redaksiaklamasi.org – Di Lansir Indoprogress.com, PERBUDAKAN
bukan merupakan fenomena baru di wilayah NTT. Duarte Barbosa, geografer
Portugis, pada tahun 1518 mencatat budak sebagai salah satu komoditas
perdagangan, dan institusionalisasi perbudakan diperkenalkan lewat hadirnya VOC
(Vereenigde Oostindische Compagnie), perusahaan dagang Belanda (Hagerdal
2010). Dalam catatan Salomon Muller, pada tahun 1829 di Kota Kupang terdapat
1200 orang budak, dan pasar budak masih ditemukan di Maunura (Ende) hingga
tahun 1878, meskipun perbudakan sudah dilarang sejak tahun 1860 (Ormeling
1956). Dalam sejarahnya para pedagang yang datang ke wilayah NTT membeli tiga
komoditas utama: cendana, madu dan budak (Hagerdal 2010; Parimarta 2002;
Ormeling 1956). Kini cendana nyaris punah; madu laris manis; budak adalah
realitas.
Tahun 2016, sekitar 50-an jenazah TKI (Tenaga Kerja
Indonesia) diterima di terminal cargo El Tari, Kupang. Sebagian peti jenazah
pulang dengan alamat palsu, dengan alamat pasti hanya terminal cargo. Di tahun
2014 dari 1021 orang yang ditangani pihak berwajib, sebanyak 605 diduga
merupakan korban perdagangan orang. Di tahun 2015 sebanyak 1004 orang yang
ditangani, sebanyak 468 orang terindikasi indikasi korban perdagangan orang.
Berdasarkan data yang dikumpulkan IRGSC, pelaku perdagangan orang terbesar
dilakukan oleh PPTKIS (Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta)
sebanyak 61 % di tahun 2014, dan 45% di tahun 2015. Sedangkan jumlah pelaku
yang tidak diidentifikasi sebanyak 17 % (2014), dan 32% (2015).
Pertanyaan-pertanyan yang kemudian berkembang adalah
bagaimana mungkin perbudakan yang terjadi dalam rentang waktu lima abad
terakhir, tetap dapat bertahan dan menjadi hal yang biasa? Bukankah tata sistem
politik berubah, dan VOC sebagai korporasi dagang sudah hilang? Bahkan
perdagangan budak di wilayah ini sudah dihentikan oleh Belanda di awal tahun
1900-an, seiring proses pasifikasi. Bukankah kini para elit pribumi lah yang
berkuasa? Mengapa dalam putaran waktu lima ratus tahun kita kembali ke titik
semula, ketika globalisasi bukan lagi gerak satu arah dari Eropa ke Timur?
Mengapa korporasi kembali sebagai pelaku perbudakan?
Apakah perbudakan merupakan hal yang biasa? Jawaban
etisnya ‘tentu tidak’. Bagaimana mungkin perbudakan tetap eksis dalam waktu
yang berbeda, dan dalam ruang yang sama? Dan manusia yang berbeda yang mewarisi
DNA para leluhurnya tidak mampu membedakan antara ‘tenaga kerja’ dan
‘perdagangan orang’ (human trafficking). Padahal, perdagangan orang ini
lah yang biasa disebut sebagai perbudakan moderen (modern slavery).
Dalam kajian sosiologi, orang menyebut perbedaan perspektif ini menjelaskan
kontradiksi kelas tergambar yang tampak lewat perspektif yang dipakai.
Arus migrasi beresiko dari NTT cenderung tidak
terbendung. Beberapa faktor pendorong (push factors) terjadinya
perdagangan orang antara lain kemiskinan, tekanan perubahan iklim, korupsi
aparat negara, dan kekeringan. Sedangkan faktor-faktor penarik (pull
factors) yang diandaikan berasal dari kondisi eksternal antara lain:
terlalu longgarnya PPTKIS terkait liberalisasi undang-undang ketenagakerjaan,
kebijakan pemerintah lebih menekankan pada hak bermigrasi dan kurang menekankan
pada hak bermigrasi dengan selamat, kebutuhan tenaga low skilled labor
yang tinggi dari negara maupun provinsi tetangga yang beralih ke sektor
industri dan jasa.
Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)
yang merupakan turunan dari Protokol Palermo, hingga kini belum fasih digunakan
oleh para aparat dalam sistem peradilan di NTT. Solusinya, selain menambah
biaya untuk penanganan kasus perdagangan orang, pemahaman detil teknis tindak
pidana perdagangan orang perlu dipahami oleh polisi, jaksa dan hakim. Tanpa
pemahaman atas detil indikator perdagangan orang, kasus yang diproses juga
sangat minim. Tahun 2016, kasus yang ditangani Polda NTT sekitar 60-an kasus
atau hanya sekitar 6,7% dari jumlah kasus yang ditangani polisi. Sedangkan
kasus yang diproses kejaksaan jelas lebih kecil atau kurang dari 1% yang dari
yang tercatat di suratkabar. Tentu yang mendapatkan sanksi menggunakan UU TPPO
juga semakin kecil lagi.
Gagapnya sistem peradilan menanggapi aksi perdagangan
orang terlihat dari dominannya dua hal yang diangkat dan diproses dalam sistem
peradilan: (1) pemalsuan identitas, dan (2) korban adalah anak. Selain dua hal
ini polisi dan jaksa seolah sedang menangkap angin. Sayangnya, ketidakmampuan
sistem peradilan untuk bereaksi terhadap kejahatan serius dengan menggunakan UU
TPPO, tidak dikritisi malah ‘diaminkan’ oleh DPRD Provinsi.
Perbedaan perspektif adalah hal biasa, namun pengabaian merupakan tindak
kriminal.
Ketika dijadikan Perda (Peraturan Daerah), substansi
undang-undang tindak perdagangan orang pun luput menjadi pembahasan, sebab
fokus utama hanya pemalsuan dokumen dan diksi dominan yang dipakai berasal dari
Undang-Undang Ketenagakerjaan. Rekomendasi baru tiba di level pemalsuan
administrasi yang merupakan salah satu elemen dalam perdagangan orang. Hal ini
sangat mungkin dilakukan jika prinsip partisipatoris multi pihak dilaksanakan
dalam pembuatan Perda, dan tak hanya mendengarkan suara dominan PPTKIS.
Secara berurutan, eksploitasi berlangsung mulai dari
proses rekrutmen, penampungan, pengurusan adminstrasi, penempatan, skema
penggajian, dan pemulangan/perpanjangan kontrak. Seharusnya DPRD Provinsi NTT
mampu bekerja lebih baik, dan tidak hanya fokus pada persoalan administrasi.
Seharusnya pihak kepolisian dan kejaksaan bisa bekerja di bagian hulu atau
dalam proses rekrutmen dengan peka terhadap praktek ‘perdagangan orang’. Di
Belanda, yang menjadi ‘nenek moyang’ hukum di Indonesia, polisi dan jaksa
bekerjasama dalam pengumpulan bukti terkait perdagangan orang. Di Indonesia
polisi dan jaksa bekerja terpisah.
Indikator perdagangan orang terkait ‘penipuan pada
saat rekrutmen’ terlihat dari: (1) penipuan terkait lokasi kerja/majikan,
kondisi pekerjaan; (2) upah yang ditahan dan jumlah gaji yang tidak transparan,
(3) dokumen kependudukan yang ditahan majikan. Indikator ‘rekrutmen yang
disertai dengan kekerasan’ ditandai dengan kekerasan pada korban, calon pekerja
di-isolasi total, ancaman terhadap keluarga, terutama ketika keluarga telah
menerima ‘uang muka’ (debt bondage). Indikator kontrol terhadap korban
yang rentan dan mudah dimanipulasi antara lain: pembodohan, korban tak mampu
membaca dokumen karena minim kemampuan berbahasa (Indonesia). Indikator lengkap
terkait perdagangan orang dapat dibaca dalam pamflet yang disebarkan ILO (International
Labor Organization)_ (2009).
Secara substantif, seorang tenaga kerja hanya menjual
jasa tenaganya. Sedangkan perdagangan orang korban biasanya tidak memiliki
pilihan dan berkuasa atas tubuhnya. Dalam titik tertentu, PPTKIS bisa disamakan
dengan agen perbudakan, ketika PPTKIS berkuasa atas manusia yang dikirimnya.
Khususnya ketika mereka hanya dianggap sebagai komoditas. Bukankah PPTKIS yang
hanya mengejar laba dan tidak mau memastikan kondisi kerja di lokasi majikan
serupa dengan tindakan para tuan yang menjual budak di masa lampau? Ucapan
permisif yang biasa keluar dari pengurus PPTKIS, “Orang mati bisa dimana saja.”
Pertanyaannya, “Apakah Anda bersedia jika ditempatkan dalam posisi gelap gulita
ketika dikirim bekerja?”
Hans Hagerdal (2010) yang menulis tentang ‘The Slaves
of Timor’ mencatat bahwa jumlah budak yang dikirim keluar dari Timor tinggi
pada saat perang. Budak adalah orang-orang yang kalah dalam peperangan.
Sebaliknya, saat damai jumlah budak menurun drastis. Perang kini tidak harus
dalam perang konvensional, namun juga berupa perang dagang. Nalar untuk
memahami ‘perang dagang’ perlu dipelajari, sebab meskipun tampak damai,
peti-peti jenazah para korban terus mengalir.
Satu abad lebih proses modernisasi yang ditandai
dengan pasifikasi Belanda di bawah Gubernur Jenderal Van Heutz berlangsung di
berbagai wilayah yang dulu digolongkan sebagai Wilayah Karesidenan Timor.
Berbagai institusi modern didirikan. Selain gereja, sekolah juga dibangun.
Birokrasi kolonial sudah digantikan oleh birokrasi republiken. Namun
proses kekalahan, yang ditandai dengan tercerabutnya warga dari tempatnya
tinggal, dan berubah menjadi komoditas belum menjadi fokus persoalan. Padahal
‘perdagangan orang’ merupakan simbol kekalahan penduduk di NTT dalam gambaran
yang paling brutal.
Apakah kemiskinan merupakan faktor pendorong (push
factor) bagi orang untuk melakukan migrasi? Pertanyaan ini merupakan bahan
perdebatan, karena tidak semua orang yang dikategorikan miskin memilih untuk
melakukan migrasi, namun atas nama ‘ingin keluar dari lingkaran kemiskinan’
orang juga melakukan migrasi. Pertanyaan selanjutnya ‘apakah orang masih punya
kapasitas dan kapabilitas untuk tinggal’ dengan sekian perangkat modernitas
yang diperkenalkan secara marak sejak awal tahun 1900-an?
Pendidikan, Migrasi dan Pekerja Anak
Tujuan penyelenggaraan pendidikan di sekolah atau
institusi pendidikan dalam pandangan Dewey adalah agar semakin terdidik warga
negara dan memungkinkan terjadinya mobilitas sosial secara demokratis. Namun
harapan ini adalah harapan palsu untuk kebanyakan anak-anak di NTT. Berdasarkan
data yang dikumpulkan BPS, rata-rata anak di NTT hanya bersekolah hingga SMP
kelas satu. Angka putus sekolah tertinggi berdasarkan jenjang institusi
pendidikan yang ditempuh ada di Kabupaten Sumba Tengah, yang lamanya anak
bersekolah hanya sampai Kelas 5 SD. Sedangkan di Timor Barat berada di
Kabupaten Timor Tengah Selatan, yang rata-rata anak hanya bersekolah hingga SMP
Kelas satu. Di Kota Kupang, rata-rata anak mencapai jenjang pendidikan bangku
SMA Kelas Tiga. Kesenjangan antara kota dan desa amat terasa.
Dengan kondisi semacam ini, anak-anak NTT amat rentan
terhadap penipuan yang berujung pada perdagangan orang dan tingginya angka
pekerja anak. Rendahnya pendidikan, dan tingginya angka low skilled labor
tidak bisa dilepaskan dari tren menurunnya kualitas pendidikan di NTT. Faktor
lain yang berkontribusi terhadap semakin menurunnya kualitas pendidikan di NTT
adalah kualitas guru, keberadaan guru, dan ketersediaan bahan ajar. Contohnya,
di salah satu kabupaten yang disurvei, kebanyakan guru SD di Sumba Barat berpendidikan
SMA, dan kebanyakan tidak pernah dilatih tehnik pedagogis yang memadai. Tentu
kita tidak bisa berharap mendapatkan kualitas pendidikan berkualitas jika
kapasitas guru pun terbatas. Cerita tentang guru yang mudah melakukan hukuman
fisik karena stres honor tak kunjung tiba juga ditemukan di lapangan.
Paradoks dari dunia yang saling berkaitan adalah
seluruh wilayah NTT menjadi jajahan Telkomsel (dengan tarif yang menindas,
karena provider lain jaringannya tidak berkembang di NTT), yang membuat
warga terhubung melalui paket data dan media sosial. Entah di Sabu, di
Moropokot (Nagekeo), atau di Besikama (Malaka) orang semakin terhubung, namun
anehnya kesenjangan semakin menganga. Konektivitas memang membuat orang
memiliki akses informasi yang sejajar, tetapi konektivitas tidak membuat orang
lebih berdaya atau berdaulat atas tubuhnya sendiri. Di titik ini informasi
sekedar menjadi fantasi, bahkan elemen awal untuk melakukan eksploitasi.
Selain infrastruktur IT yang semakin berkembang,
Indonesia dalam pemerintah Jokowi menekankan konektivitas yang ditandai dengan
fokus penguatan infrastruktur di berbagai wilayah Indonesia. Tol laut menjadi
cita-cita. Pembangunan infrastruktur jalan menjadi prioritas. Namun pendidikan
yang menjadi inti utama agar ‘kesenjangan’ tidak menganga kurang menjadi
perhatian. Satu hal konkrit yang luput dari tim perencana pemerintah saat ini
adalah ketimpangan pembangunan, antar pulau dan antar kawasan tidak menjadi
bahan pertimbangan. Konektivitas tak hanya menghadirkan ketersambungan, tetapi
juga membawa kesenjangan, karena selalu ada pihak yang kalah dalam konteks uneven
development.
Kolonialisme Internal
Apakah pemerintah memiliki fungsi melindungi populasi
yang ada, ataukah pemerintah hanya berganti kulit dan menjalankan peran
kolonialisme internal? Hadirnya birokrasi modern yang diperkenalkan oleh
pemerintah kolonial Belanda jelas membutuhkan tenaga rendahan untuk dijadikan
pegawai, terutama sebagai juru tulis. Untuk itu lulusan sekolah-sekolah awal
Belanda menjadi para ambtenaar pertama. Hingga hari ini mind set
sekolah untuk menjadi pegawai negeri belum bergeser. Menjadi pegawai adalah
cita-cita kaum yang bisa baca tulis.
Mimpi menjadi pegawai juga menjadi mimpi anak-anak
petani maupun para petani di pedalaman. Dalam salah satu survei yang dilakukan
oleh IRGSC yang didukung oleh Save the Children di Kabupaten Sumba Barat
(2015), sebanyak 60% anak (n=112) ingin menjadi pegawai negeri, dan hanya 3%
yang ingin menjadi petani, meskipun 60% dari mereka berasal dari keluarga
petani. Ironisnya, tak lama setelah duduk di bangku kelas satu SMP rata-rata
dari mereka impiannya pun pupus, dan mereka pun drop out dari sekolah.
Tak semua orang miskin pergi bermigrasi mencari kerja.
Dengan pendidikan yang pas-pasan mereka direkrut menjadi ‘pembantu rumah tangga
(PRT)’ untuk keluarga di negeri jiran, atau kota-kota besar di Indonesia
(seperti Medan, Jakarta, Batam, Surabaya, dan Denpasar). ‘PRT asal
NTT’ memiliki logo tersendiri: Murah, dan Taat. Tanpa sadar ini lah hasil
pendidikan yang kita pasarkan dari NTT. Timor dan Sumba masih melanjutkan
posisi sebagai lokasi terbanyak ‘korban perdagangan orang’. Kedua pulau ini
dikenal sebagai ‘reservoir’ budak abad 17.
Dalam catatan Ormeling (1956), geografer Belanda
terakhir di Timor, ia mencatat bahwa pada tahun 1792 Huyser menuliskan bahwa
‘daerah (kepulauan) Timor menyediakan budak-budak yang baik untuk pembantu
rumah tangga’. Di area Hindia Belanda budak dikirim ke Batavia, Palembang, dan
juga ke Banda untuk memetik pala. Dalam atlas perbudakan (Walvin 2006), budak
yang dikirim dari Hindia Belanda juga menjangkau Cape Colony atau
Tanjung Harapan di Afrika Selatan.
Di era kolonialisme Eropa perbudakan seluruhnya ditandai
dengan paksaan dan kekerasan fisik. Sedangkan perbudakan yang tergambar dalam
model kolonialisme internal tak mesti ditandai dengan kekerasan fisik saat
rekrutmen, namun sangat mungkin dilakukan secara legal dan diproteksi oleh
aparat pemerintah dengan manipulasi kolektif. Salah satu tehnik manipulasi
dalam tata pengetahuan terkini adalah dengan menempatkan jarak objektif antara
pembuat kebijakan dengan warga yang jadi sasaran perdagangan orang. Remmitance
menjadi alibi terkuat, sementara secara hukum para pelaku cenderung untouchable.
Salah satu cara untuk mengukur jarak modernitas, dan jarak ‘kolonialisme
internal’ adalah dengan mengukur sejauh mana perbedaan antara watak ‘para
penjajah Belanda’ dan kaum mardijkers kontemporer yang menjadi elit baru
dalam skema kolonialisme internal.
Dalam kajian tata pengetahuan kita juga melihat
bagaimana perbudakan mendapatkan celahnya untuk kembali beroperasi kembali,
dengan meletakkan nalar korporasi sebagai ‘kebenaran dominan’ dengan dijadikan
regulasi oleh legislatif/pemerintah pusat maupun legislatif/pemerintah daerah.
Selama aksi perdagangan orang tidak dikenal, dan aksi pelanggaran oleh
korporasi dibiarkan dan dibaca sebagai bentuk insentif terhadap korporasi maka
sesungguhnya kita tidak bergerak dari posisi kolonialisme abad ke 15.
Neo kolonialisme yang disebutkan oleh Soekarno sedang
terjadi. Atau mungkin dalam konteks NTT perbudakan tidak perlu ditulis dengan
tambahan ‘neo’, sebab perbudakan bagian dari kultur feodal, dan menyatu dalam
tatanan sistem sosial. Perbudakan tidak hilang, hanya berganti baju, atau
bahkan dilaksanakan dengan diam-diam sebagai bentuk praktik budaya lokal.
Perbudakan (slavery) hanya lah terjemahan etis orang Eropa, sedangkan
bagi warga di NTT maupun di Indonesia secara umum, pembedaan ini tidak
dilakukan karena telah dianggap bagian dari ‘hukum alam’, atau terjemahan lurus
dari Darwinisme sosial. Globalisasi hanya mempercepat proses eksploitasi yang
memang sudah terjadi dalam skala geografis yang makin luas, dan para pejabat
tak lebih dari kepanjangan tangan korporasi (indirect ruler).***
Penulis adalah anggota
FAN (Forum Academia NTT), Peneliti IRGSC dengan minat sosiologi sejarah.
Editor : redaksiaklamasi
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar