redaksiaklamasi.org - Untukmu para pembaca jangan lupa menulis, ingat bahwa dalam dirimu adalah semesta, semesta yang mampu menjelaskan hidupmu lewat kata, sebab menulis adalah menjadi abadi dan kita tak akan lupa. Ubahlah segalanya menjadi kata, sewaktu-waktu dunia mengejamu. 

GORESAN HIDUP
 Karya : Iwan Mazkrib (Mahasiswa Peradilan Agama UIN Alauddin Makassar Karya dan Wakil Sekertaris Umum Bidang PPPA HMI Komisariat Syariah dan Hukum UINAM Cabang Gowa Raya Periode 2016-2017). 
 
“Bro, aku pulang duluan yah, entar malam kita ketemu di acaranya senior”

“Aduh… Kau ini sibuknya apa? kerjamu kuliah pulang kuliah pulang terus,  kapan kita ngopi bareng sambil diskusi di kantin”

“Di lain waktulah, kan masih ada hari esok. Ok, duluan yah”

“Hati-hati bro”

Baiknya aku pulang saja, teman yang lain juga sudah pulang. Aku menikmati perjalanan pulang sambil bernyanyi. Tak terasa aku sudah tiba dirumah, langsung saja masuk ke kamar yang cukup berantakan. Karena jadwal kuliah tadi masuknya terlalu pagi. Berbicara tentang waktu semuanya akan cepat berlalu, dari segala kisah yang terlewati. Namun menyimpan banyak pesan dalam kehidupan ini, bahwa kita hanya perlu menoleh kebelakang lalu memperbanyak rasa syukur. Karena dalam setiap langkah di bumi ini memiliki cara tersendiri untuk mencari apa yang kita cari, siapa yang akan hadir dalam hidup kita dan kemana arah yang akan kita tuju.

Begitu banyak kenangan yang akan kita ukir sendiri, bukan hanya meharapkan tercapainya sebuah mimpi, melainkan kita perlu bertanya tentang nuansa kehidupan kita di dunia ini, bertanya tentang eksistensi kita, serta menanti kebahagiaan yang sempurna. 

Kita masih saja merasakan kehidupan yang tersusun rapi, berhamburan, elot, pendek, panjang, elit, rapuh, cinta, kasih sayang, derita, gelap, terang, dan sebagainya. Ini hanyalah persoalan waktu, waktu berjalan sesuai kodratnya, matahari masih saja setia berjalan di porosnya, tak bosan terbit dan tenggelam di ufuk barat, sama seperti dulu. Waktu adalah statis, namun tidak demikian bagi kehidupan manusia yang selalu berubah-ubah. Tidak lain seperti kehidupanku saat ini.

Di hadapanku buku-buku itu sangat berantakan, hampir aku lupa bahwa ini sangatlah berguna untuk kehidupanku.”ahh kubereskan sajalah, lain waktu aku akan membacanya”, kuambillah buku-buku itu satu-persatu sambil melisankan judul buku yang tertera di cover buku itu. Aku merapikannya dengan santai sambil menikmati secangkir kopi hitam pekat tanpa gula. Iya tanpa gula, ini kopi buatanku sendiri setiap aku pulang ke rumah lalu masuk ke kamar istirahat, menenangkan diri, setelah melalui kehidupan di luar sana. Aku tak pernah lupa sempatkan diri untuk membuat kopi andalanku, rasanya memang pahit, tetapi bagiku ini adalah salah satu cara menjalani hidup. Karena filosofi kopi yang hitam dan yang pahit pun bercerita tentang kehidupan. Bahwa hidup ini tak selamanya terang dan manis.

Haha… tetapi tetap tenang, hal yang seperti ini sudah menjadi rutinitasku, dan kopi pahit ini adalah salah satu minuman favoritku. “ahh mantap” dalam tiap tegukan juga kurasakan manis, saat aku menikmatinya sambil melihat sketsa wajah yang terpampang di dinding kamarku. Sketsa wajah seorang perempuan yang begitu cantik dengan wajah yang muslimah, hal ini tak membuatku bosan untuk terus menatapnya. Sebaiknya aku katakan, dialah seorang perempuan yang selalu memberikan aku semangat, motivasi, dan membuatku yakin untuk terus belajar dan terus menjalani proses, hingga mimpi yang telah aku citakan bersama bisa aku tuai.

Tekkk… “Astaga gelas ini hampir saja tumpah” tersenggol lutut.

Mungkin aku terlalu asik menikmati hayalanku, hingga imajinasiku mengajakku bermain, lalu aku beranikan diri intuk meladeninya, aku takut imajinasiku gugur lalu dia pergi meninggalkanku kemudian menghilankan wujud maya kekasihku. Ahaha, lucunya, ini bagaikan kendaraan tanpa mesin, kurang tidur banyak mimpi.

Namun di sisi lain, sedikit air kopi yang keluar dari bibir gelas tadi membasahi tumpukan buku yang belum sempat aku rapikan.

“Ini buku apa?” Tanyaku dalam-dalam.

“Mungkin ini bukan referensi sosial, filsafat, agama, atau yang lainnya, ini                berbeda”

Ooh iya, ini buku diaryku yang sudah lama tak kunjung aku buka, karena kesibukan telah membawaku kemana-mana. Aku menyempatkan diri untuk membuka dan membacanya. Bibirku bergerak membentuk senyum, ternyata isinya tidak ada yang berubah, ini masih saja berisi tulisan-tulisanku. Lembaran pertama pun bertuliskan “ kata-katamu adalah kualitas dirimu”. Juga puisi-puisi yang begitu elegan membuat seluru sel-sel dalam tubuhku terbuka, darahku mengalir deras, nadiku berdenyut kencang hingga menggelegar ke dalam sukmaku. “Ahh asiknya” rasanya sudah lama aku tidak menulis sajak-sajak dan membuat karya tulis lainnya. Karya yang mampu menggentarkan semesta serta menggoyangkan perasaan manusia lalu membentuk peradaban baru.

“Ahaha, mungkin kalimatku terlalu rasis” kataku.

Aku masih saja tersenyum, entahkah senyum ini pertanda kebahagiaan ataukah senyum luka yang kembali menyapa. Entahlah, masih ada halaman selanjutnya dan kutemukan sepenggal cerita yang mungkin masih aku ingat tempatku merangkainya. Oh iya… Aku menulisnya saat aku menikmati liburan di pantai Tanjung Bira bersama kawanan. Waktu itu aku sempatkan duduk sendiri di tepi pantai dengan pena dan buku diary di tanganku. Karena bagiku runcing pena akan selalu bertumpu dan menggoreskan apa saja yang dijiwainya. Ibarat langit yang selalu memberikan hujan kepada bumi.

Sudahlah itu hanyalah sebuah analogi, tetapi itu benar-benar harmonis dan romantis. Ketika sepanjang pesisir itu tenang, bercerita tentang kasih sayang, perjuangan, keindahan, kematian, surga, negara, ladang rindu, hutan puisi, air, nelayan, pesiar, ikan, karang dan sepotong kayu di tepi pantai. Adakah yang mau berdialog denganku, walaupun alam semakin tua dan semakin banyak wajah-wajah yang di racik sedemikian rupa serta hilangnya kepeduliaan sesama dalam kehidupan ini.

Juga seperti biasanya ketika pergeseran waktu kian melemparku lebih jauh, dan menjadikanku semakin kaku. Aku takut ketika melihat berbagai tindakan aneh yang akan membawaku kearah yang keliru. Hanya saja ketika kuarahkan pandanganku ke waktu yang telah berlalu dan menoleh kembali jejak langkahku rasanya sangat banyak yang harus di syukuri. Tentang sebuah proses yang mengajarkanku mengenai kesabaran, bukan hanya mmenanti sebuah hasil yang menjadikan hidupku hilang arah, lupa, bahkan angkuh karena tercapainya sebuah keinginan.

“Huuufff” Diam sejenak memikirkan nuansa kehidupan ini.

Sembari memikirkan hal tadi, masih ada secangkir kopi yang perlu diteguk.
Tiba-tiba kantong celanaku bergetar, mengganggu saja orang yang lagi asik bersemedi. Ohh ternyanta ponselku modenya silent. Coba ku intip ternyata ada telepon dari teman kuliahku, yang sering aku panggil Toples.

            “Iyaaa… Halo….”

            “Bro… Lagi di mana? Sudah balik dari kampus kah?” Tanya Toples dengan             suara nyaring.

            “Iya, ini lagi di rumah bro, ada apa?”

            “Beeehhh… Kau lupa, tadi kan aku sudah bilang, ini hari acaranya senior”

            “Ooh iya, kan acaranya nanti malam, aku ada urusan dulu, nanti saya hubungi         kembali bro” Matikan ponsel.

            Suasana berubah menjadi 160 derajat, namun hayalanku sudah menancap dalam batinku, bahwa aku bertemu kembali dengan tulisan-tulisanku yang masih syahdu untuk dibaca. Itu hanyalah masa lalu, karena di hari kemarin kita telah berjanji, hari ini kita berbuat, dan hari esok kita bertanggung jawab. Ini hanyalah jarak, karena jarakpun adalah waktu dan diam pun adalah jarak. Harusnya aku tidak diam, rasanya ingin aku mengulanginya.

            Tak sabar rasanya mengerjakan hal-hal yang hampir aku lupakan, karena kesibukanku di luar sana. Kuambillah pena di dalam ranselku, pena yang masih baru, layaknya pakaian dalam yang baru saja kubeli di pasar Senggol. Pena ini tak pernah dipakai oleh siapapun. Akhirnya sang pena siap kembali membasahi kertas yang masih suci. Aku yakin bahwa pena memang sepantasnya menggoreskan kalimat-kalimat di atas kertas. Goresannya tak melukai sebab iya beranjak dari jiwa-jiwa yang suci, pena  pun bisa menjelajahi semesta ke manapun iya mau. Pertama kali aku melihatnya saat aku duduk di bangku sekolah, kemudian masuk ke perguruan tinggi, ke kantor-kantor, ke tangan-tangan pejabat dan tak pernah lepas di tangan sastrawan. Goresannya tak akan berhenti, dia menceritakan alam, kehidupan buatan, kehidupan nyata, syair, cerpen, novel, diksi, opini, buku-buku dan masih banyak lagi yang telah diciptanya.

            Inilah yang biasa orang sebut gorsan hidup, sebab luka dan kebahagiaan biasanya tak terlihat. Namun goresan mampu menjelaskan semuanya. Ia bahkan menjelajahi seluruh alam, hingga bertemu dengan cahaya-cahaya kehidupan, lalu membawanya kembali ke dalam jiwa-jiwa manusia. Kita tak akan pernah tahu sampai di mana dia berkelana.

Gowa, 02 Oktober 2016

Editor: Andi Haerur Rijal



0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top