redaksiaklamasi.org – Oleh : Muh. Firman
Rusyaid
(Mahasiswa Jurusan Peradilan
Agama UIN Alauddin Makassar dan Kader Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat
Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar Cabang Gowa Raya)
“Yang terbaik di
dalam politik adalah, manusia akan hidup bahagia karena memiliki peluang untuk
mengembangkan bakat hidup dengan rasa kemasyarakatan yang akrab dan hidup dalam
suasana moralitas.” Plato — Aristoteles.
Kampus
adalah ruang industri pemikiran, sekaligus tempat yang paling teruji untuk
mengukur kompetensi politik, begitulah yang pernah diungkapkan Anis Matta.
Sehingga tidak heran, terjadi pertaruhan ideologi dan usaha hagemonik (meminjam
istilah Gramsci) sebagai upaya untuk memperebutkan pengaruh politik sekaligus
pembentuk stereotype gerakan mahasiswa yang diinginkan oleh kelompok tertentu.
Politik
kampus adalah manifestasi dari gerakan mahasiswa. Berwujud pemerintahan
mahasiswa. Kampus sebagai tempat lahirnya generasi intelektual masa depan,
berpengaruh besar terhadap pembangunan manusia yang berkualitas dan kompeten
dibidangnya. Selain itu, kampus juga merupakan tempat pertaruhan ideologi dan
kaderisasi, sehingga adanya gerak politik di kampus adalah sebuah keniscayaan.
Karena hal ini berkenaan dengan ideologisasi dan pendidikan politik.
Namun
saat ini politik kampus kerap disalahpahami sebagai wujud politisasi kampus
(politik praktis), padahal dalam realitasnya politik kampus adalah lawan
sekaligus oposisi dari politik praktis. Inilah kesalahpahaman yang berdampak
kultural bagi sebagian besar mahasiswa dalam memandang politik kampus. Akhirnya
politik kampus berorientasi dan dinilai sebagai gerakan pragmatis yang bergerak
hanya untuk mendapatkan posisi-posisi strategis tertentu dilingkungan kampus.
Makanya jangan heran ketika sebagian besar mahasiswa yang berorientasi seperti
itu, harus masuk dalam situasi arogansi kelompok dan lebih parahnya lagi, larut
dengan situasi tersebut tanpa melihat bahwa ada sebuah masalah besar dalam
masyarakat.
Politik
kampus bukanlah sebuah tujuan akhir, tapi hanya merupakan alat untuk
merekonstruksi sendi-sendi moralitas yang keropos dan lumpuh. Melalui politik
kampus kita seharusnya belajar bagaimana memimpin masyarakat, tidak hanya
semata-mata dilingkungan kampus. Keberadaan politik kampus bermanfaat secara
luas dalam kehidupan masyarakat, misalnya dengan turut mengawal
kebijakan-kebijakan pemerintah dan advokasi masyarakat yang di lakukan lewat
aksi-aksi sosial, aksi dialogis, demonstrasi, aksi menulis, serta gerakan nyata
lainnya.
Dari
pergeseran makna politik kampus di atas. Mungkin terdapat benang merah yang
dapat dijadikan pijakan reflektif-otokritik, bahwa ketika tradisi
intelektualisme dalam aktivisme kampus mulai tergerus dan melemah, maka yang
menguat kemudian adalah tardisi politik praktis. Dengan kondisi demikian, dunia
kampus tidak lagi menjadi muara berkembangnya wacana keilmuan, melainkan
menjadi pabrik penghasil poli(tikus)-poli(tikus) ulung yang terjerat dalam oportunisme
buta. Aktivitas dan gerakan politik kampus tidak lagi diperjuangkan dengan
mengusung idealitas yang sakral dan di implementasikan ke masyarakat tetapi
cenderung pada perebutan kekuasaan semata.
Editor : Muh. Taqwin
Tahir
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar