Iwan Mazkrib
(Wakil Sekertaris Umum Bidang PPPA HMI Komisariat Syariah dan Hukum UINAM Cabang Gowa Raya Periode 2016-2017). 
(Foto : Pribadi)


redaksiaklamasi.org - Berbagai wilayah di negara kepulauan ini sangat jelas bahwa kota adalah pusat perekonomian yang juga dikenal paling padat penduduknya dan sangat banyak golongan di dalamnya. Baik dari kalangan elit politik, pejabat negara, borjuis, agamawan, seniman, ilmuan, pekerja seks komersial dan sebagainya hingga ke kalangan rakyat jelata.
Kita dapat menyaksikan bahwa kehidupan di berbagai golongan itu terkotak-kotakkan diakibatkan oleh faktor ekonomi yang semakin meningkat. 




Hal ini semakin terlihat bahwasanya ada dua golongan yang semakin jelas warnanya yakni golongan kaya dan golongan miskin yang saling berinteraksi namun dengan cara ada yang di eksploitasi dan ada yang mengeksploitasi. Bisa saja hal tersebut terjadi dikarenakan ada pengaruh asing yang tidak mencirikan bahwa negara kita yang terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya, kental ras, adat-istiadat dan budayanya yang di ikat oleh "Bhinneka Tunggal Ika" dengan maksud "berbeda-beda tetapi tetap satu", yah dalam artian lebih saling mengutamakan sesama ketimbang mengutamakan pihak asing.

Namun pilar yang satu ini sepertinya menjadi pertanyaan penting sebab ini bukanlah sebatas kalimat yang hanya dijadikan sebagai simbol yang begitu elegan serta memiliki makna luar biasa, namun teramat menyedihkan jika ini terabaikan.

Hanya mengutik lirik lagu seorang pengamen jalanan kota Jakarta Pujiono menyanyikan lagu yang berjudul "Manisnya Negeriku" dalam lagunya mengatakan bahwa "memang manis, manis gula-gula negeri kita negeri tercinta, tetap satu dan jangan terpengaruh oleh pihak lainnya" lalu apa yang terjadi hari ini?

Hal ini terbukti bahwa mengapa demikian terjadinya perpecahan dan saling menunjukkan taring, sifat apatis dan vandalis itu lahir dikarenakan kepedulian sosial dalam suatu negara itu di tenggelamkan oleh negara-negara luar, negara satelit dengan latarbelakang kapitalis yang semakin meraja dalam perekonomian global. 

Problem ini memang tidak bisa kita nafikan bahwa pengaruh dari luar dan arus modernisasi yang semakin meningkat itu sangat jelas merubah paradigma dan tatanan masyarakat menjadi terpuruk. Namun setidaknya kita selaku bangsa yang memiliki basis intelektual yang terikat dalam dunia pendidikan, eksistensinya sangat berperan penting sebagai pengimbang jalannya kebijakan demokrasi ekonomi agar tidak terjatuh kedalam jurang ketimpangan sosial. 




Dinamika ini dapat kita tempuh jika lahirnya suatu kesadaran, kita dapat mengutik perkataan Paulo Freire dalam bukunya "Pendidikan Kaum Tertindas" seorang revolusioner pendidikan yang membagi tiga bentuk kesadaran yakni magis, naif dan kritis. Jika kemudian itu lahir maka akan terjadi suatu hubungan timbal balik dan saling merefleksi dengan tantangan hingga akan adanya suatu perubahan dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yakni memanusiakan manusia.

Juga sangat jelas bahwa perubahan sangat terlihat pada suatu bangsa terlebih lagi kepada pewaris peradaban yang semakin tenggelam akibat pengaruh dari luar, yang dengan bangga mengedepankan sifat Hedon hingga mereka acuh pada kondisi yang terjadi di sekitarnya. Sebab jika hancurnya pemuda maka hancurlah bangsa dan negara ini. Ustadz Hasan dalam acara televisi pernah berkata "jika ingin menghancurkan suatu bangsa maka cukuplah pengaruhi pemudanya dengan dua langkah, pertama hancurkan mentalnya, beri mereka liberalisme, ajarkan mereka kebebasan dan yang kedua adalah putuskan mata rantai mereka dengan sejarah."

Maka dari itu kebodohan bukanlah bekal yang dibawa sejak lahir, melainkan ketika kita sadar namun tidak adanya tindakan. Kaum intelektual lahir bukanlah sebagai pelengkap dari suatu bangsa, melainkan mereka yang mampu melestarikan budayanya dan mengembalikan apa yang telah direbut oleh orang lain darinya.

Atau bagaimana kah?

Mari merefleksi.

Oleh : Iwan Mazkrib (Wakil Sekertaris Umum Bidang PPPA HMI Komisariat Syariah dan Hukum UINAM Cabang Gowa Raya Periode 2016-2017)

Editor : Nur Aisyah Ramadhani
 


0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top