redaksiaklamasi.org - Indonesia
merupakan negara yang menerapkan demokrasi dalam sistem pemerintahannya. Namun
pada penerapannya demokrasi di Indonesia mengalami beberapa perubahan sesuai
kondisi politik. Demokrasi pada umumnya diartikan sebagai
metode pendekatan politik terhadap rakyat.
Demokrasi pada titik sejarah memiliki
perjalanan yang cukup panjang, mulai dari demokrasi parlementer, demokrasi orde
lama, orde baru sampai akhirnya demokrasi periode reformasi. Sebelum reformasi
menunjukan diri, demokrasi mengalami krisis dalam implikasinya pada
pelaksanaan, bahkan sempat terhimpit oleh otoriter jendral 32 tahun ( Soeharto
) pada kepemimpinannya.
Namun pada prakteknya masa demokrasi
parlementer sangat mirip dengan demokrasi reformasi ditandai dengan hampir
semua element demokrasi terlibat dalam perwujudan kehidupann politik. Kini,
kita sudah berada dalam nuansa demokrasi yang bagi sebagian kalangan menganggap
sebagai demokrasi yang semestinya, dengan ditandai keterlibatan masyarakat
menyambut reformasi dengan membawa tamu bermuka lama ( demokrasi ).
Reformasi dianggap menjadi kondisi yang
darinya melahirkan kedewasaan demokrasi yang dalam perjalanannya telah melewati
berbagai macam dinamika kehidupan demokrasi. Dari berbagai macam realitas dalam
dinamika yang terakumulasi dalam demokrasi reformasi adalah perkembangan nuansa
politik. politik secara umum politik bisa dipahami sebagai sebuah tahapan
dimana untuk membentuk atau membangun posisi-posisi kekuasaan didalam
masyarakat yang berguna sebagai pengambil keputusan-keputusan yang terkait
dengan kondisi masyarakat, menurut Aristoteles politik adalah usaha yang
ditempuh oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Sedangkan menurut Joice
Mitchel Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan
kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya. Sehingga hakikat politik
itu bisa dipahami sebagai sebuah usaha untuk mengelola dan menata sistem
pemerintahan untuk mewujudkan kepentingan atau cita-cita dari suatu Negara.
Politik memiliki ruang tersendiri dalam sistem demokrasi,
politik selalu menjadi realitas yang selalu memiliki ruang yang penting untuk
dibicarakan. Realitas politik khususnya dalam konteks keIndonesiaan memiliki
warna dan rasa tersendiri seiring kerang krisis demokrasi mulai ditiup oleh
reformasi.
Keterlibatan hampir disetiap lapisan masyarakat dalam politik
membuat perkembangan politik semakin tak bisa dibendung, sebagai bukti
perkembangannya dengan adanya partai-partai politik yang semakin laju. Partai
politik merupakan kuda troyer yang tunggangi oleh sebagian para paraktsi
politik, partai politik memiliki kans yang sangat besar untuk menjadi anak
panah yang ideal untuk dipasang pada garda terdepan untuk merealisasikan
keterbukaan sistem lewat lakon para praktisi politik.
Momentum PEMILU merupakan ladang bagi parpol tuk menonjolkan
eksistensi mereka lewat peran para aktor dalam panggung politik ( pilkada,
pilpres dll), karena lewat jalur inilah bisa dijadikan sebagai suatu ukuran
sejauh mana kepemahaman tentang nilai demokrasi, yang dengannya dimana memberi
hak pada rakyat untuk menentukan pemimpin yang dianggap bisa membawa perubahan
baik pada tingkat SDM maupun perkembangan secara infrstruktur.
Kini, kita berada pada kondisi yang dianggap sebagai tahun
politik seiring dengan wacana pilkada serentak disetiap daerah dan kembali para
jargon politik kembali unjuk gigi lewat perahu mereka masing-masing.
Jakarta merupakan salah satu dari sekian banyak daerah yang
terlibat dalam pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada tahun 2017
mendatang dan yang tentunya juga memiliki kontestan politik yang akan bersaing
pada pertarungan mendatang. Seperti dengan daerah-daerah yang lain, Jakarta
juga memiliki konstlasi, proses politik, namun konstlasi politik ibu kota tak
se”seram” dibandingkan dengan daerah-daerah lain.
Politik Ibu Kota menjadi pusta trending politik hampir oleh
setiap kalangan seiring dengan suguhan dinamika politik yang dimainkan, para
“macan” politikpun harus turung gunung demi memberi wahana yang tajam untuk
disuguhkan. Politik memang penuh dengan kepentingan, tak seorang pun yang bisa
lari dari kepntingan yang diolah oleh politik, apathlagi arena politik kali ini
adalah Jakarta yang notabenenya menjadi ibu kota Negara.
Hampir beberapa bulan teka-teki politik ibu kota yang sempat
menuai analisia-analisia dari beberapa pengamat soal siapa-siapa yang akan “dimainkan”
dalam panggung poltik nantinya. Tetapi, kegelisahan itu sudah terjawab walaupun
belum berlanjut pada penetapan calon yang sah oleh KPU. Teka-teki politik ibu
kota sudah terpampang jelas dan bisa disaksikan oleh umum seiring dengan
penetapan tiga bakal calon oleh tiga koalisi partai yang berbeda.
Bangunan politik jakarta secra megic memang tak bisa dipungkiri
seiring dengan penetapan bakal calon yang menggiring beberapa nama dalam bursa
persaingan untuk merebut kursi DKI. Wacana petahana sempat menjadi sub wacana
politik yang sempat mendominasi dan menjadi konsumsi politik warga jakarta,
yang akhirnya memang nyat adanya, seiringan dengan itu berbagai siasat politik
pun dilakukan demi menahan laju petahana di Ibu Kota.
Terobosan politik PDI-P dianggap sebagai puncak konstalasi
politik jakrta memanas yang dengan kebijakannya menjadi partai poros koalisi
mengusung petahan yang awalnya diisukan akan maju sebagai calon Independen (
non partai ). Dari sini awal persaingan politik pun bermunculan dari
partai-partai lain yang notabenenya tidak terakumulasi dalam poros koalisi
PDI-P.
Konsulodasi demi konslodasi pun dibangun dari pihak yang lain demi untuk menjadi pesaing petahana, akhirnya lahirlah sosok yang mencengankan publik, sosok yang tak perna terduga, sosok yang tak pernah terlintas dalam benak para pemerhati politik bangsa ini. Agus yang merupakan ankan biologis SBY menjadi petarung kedua setelah petahana adalah sosok itu yang lahir dari koalisi cikeas, walaupun pada poros ini sempat terhimpit oleh bebrapa nama.
Entah apa dibalik keputusan poros SBY yang melegitimasikan Agus sebagai petarung politik di DKI yang notabenenaya adalah wajah baru di politik Ibu Kota apalagi Indonesia, padahal banyak nama yang sempat mencuat dipermukaan yang dianggap memiliki catatan politik yang bagus dipanggung politik bangsa ini apathlagi di Jakarta, berbagai spekulasi pun menghampiri dari pengusungan si anak Bilologi SBY ( Agus ) ini, tapi entahlah spekulasi politik apa yang dimainkan oleh SBY dan koleganya, namun bagi penulis ini latar belakang politik kepentingan yang mendominasi lahirnya bang Agus, tapi sudahlah, bukan kapasitas penulis untuk menilik hal itu pada tulisan ini.
Persaingan kursi DKI tak sampai distu, realitas politik pun kembali berkembang dengan adanya pengukuhan calon dari pihak koalisi ketiga ( GRENDRA dan PKS) yang juga mengusung satu pasangan bakal calon untuk bersaing dengan calo-calon yang lain. Munculnya Gerindra dan PKS melepas segala mata rantai spekulasi politik yang sempat berkembang, yang akan menduetkan antara calom SBY dan Prabowo.
Di samping itu kemunculan Grendra dan PKS pada poros yang berlawanan justru menambah hawa panas politik Ibu Kota, Jelas iya, secara tiga pasangan ini akan menggiring nama besar MEGAWATI, SBY dan tentunya PRABOWO, yang notabenenya mereka merupakan payung politik para calon.
Akan ada big macth politik yang tersaji di Ibu Kota seiring dengan keberadaan pencalonan pada pilkada Jakarta. Kita masih terhipnotis oleh kompleksitasnya rivalitas politik yang disajikan oleh para punggawa kemarin pada saat eiforia politik besar-besar ( pilpres ) yang juga menggiring nama besar ‘ pemain ‘politik bangsa ini.
Maka dari itu tidak menuntut kemungkinan jika akan ada rivalitas ulangan yang akan dipertontongkan oleh layar DKI lewat aktor politiknya di panggung pilkada nantinya. Persaingan turunanpun mulai memanas antara MEGA-PRO terlepas dari polemik politi isu sara yang berkembang.
Kenapa tidak, secara poros koalisi partai yang ditunggangi para calon sangat memberi gambaran yang menarik, koalisi PDI-P yang secra kolega adalah anggota ideologis dari kolisi KIH, sedangkan koalisi Grendra dan PKS adalah bukti konsistensi dari kolega yang masih bertahan dalam bingkai KMP walaupun banyak partai KMP yang lain pada persaingan politik lalu sudah beralih haluan sering dengan reshufle kabinet kemarin, dan yang menarik adalah koalisi cikeas yang dimotori oleh Demokrat disisi lain partai kolega SBY dalam koalisi ini adalah partai-partai yang merupakan pendukung pemerintahan Jokowi yang terpilih lewat payung poros koalisi PDI-P waktu itu.
Maka mencuat dalam pikiran sebagian kalangan jika persaingan ulangan antara KIH dan KMP akan kembali tersaji walaupun eksistensi KMP saat ini tidak seutuh PEMILU kemarin. Ini bukan soal apa, tapi ini soal Jakarta yang notabenenya adalah Ibu Kota Negara dan konstlasi politik jakarta khusunya kali ini adalah representasi eksistensi politik Negara beberapa tahun kedepan. Jika demikian maka akan ada gamaran statistik poliktik yang sangat ‘transparan’ di Ibu Kota.
Saya agar menggelitik membaca pernyataan Bapak Yusuf Kalla yaitu “ADA KOMPROMI UNTUK MENDUKUNG, TAPI PADA PRAKTEKNYA SEAKAN-AKAN MELAWAN" pernyataan ini menjadi alasan lahirnya analisa penulis.
Konsulodasi demi konslodasi pun dibangun dari pihak yang lain demi untuk menjadi pesaing petahana, akhirnya lahirlah sosok yang mencengankan publik, sosok yang tak perna terduga, sosok yang tak pernah terlintas dalam benak para pemerhati politik bangsa ini. Agus yang merupakan ankan biologis SBY menjadi petarung kedua setelah petahana adalah sosok itu yang lahir dari koalisi cikeas, walaupun pada poros ini sempat terhimpit oleh bebrapa nama.
Entah apa dibalik keputusan poros SBY yang melegitimasikan Agus sebagai petarung politik di DKI yang notabenenaya adalah wajah baru di politik Ibu Kota apalagi Indonesia, padahal banyak nama yang sempat mencuat dipermukaan yang dianggap memiliki catatan politik yang bagus dipanggung politik bangsa ini apathlagi di Jakarta, berbagai spekulasi pun menghampiri dari pengusungan si anak Bilologi SBY ( Agus ) ini, tapi entahlah spekulasi politik apa yang dimainkan oleh SBY dan koleganya, namun bagi penulis ini latar belakang politik kepentingan yang mendominasi lahirnya bang Agus, tapi sudahlah, bukan kapasitas penulis untuk menilik hal itu pada tulisan ini.
Persaingan kursi DKI tak sampai distu, realitas politik pun kembali berkembang dengan adanya pengukuhan calon dari pihak koalisi ketiga ( GRENDRA dan PKS) yang juga mengusung satu pasangan bakal calon untuk bersaing dengan calo-calon yang lain. Munculnya Gerindra dan PKS melepas segala mata rantai spekulasi politik yang sempat berkembang, yang akan menduetkan antara calom SBY dan Prabowo.
Di samping itu kemunculan Grendra dan PKS pada poros yang berlawanan justru menambah hawa panas politik Ibu Kota, Jelas iya, secara tiga pasangan ini akan menggiring nama besar MEGAWATI, SBY dan tentunya PRABOWO, yang notabenenya mereka merupakan payung politik para calon.
Akan ada big macth politik yang tersaji di Ibu Kota seiring dengan keberadaan pencalonan pada pilkada Jakarta. Kita masih terhipnotis oleh kompleksitasnya rivalitas politik yang disajikan oleh para punggawa kemarin pada saat eiforia politik besar-besar ( pilpres ) yang juga menggiring nama besar ‘ pemain ‘politik bangsa ini.
Maka dari itu tidak menuntut kemungkinan jika akan ada rivalitas ulangan yang akan dipertontongkan oleh layar DKI lewat aktor politiknya di panggung pilkada nantinya. Persaingan turunanpun mulai memanas antara MEGA-PRO terlepas dari polemik politi isu sara yang berkembang.
Kenapa tidak, secara poros koalisi partai yang ditunggangi para calon sangat memberi gambaran yang menarik, koalisi PDI-P yang secra kolega adalah anggota ideologis dari kolisi KIH, sedangkan koalisi Grendra dan PKS adalah bukti konsistensi dari kolega yang masih bertahan dalam bingkai KMP walaupun banyak partai KMP yang lain pada persaingan politik lalu sudah beralih haluan sering dengan reshufle kabinet kemarin, dan yang menarik adalah koalisi cikeas yang dimotori oleh Demokrat disisi lain partai kolega SBY dalam koalisi ini adalah partai-partai yang merupakan pendukung pemerintahan Jokowi yang terpilih lewat payung poros koalisi PDI-P waktu itu.
Maka mencuat dalam pikiran sebagian kalangan jika persaingan ulangan antara KIH dan KMP akan kembali tersaji walaupun eksistensi KMP saat ini tidak seutuh PEMILU kemarin. Ini bukan soal apa, tapi ini soal Jakarta yang notabenenya adalah Ibu Kota Negara dan konstlasi politik jakarta khusunya kali ini adalah representasi eksistensi politik Negara beberapa tahun kedepan. Jika demikian maka akan ada gamaran statistik poliktik yang sangat ‘transparan’ di Ibu Kota.
Saya agar menggelitik membaca pernyataan Bapak Yusuf Kalla yaitu “ADA KOMPROMI UNTUK MENDUKUNG, TAPI PADA PRAKTEKNYA SEAKAN-AKAN MELAWAN" pernyataan ini menjadi alasan lahirnya analisa penulis.
Terimah
kasih.... silahkan menganalisa
Oleh : Fhazlur R Maloko
Editor : AHR
Editor : AHR
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar