redaksiaklamasi.org - Penulis: Muallim Bahar Lakimun
 
(Mahasiswa Jurusan Hukum Pidana dan Ketatanegaraan UIN Alauddin Makassar, Ketua III Dewan Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar Periode 2015-2016, Sekertaris Umum Dewan Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar Periode 2016-2017 dan Kader HMI Komisariat Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar Cabang Gowa Raya)

Suatu hari. Di musim penghujan, di subuh hari di Kota Makassar . Suasana yang menjadi teramat asing. Semua cibiran orang-orang seperti bau pesing. Umpatan yang menyudutkan. Tak tepat sasaran. Orang-orang baik ia kucilkan. Orang-orang yang merusak dirinya di banggakan. Zamannya begitu. Logika dibolak-balik.

Makassar. Ada sepi yang mengutuk si pria dungu tak berkawan. Dia dibodohi waktu. Pertemanan membuatnya menjadi abu.

Siang. Suasana terik berubah gelap; tandanya mendung. Seusai perbedaan pendapat ia diasingkan. Lantas ia diusir, setelahnya ia dicibir dalam sembunyi orang-orang yang berhasil membuangnya.

Lantas siapa yang menjadi sampah di antara kita. Aku? Atau dia?

Lantas siapa yang menjadi sampah di antara kita. Aku? ? Atau dia?

Lantas siapa yang menjadi sampah di antara kita. Aku? Atau dia?

Sampai pada akhirnya di antara kita saling menyimpulkan sendiri. Dan pada kesimpulan itu kita semua adalah sampah.

Hujan di Telukbetung. Menjadikanmu jamur pada waktu. Bersandar pada bahu jalanan.Aku, terusir.

Hujan di Telukbetung. Menjadikanmu kafir karena perbedaan. Debu-debu menjadi selimut. aku, terusir.


Hujan di Telukbetung. Menjadikanmu nista karena kekonyolan. Kau menjadi cibir. Aku, terusir.


Hujan di Telukbetung, Aku terusir.


Kita sedang kumpulkan tiket menuju neraka. Siapa yang beruntung, masuk ke yang jahanam. Mari kita tanam semua gunjingan. Kita tanam semua kebencian. Lalu, kita akan menjadi orang-orang yang beruntung menuju neraka yang jahanam.

Sementara, di rumah bunda memujiku dengan bangga. Di sini di antara orang-orang yang katanya independensi dalam karya, aku salah satu orang yang dihina. Entah apa salahnya. Persaingan dalam berkarya kadang membuat akal sehat manusia itu menjadi sesat. 

Sangking sesatnya setiap hari mereka mengumpat.

Semesta menjadi air mata. Lalu, mendamparkan amarah yang luar biasa. Seketika itu juga dihancurkan orang-orang yang merasa takut dalam persaingan. Mengusir dan membuang orang-orang yang telah berbuat baik kepadanya.

Editor: Fahrul Fahreza



0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top