redaksiaklamasi.org - “Kemarin aku begitu cerdas, maka aku ingin mengubah dunia. Hari ini aku menjadi bijak, maka aku mengubah diriku sendiri.” Maulana Jalaluddin Rumi Barangsiapa membereskan hubungan antara dirinya dengan Allah, niscaya Allah akan membereskan hubungan antara dia dan manusia semuanya. 
Barangsiapa membereskan urusan akhiratnya, niscaya Allah akan membereskan baginya urusan dunianya. Barangsiapa selalu menjadi penasihat yang baik bagi dirinya sendiri, niscaya Allah akan menjaganya dari segala bencana. Imam Ali bin Abi Thalib KW Innallaha laa yughayyiru ma bi kaumin hatta yughayyiru ma bi anfusihim “. 
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri …” Q. S. [13] : 11.

Bagi kita yang awam dan bukan “native speaker arab” dan mengikuti terjemahan ini secara tekstual maka bisa saja kita terperosok karena seakan berarti kalau kita sudah berusaha mengubah diri kita sendiri maka Allah akan mengubahnya sebagaimana yang kita upayakan, secara sederhana seperti tidak ada masalah tetapi jika ditelisik lebih jauh bermakna “usaha sendiri lebih dominan daripada kehendak Dia yang Mahakuasa” atau “kalau kita usaha maka kita pasti sukses” dan ini adalah “masalah”. 
Karena usaha yang kita upayakan sendiri dengan seluruh kemampuan masih bisa saja gagal. Segala upaya baik yang berhasil maupun yang belum dan atau akan gagal dan tidak berhasil itu ditentukan oleh Allah. Allah lah yang Maha Kuasa dan Maha Berkehendak (dominan).

Sebuah hadis dari Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Tuhanku berkata padaku: Wahai Muhammad! Sesungguhnya Aku kalau sudah menentukan sesuatu maka tiada seorang pun yang sanggup menolaknya”. (H. R. Muslim). 
Di hadits ini, jelas ‘dominasi’ Dia, Keperkasaan Dia, Dia yang tak bisa diganggu gugat. Mari kita dekati lagi ayat diatas dengan terjemahan real-nya, bukan interpretatif, yakni : “Sesungguhnya Allah tidak mengubah ‘apa-apa/keadaan yang ada pada suatu kaum’ (ma bi qoumin), hingga mereka mengubah apa-apa/keadaan yang ada pada jiwa-jiwa mereka (ma bi anfusihim)” Inilah masalahnya. 
Terjemahannya. ‘Apa-apa yang ada/keadaan yang ada pada jiwa-jiwa mereka’, diterjemahkan jadi ‘keadaan diri mereka sendiri’.

Inilah sebabnya ada yang memahaminya sebagai ‘kalau saya mengubah diri, maka saya bisa!’. Padahal, maksud sebenarnya adalah ‘Kalau saya mengubah jiwa saya, maka Allah pun akan memperbaiki keadaan/kondisi saya’. Nafs, adalah ‘jiwa’. Jamaknya, anfus. Jiwa-jiwa. Apa itu ‘apa-apa yang ada pada jiwa’, atau ‘keadaan jiwa’ yang harus diubah, sehingga Allah berkenan mengangkat kita? Apa-apa yang ada pada/bersama jiwa (bi anfus), adalah hawa nafsu. Keadaan jiwa, adalah jiwa yang masih dalam tingkat keadaan ‘jiwa yang mengajak pada keburukan’ (nafs ammarah bis su’) atau ‘jiwa yang terombang ambing antara perbuatan dan penyesalan’ (nafs lawwamah), diangkat naik menjadi jiwa yang tinggi, jiwa yang tenang (nafs mutma’innah) dstnya. 

Nah. Sejak ini, ayat ini jadi makes sense dan harmonis dengan hadis Rasulullah SAW yang kita kutip. Kalau kita memperbaiki kondisi jiwa kita dan hawa nafsu kita, tentu saja Allah akan memperbaiki kita sebagai insan. Intinya, “kalau kita mau berubah, kita harus berurusan dengan hawa nafsu kita, dan Allah akan memperbaiki seluruh semesta insan kita yang lainnya, LAHIR dan BATIN“. 

Just change your hawwa-nafs, and He would take care of all others. Alhamdulillah! Dengan ini, malah semakin terlihat betapa Maha Pemurahnya Allah pada hamba-hamba yang bertaubat, berusaha, berupaya. Dalam Quran Sahih International QS 13:11 ini ditranslasi sangat indah: “… Indeed, Allah will not change the condition of a people until they change what is in themselves ….” 

Conclusion: Change ‘what is in themselves‘.

Wallahu a’lam Bissawab

*** Dari berbagai sumber yang telah diadaptasi untuk kajian Rumi. 
Oleh : Andi Khaerurrijal
Editor : AMS

0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top