http://www.redaksiaklamasi.org/2017/07/halalbihalal-atau-halalbiharam.html
Fikri Haekal Amdar (Mahasiswa Ilmu Hadis Khusus UIN Alauddin Makassar dan Ketua Umum Gabungan Santri Ajatappareng & Sawerigading Ponpes DDI Mangkoso serta Pengurus FOSMADIM Periode 2016-2017). (redaksiaklamasi.org/Andi Muh Ridha R)


redaksiaklamasi.org - Minta maaf, memaafkan, dan silaturahmi pada umumnya dilakukan umat muslim setelah Lebaran. Lebaran, bisa dimaknai dengan “pelebaran”, artinya membuka selebar-lebarnya hati untuk memaafkan dan meminta maaf kepada sesama.

Sebagian orang, ada yang baru minta maaf setelah Lebaran bahkan ada juga yang enggan meminta maaf. Padahal, Allah swt., tidak menyukai hambanya yang saling bermusuhan, begitupun Nabi Muhammad saw. dalam hadisnya berpesan, “Tidak halal bagi seorang mukmin untuk tidak bersapaan dengan saudaranya (sesama muslim) lebih dari tiga hari”. (HR. Muslim, No. 2561).

Salah satu kearifan lokal di Indonesia dan telah menjadi ciri khas yang dilaksanakan pasca Lebaran ialah halalbihalal. Halalbihalal merupakan ajang kumpul bersama dan dilaksanakan hampir semua umat Islam Indonesia, bentuk kegiatannya bermacam-macam, ada makan bersama, dengar ceramah, dengar musik rebana, dan sudah biasa terlihat di mana-mana seperti di kantor, sekolah, masjid, dan lain sebagainya.

Halalbihalal adalah istilah dalam bahasa Arab, tetapi arti kata itu tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab, melainkan terdapat dalam kamus bahasa Indonesia yang dimaknai dengan kegiatan maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan. Berdasarkan sejarah, Halalbihalal digagas KH. Abdul Wahab Hasbullah karena dimintai pendapat Presiden Soekarno, karena Indonesia pada waktu itu dilanda gejala disintegrasi bangsa. Maka, diberilah kegiatan silaturahmi setelah hari raya Idulfitri di Istana Negara dengan nama “Halalbihalal”, thalabu halal bi thariqin halal (mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan). Sejak saat itulah, instansi pemerintah dan masyarakat secara luas mengadakan Halalbihalal.

Baca Juga


Acara Halalbihalal tidak wajib tetapi boleh dilakukan. Akan tetapi, bercampur baurnya antara pria dan wanita dalam kegiatan tersebut tidak dapat dihindari. Maka, apabila ada pelanggaran syariat yang diperbuat oleh sebagian orang dalam acara tersebut, apakah itu bisa disebut Halalbihalal? Tentu tidak, maka menurut saya inilah yang disebut dengan “Halalbiharam”. Mengapa? acaranya halal karena adanya silaturahmi lantas dibarengi dengan perbuatan buruk, seperti mengabaikan azan, meninggalkan salat, bahkan memanfaatkan kesempatan berduaan dan bermesraan dengan pria atau wanita nonmahram (berpacaran), dengan dalih ingin berjabat tangan saja tetapi kenyataannya lebih dari itu.

Empat imam mazhab fikih sepakat mengharamkan bersentuhannya laki-laki dengan wanita nonmahram. Mazhab Hanafi dan Maliki mengharamkan secara mutlak. Mazhab Syafi’i memberikan pengecualian jika memang dalam kodisi “darurat”, seperti operasi yang dilakukan dokter terhadap pasien dan sebagainya. Mazhab Hanbali memperbolehkan laki-laki memandang wanita lansia, tetapi tetap tidak boleh menyentuhnya.

Jika berpedoman pada pendapat ulama salaf, memang tidak ada toleransi yang memperbolehkan berjabat tangan dengan nonmahram. Namun, ulama kontemporer mengembangkan hukum fikih ini pada fikih aulawiyat. Menurut Yusuf Qardhawi, dalam Kitab Fatawa Mu’ashirah, memberikan dua pendapat. Pertama, haram hukumnya jika berjabat tangan dengan syahwat atau taladzdzudz (menikmati hal tersebut) dari salah satu pihak. Kedua, dibolehkan berjabat tangan dengan wanita tua (lihat QS. An-Nur/24: 60) dan laki-laki tua yang sudah tidak punya gairah. Demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum balig karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah.

Lantas, sikap seperti apa yang harus dilakukan ketika kita mendapat uluran tangan lawan jenis? Dan tentu, kita tidak ingin dikatakan sombong. Yusuf Qardhawi berpendapat, boleh jika tidak disertai syahwat dan aman dari fitnah. Akan tetapi jika kedua syarat itu (tidak adanya syahwat dan aman dari fitnah) tidak terpenuhi, maka hukumnya haram meskipun kita berjabat tangan dengan mahram. Kedua, hendaknya berjabat tangan itu sebatas kebutuhan saja demi menjauhi keburukan, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi saw.

sebagaimana dalam riwayat hadis dari Aisyah ra., mengatakan, “Tangan Rasulullah saw. sama sekali tidak pernah menyentuh wanita selain wanita yang beliau miliki (isterinya)”. (Lihat lebih lengkap dalam Shahih Bukhari, Nomor Hadis 7214, Juz 9, Hal. 80). Wallahu A’lam.

Dengan demikian, Halalbihalal harus dilakukan dengan cara yang halal dan tidak melanggar syariat Islam, mulai dari makanan dan minuman yang halal hingga silaturahmi yang halal pula antara pria dan wanita. Karena, Halalbihalal telah menjadi istilah khas dan menjadi budaya Indonesia, di mana tujuan dari Halalbihalal adalah merajuk kembali persatuan dan kesatuan secara hakiki, merajut kembali hubungan yang membeku dengan cara saling memaafkan, dan menyadari kekhilafan masing-masing yang selama ini mungkin terganggu.
Sebenarnya, minta maaf kepada sesama manusia itu dilakukan setiap saat, bukan hanya setelah Lebaran saja, karena kita sebagai manusia terkadang luput dari kesalahan. Halalbihalal betul-betul sudah menjadi aset bangsa yang perlu dilestarikan dan janganlah menodainya dengan perbuatan tercela. Wallahu A’lam bi Al-Shawab. (*)


Penulis : Fikri Haekal Amdar (Mahasiswa Ilmu Hadis Khusus UIN Alauddin Makassar dan Ketua Umum Gabungan Santri Ajatappareng & Sawerigading Ponpes DDI Mangkoso serta Pengurus FOSMADIM Periode 2016-2017)

Editor : Andi Muh Ridha R

0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top