redaksiaklamasi.org - Bermimpilah Jadi DOKTER, agar kau Kaya dan Nasibmu baik. Jangan bermimpi jadi PENYAIR, kau akan Miskin dan di Campakan !! (Yasir Dayak).


Tulisan singkat ini bukan karena saya bangga punya guru seperti kedua penyair di bawah ini, tetapi saya ingin menunjukkan pada saudara betapa tragisnya jadi penyair yang konsisten menyuarakan kesakitan rakyat melalui puisi.

Anda masih ingat bajingan Saut Situmorang yang dituduh melakukan pencemaran nama baik seorang lonte tua lantaran membela nasib Sastra Indonesia dari pembodohan sejarah sastra yang dilakukan Denny JA dan cecunguk-cecunguknya? Bila Anda masih ingat, bagus, tandanya Anda masih waras.

Begini:

Bertolak pada perjuangan Saut Situmorang melawan pembodohan sejarah sastra, saya mempertanyakan di mana peran negara dalam "melindungi" rakyatnya? Bukankah negara ini ada karena rakyat? Bukankah semua rakyat punya propesi, entah buruh, kuli, pelacur, penyair, pencopet, pengasong, kenek, tukang parkir, tukang becak, penyapu jalan dan seterusnya? Jika dikerucutkan mengapa negara tidak berterimakasih kepada Saut--meskipun kalah--atas perjuangannya itu? Bukan malah membiarkan dan mencampakkannya. Itu sangat kelewatan.
Saut Situmorang, sebagai sastrawan, kritkus sastra, dan penyair, telah menunjukkan bahwa dirinya patut mendapat penghargaan oleh negara--bukan mereka yang menang lomba membaca puisi atau menulis cerita! Karena sejak tahun 2014 sampai hari ini, jika Anda mengikuti status-status Saut Situmorang, Anda akan geleng-geleng. Betapa tidak, meskipun dihukum selama sepuluh bulan dia tetap konsisten menyuarakan apa yang terjadi di negara gagal ini. Pertanyaannya, bagaimana dengan Anda atau pemenang lomba baca dan menulis puisi, atau penulis cerita atau DPR atau MPR?! Tapi mengapa mereka yang malah dihargai dan bahkan digaji?
Setelah kriminalisasi bajingan Saut Situmorang, kini hadir pula kapitalisasi penyair. Ya, Wiji Thukul.

Secara pribadi, saya mengaku sangat sangat salut pada perjuangan Wiji Thukul. Sebagai penyair (yang dianggap orang kebanyakan tidak terlalu berpengaruh) dia menahbiskan dirinya untuk ikut serta dalam perjuangan melengserkan Soeharto. Namun mengapa untuk menghargai apa yang dilakukannya musti dengan cara kapitalisasi?

Baru-baru ini saya mendapat berita bahwa kisah hidup dan perjuangan Wiji Thukul akan dipilemkan dan akan ditayangkan di bioskop. Di satu sisi, saya sepakat dan apresiasi usaha itu, karena semua orang musti tahu bahwa tugas seorang penyair bukan sekadar menyadarkan khalayak luas melalui puisi, tetapi juga aksi riil.

Namun, di sisi lain ada sesuatu yang membuat saya berang. Seperti sepotong pertanyaan saya di atas: namun mengapa untuk menghargai apa yang dilakukannya (Wiji Thukul) musti dengan cara kapitalisasi (dipilemkan dan ditayangkan di bioskop)? Ha? Siapa yang bisa masuk bioskop? Kalau bukan orang-orang kelas menengah atas? Kemudian bagaimana dengan tukang becak dan anaknya? Nelayan dan anaknya? Tukang semir sepatu dan anaknya? Gelandangan di jalan raya? Orang-orang pinggiran di jantung kota?
Ujung-ujungnya sudah bisa ditebak: cuma jadi konsumsi orang kelas menengah ke atas. Memuakkan betul.

Dari dua kasus yang berjarak sangat dekat itu, muncul dua buah kritik yang akan saya lontarkan. Pertama, negara gagal ini makin menunjukkan kegagalannya dalam melindungi rakyat. Contohnya, tidak ada undang-undang maupun lembaga pemerintah yang melindungi hak sastrawan, kritikus sastra, dan penyair, yang tiada henti menyuarakan kesakitan dan kemiskinan--DKJ dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tak usah diharapkan, mereka kerjanya cuma menghabiskan anggaran negara atau daerah untuk proyek tidak penting dan tidak bermutu. Kedua, untuk kau Fajar Merah, selaku kau anak Wiji Thukul yang sudah melalang buana kemana-mana sambil membawakan puisi-puisi bapakmu itu, mengapa kau diam ketika kisah hidup dan perjuangan ayah kau akan ditampilkan di bioskop dan jadi konsumsi kelas menengah ke atas? Senang kau? Bangga kau? Sudah merasa jadi selebritis kau ya? Lalu menganggap biasa saja?

Untuk menutup tulisan singkat ini, saya akan paparkan dua buah puisi dari kedua penyair yang bernasib lebih malang dari Multatuli itu sebagai refleksi untuk kita semua:

"Matamu"

Matamu adalah hutan hutan nenek moyang yang ditebang jadi perkebunan sawit dan pabrik pupuk kertas

Matamu adalah gunung gunung suci keramat yang dicincang jadi emas dan tembaga

Matamu adalah lahan lahan subur gembur yang dicuri jadi pabrik pabrik semen

Matamu adalah danau biru berkabut yang disulap jadi tempat pembuangan kotoran babi raksasa

Matamu adalah kampung kampung damai tenteram yang dikutuk jadi hotel hotel bernama asing

Matamu adalah banjir dan kemacetan lalulintas yang tak henti menghantui pagi dan malammu

Matamu adalah anak anak yang menangis kelaparan tak punya uang untuk beli beras dan garam impor

Matamu adalah tangki gas yang meledak di dapur waktu kau dan istrimu bersenggama

Matamu adalah harga BBM yang terus naik tiap kali kau kendarai sepedamotor kreditanmu ke tempat kerja

Matamu adalah acara acara televisi yang menayangkan gaya hidup orang orang kaya termasuk waktu mereka shopping ke luar negeri

Matamu adalah para anggota DPR yang mengeluh gaji mereka terlalu rendah sementara mereka mengendarai mercedes keluaran terbaru

Matamu adalah polisi yang menembaki para mahasiswa yang sedang demo sambil memaki mereka anarkis dan teroris

Matamu adalah preman preman berjubah memukuli mahasiswa yang sedang diskusi buku sambil memaki mereka Komunis

Matamu adalah sang Presiden yang tak henti bilang

“Bukan Urusan Saya”


Matamu adalah media massa yang membuatmu memilih presiden itu

Matamu adalah sang Penyair yang dilaporkan ke polisi dengan tuduhan “pencemarannama baik dan kekerasan seksual verbal” di Facebook

Matamu adalah nenek tua yang dipenjarakan karena mau memakai ranting kayu dari halaman rumahnya sendiri untuk kayu api

Matamu adalah pejabat negara yang tersenyum di televisi waktu ditangkap karena korupsi

Matamu adalah suku suku rimba nomaden yang dipaksa negara untuk tinggal di kampung dan jadi beradab

Matamu adalah supermall dan supermarket yang menjamur menggantikan pasar pasar tradisional di seluruh negerimu yang miskin

Matamu adalah orang miskin yang ditolak rumah sakit di seluruh negerimu

Matamu adalah mata jutaan orang miskin yang marah dantak tahan lagi menanggung semua ini menunggu meledaknya revolusi berdarahseperti sebuah gunung api yang lama mati

Matamu ada di mana mana

Jogjakarta 2015





Saut Situmorang


"Sajak Tikar Plastik Tikar Pandan"

tikar plastik tikar pandan
kita duduk berhadapan


tikar plastik tikar pandan
lambang dua kekuatan


tikar plastik bikinan pabrik
tikar pandan dianyam tangan

tikar plastik makin mendesak
tikar pandan bertahan

kalian duduk di mana?

Solo, April 1988


Yogyakarta, 11 Januari 2017

Oleh : Yasir Dayat

Editor : Andi Muh Tajrin

0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top