redaksiaklamasi.org - “Sudah 18 tahun kita terselamatkan dari politik otoritas
jendral 32 tahun lewat lakon para pejuang reformasi. Kami yang kecil pun
menyabut riang kedatangan tamu besar walaun membawa bingkisan lama tapi
mungkin saja akan berisi “kue” baru didalamnya lewat lakon politik
kekinian. Namun realitas baru dalam praktik politik seperti apa yang
diharapkan masih terbungkus oleh hasrat penguasa”. “A. Irma. S”.
Semaraut politik para elit seakan memberi petanda
(oligarki) kekuasaan yang memihak, negara ini seakan milik mereka dengan
segala lakon politik elit yang dinarasikan, kita yang kecil seperti tak
dipandang. Meraka yang dihimpit oleh dinding tebal menjungkal, beralas
lembut diatas singgasana parlemen, dihiasi ketenangan fisik
dipembaringan kekuasaan, disuguhkan santapan yang berkilau dengan nada
kepentingan, lantas membuat mereka amnesia atas legitimasi akan
keberadaan mereka.
Perhatikan saja lakon mereka. Kami yang kecil seperti terbuang, termarginalkan dari
lingkaran dinamika bangsa, kami yang kecil hanya seperti babu yang akan
“dimainkan” kala gendang pesta politik kembali di-film-kan yang akhirnya
kami yang kecilpun di ping-pong oleh teriakan kebenaran absurd dibalik
kebijakan-kebijakan.
Kami yang kecil yang salah atau mereka yang salah.
Entahlah, kerang masalah bangsa yang kompleks seharusnya membuka narasi
nalar politik kita untuk lebih produktif untuk bertindakan dalam politik
yang seharusnya dan semestinya. Lakon politik para aktor seperti tak
terbendung, dengan segala peran yang dimainkan dan juga dengan segala
cara yang ditempuh. Pada akhirnya tak sedikit juga yang terjerambab
dalam lorong tikus “korupsi”. Indikasi pragmatis yang tak terelakan, ia
masih mengaung dalam pribadi mereka yang berkuasa dan akhirnya
stabilitas kami tergadaikan.
Genderang politik sementara mulai ditabu, memberi
alamat pula bahwa sekarang ini kota kembali dipenuhi oleh
“topeng-topeng” yang terpampang dibalik baliho-baliho dengan berbagai
coretan yang menjanjikan. hiruk pikuk setiap sudut kota pun akan memjadi
wahana yang mumpuni tuk berkeluh kesah oleh mereka yang berkepentingan.
Kembali sayap kepentingan dikepalkan demi sebuah misi
yang namanya “kepentingan” lewat raut wajah yang polos, menebar janji
lewat susanan kata yang menggairahkan, seakan akan ada wajah baru tempat
ini sebentar lagi menyapa kami yang kecil. Sederetan simpati terhadap
kami mulai menggemah dari mulut para beliau, menarik animo para
partisipan politik “kecil” tuk menyapa mereka, inilah aktor ulung kita.
Ha Ha Ha.
Kami yang kecil seperti terhipnotis. Entah itu
propoganda, provokasi ataupun pencitraan politik. Tak heran realitas itu
sudah menjadi wajah lama dalam perahu ( politik ) dan mungkin saja akan
kembali numpang. Menabur benih kecurangan hampir tak bisa lepas dalam
prosesnya, kami yang kecil hanya bisa diam dan menyaksikan lakon para
beliau. Ha Ha Ha.
Kami yang kecilpun jarang dan bahkan hampir tidak
pernah sama sekali menyaksikan suguhan politik yang terdidik oleh para
beliau. Tak ubah seperti para “perampok” berijazah, menyelwengkan
hakikat demokrasi dan menjalankan proses politik seperti yang
di-ingin-kannya agar “kursi” itu dapat digapai dan pada akhirnya
kelayakan hidup, stabilitas rakyat dan lain sebagainya pun hanya menjadi
hiasan di dinding-dinding langit istana mereka.
“Politik ni pa'” yahh kira-kira demikian jika orang
makassar memberi komentar soal realitas politik, yang artinya “ini
politik” kurang lebih seperti itu makna dalam bahasa yang baku. Jelas
terpahami jika politik menjadi kambing hitam dari berbagai drama yang
dilakoni oleh para politis.. ha ha ha..
Apa benar? Apa bukan mereka yang
besar (politisi) yang keliru? mengambil makna pragmatis, transaksional
dan kemudian measang ke wajah politik yang akhirnya tampilan politik
seperti ( pragmatis, transaksional ) dan seakan-akan politik yang
bersalah. Politik saja ditopengi apalagi mereka sendiri..
Politik memang memberi wahana yang elok tuk disuguhkan,
tapi sayang laju kepentingan menjadi motif utama yang menggerakan ingin
mereka, akhirnya politik yang penuh kegaduhanpun mulai dipertontonkan,
merbut “harta” yang mungkin bisa menstabilkan taraf hidup.
Kami yang kecil hampir tak meiliki ruang tuk menikmati
hasil karya pejuang untuk negeri ini. Kami yang kecilpun hampir tak bisa
bermimpi, kenyamanan tidur kami direnggut oleh hasrat mereka dibalik
tembok yang menjulang. Kami yang kecilpun hampir lupa dengan waktu,
kesenjangan kami telah dirampok oleh mereka yang serakah. Lantas
salahkah jika kami yang kecil menyalahi politik yang didramakan oleh
mereka sang politisi yang kejam yang biasa orang mengatakan “politisi
dzolim”?. Silahkan tanya saja mereka.
Politik oh politik, entah sampai kapan mimbar suci kau bohongi dengan teriakan kepalsuan bak seorang penyelamat kami yang kecil.
Sudahlah nikmati saja awal tahun ini dengan narasi
nalarmu dengan baik agar kita tak terjerumus oleh hasut politik para
“tikus berdasi”.
Oleh: Fhazlur Rahman R Maloko (Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Alauddin Makassar)
Editor: Tim Redaksi Aklamasi
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar