengan adu mulut dengan wartawan Washilah yang didorong dan mengaku ponselnya dirampas ketika sedang merekam kejadian sebagaimana tugas seorang wartawan.

Sebagaimana umumnya lembaga kemahasiswaan, himpunan mahasiswa jurusan sudah barang tentu berkewajiban  menunjukan eksistensinya sebagai lembaga yang memayungi kepentingan dan aspirasi seluruh mahasiswa di lingkup jurusannya. Namun hal ini tak berlangsung begitu baik, ketua jurusan merasa perkumpulan semacam itu ialah illegal, entah tolak ukur seperti apa yang digunakan namun menurut saya itu hanya semata-mata alibi untuk melarang mahasiswa baru mendapat sudut pandang baru, berbeda dan tentu saja dianggap berbahaya. Monopoli kebenaran selama ini menjadi  praktek lumrah di kampus. HMJ dituduh oleh beberapa pemangku jabatan dapat menularkan pengetahuan yang bersifat brain washing, padahal sekali lagi, kampus merupakan sebuah tempat pertarungan ide dengan tumpuan satu-satunya adalah argumentasi kritis, bukan kekuasaan.

Dua kasus di atas merupakan gambaran kecil sebagai pembuktian bahwa kampus tak lagi bisa diharap memunculkan pergumulan ide, karena pandangan yang kaku dan ketakutan yang akut  terhadap ilmu pengetahuan alternatif.  Ini semakin memperjelas bahwa lembaga pendidikan kita tidak siap menerima ide-ide dan gagasan baru. Hal ini tidak lain disebabkan oleh kemapanan logika positivistik yang bercokol dan menetap menjadi moralitas baku. Peserta didik hanya akan menjadi objek pasif yang terperintah oleh aturan-aturan yang diperoleh dari eksperimen-eksperimen pemangku jabatan strategis kampus. Seberapa pun banyaknya pemikiran baru, sebagai bentuk dialektika keilmuan peserta didik, mereka tidak lebih sebagai objek yang selalu dipandang sama sebagai gejala alam yang terlepas dari relasi batiniah, emosional, maka halal lah dientaskan dalam sebuah laboratorium. Dengan logika ini, maka akan semakin sering kita menjumpai ide-ide diberangus otoritas yang berkuasa, kita akan mengenangnya sebagai praktik intimidasi.

Tidak hanya oknum dosen yang telah kehilangan pijakan moralitasnya sebagai pendidik, lembaga di dalam tubuh kampus pun kian hari kian mengerikan saja sepak terjangnya–dalam hal ini saya akan membahas komisi disiplin (KOMDIS). Sebuah lembaga yang berisi beberapa orang-orang terpilih dari berbagai fakultas yang ditugaskan untuk menangani kasus-kasus pelanggaran terhadap aturan kampus. Sepanjang yang saya saksikan, KOMDIS kemudian menjelma menjadi lembaga yang menakutkan yang berdiri  tanpa pijakan prosedur yang jelas. Kita bisa menyadari bahwa KOMDIS bersikap sangat tertutup, konservatif, mengingat lembaga tersebut merahasiakan secara ketat standar prosedur operasioanlnya. Maka hal yang keliru wajar sering kita jumpai, ketika kasus pembubaran kegiatan HMJ dan kekerasan terhadap pers yang didakwakan kepada salah seorang pimpinan jurusan Manajemen misalnya, setelah beberapa pekan berlalu dan berbagai sidang digelar, tiba-tiba terbit keputusan yang membebaskan terdakwa dari semua tuntutan, sangkaan dan juga bukti-bukti fisik, tanpa konfirmasi kepada pelapor, saksi, dan juga koban. Mengapa?

Semua tiba-tiba menjadi runyam, semua orang berpikir, apa yang terjadi jika yang berbuat demikian adalah mahasiswa tanpa perlindungan kekuasaan, apa yang akan terjadi? Apakah akan berbeda? Bahkan untuk mendakwa sang dosen melanggar kode etik pun tidak, apa saja yang dikerjakan komdis, dimana hasil keputusannya dan bagaimana prosedur pengambilan keputusannya? semua berakhir di tempat yang sama, di keranjang sampah ruangan mereka, lihat bagaimana sebuah otoritas diselewengkan!

Setelah semua kejadian janggal bin ajaib itu, rupanya masalah tidak selesai, sang dosen yang sempat terlapor dengan berbagai dakwaan kembali dengan misi pembalasan, gantian melapor dengan dakwaan pencemaran nama baik. Seorang yang telah kepergok melanggar sebuah etika kembali membalas sebab merasa telah dicemarkan nama baiknya oleh yang telah memergokinya. Persidangan berlangsung lebih janggal lagi, seorang terdakwa diseret keluar ruangan persidangan di lantai tiga rektorat, alasannya sepele, tak mau mematikan rekamannya, apa yang salah dengan merekam? Bukankah sudah wajar merekam sebagai arsip, juga untuk mengevaluasi persidangan, mengapa merekam suara mereka dilarang? Dengan alasan apa anda biasanya melarang seorang merekam pembicaraan anda? Kalau saya tentu karena tak ingin pembicaraan didengar orang lain, mengapa tak ingin didengar orang lain? Mungkin  saya akan menjawab karena itu adalah kebohongan. Tapi jika muncul pertanyaan seperti ini; mengapa anda merekam peristiwa ini dan berupaya menjadikannya konsumsi publik? Maka dengan tegas, saya akan mengatakan seperti ini; itu jabatan publik, pertanggungjawabannya ke publik. Maaf, atas uraian problematika ini, ini mungkin karena sebuah pilihan:  berdiri tegak pada posisi kritis atau tetap termanggu dalam situasi yang ambivalen.

Gowa 29 januari 2017

Oleh: Nahwan Lira

Editor: Andi. Muh. Ridha R


0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top