redaksiaklamasi.org Perguruan tinggi memiliki nawacita yang sangat kompleks yakni sebagai pembangun peradaban bangsa yang lebih baik, mengikis sistem pembodohan, dan sebagai pembentukan karakter. 

Namun apakah perguruan tinggi mampu mempertahankan eksistensinya ketika system kapitalisme dan antek-anteknya masuk ? apakah kampus tetap konsisten menolak system yang menawarkan sebuah komoditas baru yang berorientasi mampu memperkaya para pemilik modal? ataukah kampus telah kehilangan nilainya dan menjadi pusat dari masuknya sistem liberalisasi pendidikan di indonesia ?

Perguruan tinggi sebagai sentral yang bertujuan untuk mengembangkan potensi seseorang, baik dari segi pengetahuan, spritualitas maupun emosional, artinya pendidikan memiliki peran yang sangat urgens dalam kehidupan manusia. 

Kampus sebagai pusat pendidikan yang sangat detail membahas secara keseluruhan mengenai problem mendasar manusia, tidak bisa dipungkiri lagi kampus menjadi satu satunya penentu kehidupan manusia untuk menjadi lebih baik, sebab dalam rana sosial kehidupan masyarakat ditentukan oleh kampus. 

Semestinya kampus, baik dari segi swasta maupun negeri mampu menjawab tantangan yang ada, baik dari segi ekonomi, budaya, agama, sosial, dan politik  yang kemudian berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehingga ini bisa sangat relevan dengan apa yang menjadi nawacita kampus itu sendiri, namun realitas yang terjadi ada nilai-nilai egoisentris dan ambisisme yang melekat didalam kampus untuk mengedepankan kepentingan individualisnya dan kelompoknya. Inilah sebuah nilai yang salah ketika itu terjadi sehingga menggugurkan apa yang menjadi ideologi dan nawacita kampus.
Tidak bisa dipungkiri kampus menjadi lahan yang paling subur untuk meraut sebuah kekuasaan dan keuntungan ini, sangat membantu para pihak-pihak yang bermain didalam. Cara untuk mendapatkan itu tidak diperoleh dengan sendirinya, tentu ada keterlibatan pihak-pihak luar yang dapat membantu akses untuk memudahkan jalannya. 

Salah satunya adalah sistem liberalisasi pendidikan yang diterapkan dikampus merupakan sebuah sistem yang ditawarkan oleh pihak luar untuk memudahkan proses meraut keutungan dan kekuasaan oleh pihak yang bermain didalam dengan cara yang lebih halus, romantis, disiplin, tertib tanpa ada koflik vertikal sebagai penghalang.

Bagaimana liberalisasi pendidikan ini diturunkan dalam praktek kebijakan di kampus ?
Dalam konsep ‘governmentality’ yang dibawa oleh Deridda Foucault (1991) Foucault melihat bahwa ‘government’ (pemerintahan) sejatinya tidak dilihat hanya sebagai institusi politik-birokratik yang mengatur masyarakat, tetapi perlu dilihat dalam dimensinya sebagai cara mengoperasikan kekuasaan. 

Perlu dipahami secara bersama dalam dimensi kampus bahwa sistem pemerintahan tidak hanya sekedar bagaimana mengontrol proses berjalannya perkuliahan tetapi ada proses mencitpkan sebuah kebijakan yang di kemas untuk meraut sebuah keuntungan dengan dalil menciptakan kemakmuran, memberikan kenyamanan bagi mahasiswa yang kuliah di kampus tersebut. 

Govermentality, sebagaimana yang diterapkan dengan dalil tersebut adalah modus-modus yang dilakukan yang memperjelas bahwa ada nilai suatu komoditas yang diinginkan. Masuknya system liberalisasi pendidikan dikampus adanya relevansi yang dibangun antara logika kapitalisme dan birokrasi untuk membentuk sebuah kebijakan yang berdalil pro mahasiswa yang efektif  sebagai bentuk untuk menanamkan wacana liberalisasi tersebut dalam praktik pemerintahan birokrasi kampus sekaligus mendisiplinkan para penentangnya. Modus-modus liberalisasi ini terangkai dalam hubungan romantisme yang dibangun antara pihak luar dan dalam.
Modus-modus liberalalisasi perlahan lahan tapi mulus masuk dikampus-kampus dengan metode yang sangat seksi, sebelum masuk dikampus-kampus liberalisasi pendidikan masuk ke Indonesia dengan kerja sama beberapa kelompok-kelompok kapitalisme. 

Liberaisasi ini dianggap ampuh untuk memproduksi sebuah komoditas-komoditas untuk nantinya digunakan sebagai kebutuhan primer kalangan masyarakat kapitalisme, kampus dijadikan sebagai alat untuk memproduksi pasokan pasokan berkualitas yang nantinya akan digunakan pada sistem kapitalisme sebagai kekuatan mereka menghadapi perkembangan dunia yang semakin canggih, dalam hal ini bisa dikatakan kampus sebagai boneka dari kepuasan para pemilik modal.


 
Bagaimana wacana tentang liberalisasi ditanamkan di Indonesia sampai kemudian masuk di kampus-kampus ?

Pertama, liberalisasi pendidikan ditanamkan melalui institusi teknokratik di tingkat kementerian, yang kemudian mendorongnya menjadi kebijakan publik. Bank Dunia, sebagai institusi yang sangat berambisi mewacanakan liberalisasi. Pendidikan tinggi, menggunakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sebagai sarana utama. Modus yang digunakan oleh Bank Dunia adalah pinjaman proyek (Bappenas, 2013). Dalam laporan Bappenas, per 31 Desember 2012, 43% dari keseluruhan pinjaman proyek dikelola oleh Kementerian Pendidikan Tinggi.
Bank Dunia meminjamkan dana untuk melakukan ‘reformasi pendidikan tinggi’ kepada pemerintah, melalui beberapa proyek seperti Development of Undergraduate Education (DUE), Higher Education for Relevance and Efficiency (HERE), dan Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE). Hal menarik dapat ditemukan pada laporan pelaksanaan proyek HERE dan DUE. Di 2 laporan tersebut, per 2012. (proyek ini berlangsung bertahap, 1995-2002 dan 2005-2012) tertera bahwa Bank Dunia memberikan dukungan terhadap pembentukan Dewan Pendidikan Tinggi (Board of Higher Education) di Direktorat Jendera Pendidikan Tinggi, yang bertugas untuk menyusun kebijakan-kebijakan teknis Pendidikan Tinggi. Posisi Dewan Pendidikan Tinggi ini menarik. Laporan Bank Dunia menyebut bahwa lembaga ini bertugas memberikan saran-saran kepada Direktorat yang kemudian diteruskan menjadi perubahan kebijakan untuk memenuhi ‘paradigma baru’ pendidikan (World Bank, 2003: 7).
Di samping itu, Dewan Pendidikan Tinggi ini juga melakukan supervise atas pelaksanaan rencana strategis jangka panjang kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia, yang pembuatannya juga disponsori oleh proyek Bank Dunia (World Bank, 2003), Bank Dunia terlibat baik dalam pembentukan maupun capacity building dari Dewan ini. Di laporan proyek DUE, mereka mendukung lembaga ini dengan jumlah dana yang cukup besar, total $6,4 juta. 

Dewan Pendidikan Tinggi inilah yang kemudian terlibat dalam perumusan UU Pendidikan Tinggi, dan terlibat dalam sosialisasi di mana-mana. Perumusan UU Pendidikan Tinggi (sebelumnya UU BHP) juga tidak lepas dari dukungan Bank Dunia. Melalui proyek HERE, Bank Dunia mendukung ‘reformasi perundang-undangan tentang pendidikan tinggi’ melalui skema pinjaman lunak mereka. Laporan pelaksanaan proyek HERE terang-terangan menyebut bahwa UU baru tentang pendidikan tinggi ini adalah buah dari kesepakatan dan harus dipenuhi oleh pemerintah. Awalnya, pelaksanaan dari proyek ini adalah UU Badan Hukum Pendidikan.
Namun, gerakan masyarakat sipil dan mahasiswa melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi menghambat pelaksanaan ini. Tak lama kemudian, tahun 2012, muncul UU baru yang membawa liberalisasi ini berjalan secara lebih soft. Hal menarik lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa proyek ini berakhir tahun 2012, sehingga menyebabkan pemerintah harus cepat-cepat mengesahkan UU ini sebagai bentuk kepatuhan terhadap Bank Dunia (World Bank, 2013). Dua laporan proyek ini mencerminkan dua hal:
  1. Proyek liberalisasi pendidikan sejatinya tidak dilakukan melalui jalur ‘politis’ semata (via DPR dan Kementerian) tetapi juga melalui jalur teknokratis.
  2. Hal ini menyiratkan satu fakta penting: teknokrasi tidak bebas nilai dan kepentingan. Teknokrasi menjadi pilar penting bagi lembaga-lembaga
Keuangan seperti Bank Dunia untuk menanamkan diskursus dalam kebijakan publik di Indonesia. Kedua, wacana liberalisasi pendidikan di Indonesia ditanamkan melalui jejaring pengelola universitas dan akademisi  intelektual). Hal ini dapat kita lacak pada proses persidangan uji materiil UU Pendidikan Tinggi di Mahkamah Konstitusi. Beberapa saat setelah persidangan FPP dan BEM Unand selesai dan Komite Nasional Pendidikan siap mengajukan gugatan, muncul pernyataan sikap yang langsung ditandatangani oleh tujuh rektor Perguruan Tinggi.
Isi Pernyataan sikap 7 PTN itu adalah sebagai berikut:
  1. Otonomi perguruan tinggi yang meliputi otonomi akademik dan otonomi nonakademik bersifat KODRATI bagi perguruan tinggi.
  2. Otonomi akademik merupakan prasyarat untuk melaksanakan tridharma perguruan tinggi
  3. Otonomi nonakademik merupakan prasyarat untuk mewujudkan pengelolaan perguruan tinggi yang baik. Ketiadaan otonomi non akademik akan meniadakan otonomi akademik.
  4. UU Nomor 12 Tahun 2012 menjamin otonomi perguruan tinggi juga mengatur dengan tegas tanggung jawab negara atas penyelenggaraan dan pendanaan pendidikan tinggi
  5. Untuk menjamin otonomi nonakademik dalam rangka meningkatkan mutu diperlukan kewenangan: pengambilan keputusan secara mandiri, penerapan merit system dalam pengelolaan sumberdaya manusia, pengelolaan aset, dan pengelolaan keuangan.
  6. Kewenangan tersebut di atas dalam sistem penyelenggaraan dan keuangan Negara hanya dapat dilakukan oleh PTN badan hukum.
  7. Dalam PTN badan hukum, masyarakat sebagai pemangku kepentingan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pengambilan keputusan pengelolaan perguruan tinggi.
Dengan pernyataan diatas sangat jelas terbukanya perguruan tinggi dalam menanamkan system liberalisasi pendidikan dimana kampus berhak untuk mengatur otonominya dengan sendiri secara normalisasi tanpa ada pelibatan Negara, dengan begitu sangat jelas perguruan tinggi sudah tidak memperdulikan lagi persoalan kemaslhatan mahasiswanya. 

Ketika pihak-pihak birokrasi menggunakan logika kapitalisme neoliberal maka mahasiswa sama halnya dengan komoditas-komoditas yang lain yang digunakan sebagai keperluan bagi para pemilik modal yang diterapkan melalui kebijakan-kebijakan yang berdalil pro mahasiswa toh nyatanya kebijakan itu sendiri bagian dari system liberalisasi pendidikan, dalam hal ini.
Dengan demikian bisa dipastikan perguruan tinggi saat ini terjadi pergeseran nilai dari yang baik ke yang buruk, kampus sebagai bagian dari pada perubahan sebagai solusi dari keterpurukan bangsa, dimana mahasiswanya dibentuk untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada seperti masalah social. 

Agama, budaya, ekonomi, dan politik akan dijebak dengan system kampus yang liberal, seperti misalnya awal muncul gagasan mengenai reformasi pendidikan yang mulai muncul pada Tahun 1999 dengan asumsi pendidikan tinggi Indonesia dilanda ‘krisis.’ Ada semacam ‘kegagapan’ dari pendidikan tinggi dalam merespons perkembangan produksi yang semakin kompetitif, global, dan tapi pendidikan tinggi sama sekali tidak disiapkan untuk menghadapi pasar yang berkembang, sehingga gagasan reformasi pendidikan tinggi’ lahir dari kebutuhan untuk merespons adanya kebutuhan industri (pada spektrum yang lebih luas: pasar) untuk melakukan ‘konvergensi’ dengan pengetahuan.
Sehingga berdasarkan gagasan tersebut pendidikan tinggi sebagai salah satu proses dalam produksi pengetahuan yang beroperasi pada skala global. Universitas menjadi semacam ‘holding institution’ yang bekerja dalam produksi pengetahuan. Dengan begitu Universitas setidaknya punya dua peran penting mencetak mahasiswa untuk dikaryakan dalam industri kemudian kampus sebagai riset untuk memecahkan masalah yang ada pada industri itu sendiri. Hahahahhaha keren yah cara kerja masyarakat kapitalisme yang menerapkan sistem liberalisai pendidikan dengan kebijakn-kebijakan yang sangat halus dan romantis sehingga tanpa disadari kita terhegemoni didalam sistem itu sendiri.
Pendidikan kemudian hanya bertugas untuk menjaga agar produksi pengetahuan berjalan lancar dan punya kualitas melalui regulasi-regulasi yang melatarbelakanginya. Kita bisa lihat posisi negara dalam tulisan Satryo ini: sebagai ‘penjaga malam’. Pemaparan Satryo Brodjonegoro tersebut memberikan kita sebuah kesimpulan bahwa agenda ‘reformasi pendidikan tinggi’ ditanamkan di atas diskursus tentang ‘kedaulatan pasar.’ 

Reformasi pendidikan tinggi menjadikan ‘pengetahuan’ sebagai komoditas; Pengetahuan adalah sesuatu yang bisa diakumulasikan dan mendapatkan keuntungan bagi pemilik modal, dengan beberapa regulasi-regulasi yang diterapkan dikampus-kampus yang dikemas dengan sangat rapi dan lembut, jadi kampus yang bernamakan swasta ataupun negeri dalam konsep kapitalisme neoliberal tidak lebih hanya sebagai kemasan saja.
Bagaimana peran Mahasiswa dalam menghadapi liberalisasi pendidikan ?
Liberalisasi pendidikan sangat berdampak buruk bagi mahasiswa, dampak yang terjadi bukan hanya dari segi ekonomi saja, melainkan peran mahasiswa sebagai ‘agen of change’ juga bisa diredam, hal ini bisa dilihat dengan pelarangan mahasiswa secara transparansi melakukan kegiatan-kegiatan yang berbau propaganda misalnya, pelarangan pemasangan atribut organisasi dikampus, bale-bale dihancurkan karena dianggap sebagai tempat mahasiswa melakukan gerakan melawan kebijakan kampus. 

Bahkan menurut saya adanya perbedaan jam kuliah antara senior dan junior merupakan salah satu bentuk pelarangan yang dikemas dalam system sebagai upaya untuk menghentikan aktifitas-aktifitas pertemuan yang dilakukan antara senior dan junior, dikarenakan ketakutan dari pihak kampus adanya doktrin senior yang juga ampuh untuk memberikan perlawanan terhadap kebijakan kampus yang dianggap tidak sebagaimana mestinya.
Upaya mahasiswa dalam menghadapi sistem liberalisasi kampus seyogyanya harus dibangun melalui kesadaran pendidikan. Kesadaran pendidikan yang dimaksud disini adalah berani menjadi pemberontak yang beretika, baik melakukan perlawanan dari segi pergerakan maupun dari segi akademisi, sebagai mana “Ali Syariati pernah berkata : Tuhan berikan aku iman yang kuat agar menjadi pemberontak sejati”. 

Pemberontakan dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap sebuah system yang menciptakan dampak yang sangat buruk. Mayoritas mahasiwa telah terhegemoni dengan doktrin sistem yang menarik, system penjajahan kosmetik yang membuat para penikmatnya menjadi mabuk sehingga tanpa disadari kita telah masuk kedalam jebakan system yang telah mempersiapkan kita menjadi bonekanya dalam hal ini mahasiswa yang dipersiapkan menjadi peraut keuntungan bagi pemilik modal. 

Misalnya saja regulasi yang diterapkan kampus seperti UKT-BKT yang katanya solusi dari mahasiswa yang kurang mampu dimana yang mampu membayar lebih mahal, sementara dalam konteks universal HAM setiap orang berhak masuk diperguruan tinggi atas dasar kemampuannya, pembayaran –pembayaran dikampus yang seharusnya tanpa ada pungutuan biaya malah dibebankan kepada mahasiwa, lalu ada juga sistem AUTO PARKING sebagai solusi untuk keamanan, toh nyatanya itu adalah ilusi objektif yang diterapkan oleh pihak kampus yang telah bekerja sama dengan pihak pemilik modal dalam hal ini adalah masyarakat ekonomi-politik oligarki atau kelompok masyarakat elit peraut keuntungan yang mengesampingkan masyarakat kalangan bawah.
Liberalisasi pendidikan menjadi satu potret cara kerja kapitalisme yang menyebar hampir diseluruh kampus-kampus.Gagasan liberalisasi pendidikan tidak ditanamkan melalui satu kanal saja, tetapi melibatkan relasi-relasi. 

Berbagai kanal seperti (teknokrasi, proyek, pengelolaan universitas, pengetahuan, dll) yang menuju pada satu muara yang sama yakni komodifikasi pengetahuan, artinya  system menjadi acuan dari terbentuknya sebuah produksi di kampus-kampus. Gerakan mahasiswa perlu memikirkan gerakan bersama dengan elemen-elemen lain dan mengesampingkan gerakan sporadis untuk menghadang isu-isu liberalisasi pendidikan dan komersialisasi pendidikan sebab, pada dasarnya liberalisasi pendidikan sama sekali tidak memihak kepada mahasiswa dan tidak hanya merugikan mahasiswa, tetapi juga buruh, petani, pedagang kecil, dan siapapun yang ingin memberikan pendidikan yang baik pada anaknya.
Maka dari itu, gerakan mahasiswa tak boleh sendiri dan harus bergerak bersama-sama elemen rakyat lain dalam menghadang liberalisasi, serta memberikan kesadaran kepada semua yang nantinya menjadi korban dari sistem tersebut, sehingga itu bisa menjadi salah satu solusi alternatif untuk mencegah masuknya sistem pendidikan liberalisasi di perguruan tinggi dan para pihak yang meraut keuntungan, pramodya anata toer mengatakan “didiklah penguasa dengan perlawananmu dan didiklah masyarakt dengan organisasimu” pramum sangat jelas sepakat dengan gerakan-gerakan mahasiswa yang melawan ketidak adilan dan kebijakan-kebijakan yang dapat merugikan mahasiswa itu sendiri, ketika gerakan yang dibangun adalah gerakan totalitas yakin dan percaya apa yang menjadi nawacita dan ideologi perguruan tinggi dapat berjalan sebagaimana mestinya.
*Diperoleh dari berbagai sumber

Oleh: Muhammad Syahir


Editor: Andi Khaerurrijal

0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top