Kang Maman, No Tulen ILK. Dok. Pribadi |
redaksiaklamasi.org - Mataku menatapnya dalam-dalam, saat melihatnya berjualan kue sambil tetap mengaji Al Qur'an . Lamat-lamat terdengar suaranya lirih, ayat demi ayat dibacanya dengan tertib. Pikiranku melayang ke-40 tahun yang lalu.
Ibu ini mengingatku pada nenekku, Uning, yang hanya punya seorang anak, ibuku. Setiap hari ia berjualan di kios kecil tak jauh dari rumahku di Jalan Cenderawasih III, Kampung Lette, Mariso, Makassar. Warung kecil tepi jalan, hanya menjual minuman teh, kopi dan rokok hasil lintingan tangannya. Pembelinya rata-rata pejalan kaki, tukang becak, atau tukang tambal ban di sekitar tempatnya berjualan. Oleh para pembeli, nenek dipanggil "Ummi."
Nenekku buta huruf, aksara Latin maupun Arab. Tetapi, setiap adzan bergema, ia langsung menutup warungnya, meminta pembelinya untuk keluar warungnya secara santun. Setelah itu, ia akan bergegas lari ke mesjid. Itulah pemandangan sehari-hari yang tak pernah bisa kulupa.
Sekali waktu kutanya, kenapa ia selalu menutup warungnya setiap adzan bergema, jawabnya sederhana: "Nenek kan buta huruf, nggak bisa baca Al Quran dan huruf apa pun. Jadi nenek harus lari-lari untuk bisa jadi makmum di belakang imam. Kalau telat, nenek tidak tahu harus bagaimana. Kalau ada imam, nenek kan tinggal mengikutinya, dan mengaminkannya."
Saat saya duduk di kelas 4-5 SD, saban sore selepas sekolah umum, saya mengikuti pelajaran keagamaan di pesantren yang terletak di atas mesjid depan rumahku. Suatu hari, nenek berbisik di kupingku. "Ajarin nenek bacaan shalat." Di warung kecilnya itulah, aku mengajarkannya bacaan shalat. Sampai suatu hari, ia memintaku untuk melihatnya shalat di warung kecilnya. Shalat Dhuhur, tapi bacaannya ia keraskan semuanya, agar aku mendengarnya.
Selepas shalat, ia pun bertanya, "Bagaimana bacaan nenek, benar atau salah?" Ketika saya mengangguk, nenek pun memelukku sambil menangis, dan berujar, "Nenek sudah siap." Entah apa maksudnya.
Beberapa bulan berselang, ibuku tiba di rumah dengan motornya sambil membonceng nenek. Pecah tangisnya setiba di teras, membawa kabar vonis dokter, "Nenekmu kanker kandungan, umurnya tinggal berapa bulan lagi." Nenekku terdiam dan memintaku tak menangis. Meminta ibuku berhenti menangis. Di situlah nenek mengulangi ucapannya, "Nenek kan sudah bisa shalat sendiri, lengkap dengan bacaannya. Nenek sudah siap."
Bulan demi bulan berlalu, pada satu malam aku tidur dalam pelukannya. Dan itulah pelukan terakhirnya, ketika darah mengucur deras keluar dari tubuhnya, di satu subuh. Saya cuma bisa berteriak, dan nenek mendekapku, dan berujar, "Jangan nangis, Man. Nenek kan sudah siap. Bacakan saja (kalimat tauhid) 'Laa ilaha illallah' (Tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah) ...."
Malam itu nenekku berpulang untuk selamanya.Dan siang ini, wajahnya terkenang kembali, hadir dalam sosok ibu penjual kue ini...Seperti nenekku, jualannya tak mahal. Hanya Rp.2000 untuk setiap kue yang dijajakannya.... Tapi ingatan yang dihadirkannya, sungguh tak ternilai... Terimakasih, Bu.
(F)
Editor : AHR
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar