redaksiaklamasi.orgOleh: Abang Dhio'
(Mahasiswa Pendidikan Seni Rupa Universitas Muhammadiyah Makassar, Dewan Pertimbangan Organisasi Lembaga Seni dan Budaya Saoraja Sinjai serta Kader Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Makassar)

Terkadang tantangan hidup masa kini semakin menjadi ujian terberat. Kemiskinan menjadi sahabat berbagia macam penyakit, yang kaya dengan dahi mengkerut menjadi kawan terbaik berbagai masalah. Bahkan sebagian dari mereka telah dipenjarakan. Selebihnya tinggal menunggu giliran bertahta di tempat itu. Manusia mengimplementasikan berbagai bentuk beban kemanapun mereka pergi (mencari lapangan kerja, mennyekolahkan anak sampai mempersiapkan hari tua). Jangan kata di desa, kesusahan menjadi pendamping hidup yang mungkin akan selamanya, sumber daya alam yang berlimpah ruah, namun sumber daya manusia pun bertambah banyak. Sehingga kehidupan dan pencarian lapangan kerja semakin menantang. 

Inilah yang menjadi salah satu alasan maraknya kejahatan dan kekerasan. Digabung menjadi satu, jadilah kehidupan berwajah serba berat di sana-sini. Tidak saja di Negara berkembang, di negara maju sekali pun tantangannya serupa. Kemajuan ekonomi Jepang yang demikian fantastis tidak bisa mengerem angka bunuh diri. Kemajuan peradaban Amerika tidak membuat negara ini berhenti menjadi konsumen obat tidur per kapita paling tinggi di dunia. Jangankan berbicara negeri Afrika seperti Botswana. Rata-rata harapan hidup hanya 30-an tahun. Orang dewasa di sana lebih dari 80 persen positif terjangkit HIV. 

Sehingga menimbulkan pertanyaan, "Demikian beratkah beban manusia untuk hidup?" Dalam kumpulan artikel Gede Pramana diceritakan bahwa ada sahabat yang menghubungkan beratnya hidup manusia dengan hukum gravitasinya Newton yang berpengaruh itu. Sudah menjadi pengetahuan publik, kalau Newton menemukan hukum ini ketika duduk di bawah pohon apel, dan tiba-tiba buahnya jatuh. Sehingga Newton muda berspekulasi ketika itu, ada serangkaian hukum berat (baca: gravitasi) yang membuat semua benda jatuh ke bawah. Sahabat ini bertanya lebih dalam, "kalau gravitasi yang menarik apel jatuh ke bawah, lantas hukum apa yang membawanya naik ke puncak pohon apel?" Dengan jernih ia menyebut "The law of levitation" (hukum penguapan). 

Kalau gravitasi menarik apel ke bawah, penguapan menariknya ke arah atas. Dalam bahasa yang lugas sekaligus cerdas, sahabat ini mengaitkan kedua hukum fisika ini ke dalam dua hukum kehidupan: "Hate is under the law of gravity, love is under the law of levitation." Kebencian berkait erat dengan gravitasi karena mudah sekali membuat manusia hidup serba berat dan ditarik ke bawah. Cinta berkaitan dengan gerakan-gerakan ke atas. Karena hanya cinta yang membuat manusia ringan dan terbang ke atas. Sungguh sebuah bahan renungan kehidupan yang cerdas. Kembali kepersoalan kehidupan diera kekinian yang serba susah. Sudah menjadi momentum yang tidak lepas dari benak manusia bahwa tidak ada satu pun makhluk Tuhan yang lepas dari masalah. Bahkan sebagian besar dari kita menyimpulkannya sebagai sebuah penderitaan. Sebenarnya pemicu dari penderitaan itu adalah sebuah kebencian. Yang membuat semua menjadi susah dan lebih susah lagi. Kebencian yang seolah-olah menjadi parasit bagi kehidupan. Membenci diri sendiri, membenci orang tua, suami, istri, teman, atasan kerja bahkan sebagian membenci Tuhan. Jadi jangan heran jikan benar kemiskinan juga merambah pada senyuman, yang mudah tersinggung, yang senantiasa minta diperhatikan, keegoisan serta rasa pesimis, dan masih bisa ditambah lagi dengan yang lain. 

Semuanya berakar pada yang satu: kebencian! Sehingga mudah dimengerti kalau perjalanan hidup seperti buah apel, semakin tua semakin berat dan semakin ditarik ke bawah. Dainin Katagiri dalam Returning to Silence, menyebutkan: "The final goal is that we should not be obsessed with the result, whether good, bad or neutral." Keseluruhan upaya untuk tidak terikat dengan hasil. Itulah keheningan. Sehingga yang tersisa persis seperti hukum alam: kerja, kerja dan kerja. Dalam kerja seperti ini, manusia seperti matahari. Ditunggu tidak ditunggu, besok pagi ia terbit. Ada awan tidak ada awan, matahari tetap bersinar. Disukai atau dibenci, sore hari dimana pun ia akan terbenam. Mirip dengan matahari yang tugasnya berbeda dengan awan dan bintang. Kita manusia juga serupa. Pengusaha bekerja di perusahaan, penguasa bekerja di pemerintahan, pekerja bekerja di tempat masing-masing, penulis menulis, pelukis berkarya, penyanyi bernyanyi, pengagum meditasi bermeditasi. Semuanya ada tempatnya masing-masing. 

Ada satu hal yang sama di antara mereka: "Menjadi semakin sempurna di jalan kerja". Soal hasil, sudah ada kekuatan amat sempurna yang sudah mengaturnya. Keinginan apalagi kebencian, hanya akan membuatnya jadi berat dan terlempar ke bawah. Seberat apapun kehidupan, sebenci apapun Anda dengan kehidupan, dia bukanlah sebuah tujuan melainkan sebuah perjalanan. Nikmatilah! Wassalam.

Editor: Andi Afri Taqbir

0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top