redaksiaklamasi.org Oleh: Asy’ari
(Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan angkatan 2013)

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakaatuh…

Ku awali tulisan ini dengan ucapan salam karena diriku menganggap salam adalah kalimat pertama yang wajib diucapkan oleh seorang muslim yang baik sebelum berbicara.

Beberapa hari yang lalu pesta politik di kampus peradaban itu sudah berakhir. Hasilnya, terpilihlah seseorang yang dianggap pantas dan layak untuk memangku jabatan sebagai ketua mahasiswa di jurusannya masing-masing. Tim pemenangan sudah bisa bernafas lega karena usahanya tidak sia-sia sama sekali. Dan yang kalah hanya bisa garuk-garuk kepala dan emosi. Karena usahanya bekerja siang dan malam serta komunikasi tanpa henti ternyata berakhir dengan hasil yang tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. 

Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan adalah sosok pemimpin yang merefleksikan pandangan politiknya kedalam organisasi yang ia pimpin.  

Mengapa saya mengatakan hal yang demikian? saya akan menuliskan pandangan saya tentang politik mahasiswa sejauh pemahaman saya akhir-akhir ini.

Mari kita berefleksi terlebih dahulu, jauh-jauh hari sebelum Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) itu terpilih menjadi sosok pemimpin, biasanya mereka telah dikader dalam beberapa organisasi di kampus, lalu organisasi itu menjadi identitas yang melekat dalam diri pribadi kader-kadernya. Di lembaga yang menjadi identitasnya itu, ia kemudian di ajari menjadi agen perubahan bagi masyarakat, berdiskusi mengenai kehidupan manusia yang rumit, hidup sederhana, serta berkenalan dengan beberapa pemikir timur maupun barat. Juga sering didoktrin agar menjadi kader-kader yang setia dan taat pada organisasi yang terkadang  membikin kader-kadernya sedikit fanatik dan sektarian. Yah, itulah sedikit kehidupan si ketua terpilih sebelum ia menjabat sebagai ketua mahasiswa di jurusannya.

Konsekuensinya logis dari proses yang telah ia lalui itu, ia kemudian diangkat dan dianggap mampu mewakili lembaganya untuk bertarung di pemilma (politik mahasiswa). Di uruslah berkas-berkas untuk memenuhi persyaratan sebagai calon ketua dan setelah semuanya rampung, kemudian disetor kepada panitia LPP (Lembaga Penyelenggara Pemilma).

Apa tujuan semua itu? agar eksistensi lembaganya tetap terjaga dan juga lebih leluasa melakukan indoktrinasi. Lalu bagaimana dengan tugas mahasiswa sebagai agent perubahan dan kontrol sosial?

Hah, itu belakangan. Yang penting semua mahasiswa di jurusan bisa diwarnai dulu seperti warna organisasinya. Politik si intelektual organik ini sudah sedikit mengawang, politiknya adalah politik identitas. Politik identitas adalah politik perjuangan identitas yang melekat pada dirinya. Mahasiswa sebagai salah satu kelas dalam kelas sosial yang dituntuk untuk kritis dan progresif ini memiliki identitas-identitas yang melekat pada dirinya, entah itu agama, organisasi maupun etnis. Tetapi mahasiswa justru menjadi atom-atom yang terbelah satu sama lain akibat dari identitas-identitas mereka itu.

Ilustrasi- Dok. ATT

 
Sejatinya sebagai salah satu kelas yang progresif, mahasiswa dipersatukan dengan satu tujuan yang sama. Yaitu terbentuknya masyarakat adil dan makmur. Kesadaran kelas, ketika itu kemudian dibentuk maka akan terjadi kesatuan aksi politik kelas yang progresif, yang mampu membikin kelopak mata para birokrat menghitam, membikin mereka ketakutan tidak karuan.

‘’Tugas mahasiswa adalah bersekutu dengan kaum tertindas, dan bersatu menghancurkan sistem yang kejam ini’’ ucap Victor Serge. Nah, jika kesadaran kelas itu dibentuk maka mahasiswa kemudian akan bersatu dalam satu kelas yang sama dan berjuang untuk kemuanusiaan. Misi politik adalah misi kemanusiaan kata guruku, pendidikan politik menjadi penting.

Dalam politik kelas, mahasiswa tidak lagi berbicara tentang kepentingan identitas maupun benderanya. Tetapi berbicara tentang tugas mereka yang menyejarah, yaitu melawan si dehumanis dengan kerja yang ilmiah, yang membutuhkan kerja kolektif dalam melakukan penyadaran tentang kesadaran kelas kepada mahasiswa yang lain supaya mereka ikut berpartisipasi dan menjadi subjek aktif dalam tugasnya yang historis itu.

Ketua HMJ dan Dema-Fakultas harus bisa melihat kontradiksi antara politik identitas dan politik kelas ini. Agar supaya dalam kerjanya, ia bisa melakukan suatu program kerja yang lebih bermakna, yang lebih kearah penyadaran. Bukan suatu kerja yang bersifat seremonial yang ujung-ujungnya hanya bertujuan untuk menaikkan namanya saja.

Jadi, tujuan dari politik kelas adalah terciptanya kesadaran kelas kemudian bersama-sama melakukan praksis terhadap penguasa yang Dehumanis. Sedangkan tujuan dari politik identitas adalah mengaleniasi mereka yang berbeda identitas, juga melahirkan penindas-penindas baru yang sektarian.

Jadi, mari kita tinggalkan politik identitas dalam pemilma selanjutnya. Semoga kesadaran kelas akan terwujud.

Editor : AHR

0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top