Ahmad Wahib. Dok. Pribadi




redaksiaklamasi.org 

Oleh : Andi Afri Taqbir 
(Kepala Bidang Internal LAPMI - HMI Komisariat Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar Cabang Gowa Raya)

Ahmad Wahib

Beliau (lahir di Sampang, 9 November 1942 – meninggal di Jakarta, 31 Maret 1973 pada umur 30 tahun) dikenal sebagai pemikir dan pembaharu Islam. Ia dikenal sebagai pembaharu terutama berkat catatan harian yang diangkat menjadi buku Pergolakan Pemikiran Islam (2004) oleh Djohan Effendi dan Ismet Natsir. Dalam catatannya, Wahib mencoba mempertanyakan apa yang sudah ia yakini selama ini mengenai Tuhan, ajaran Islam, masyarakat Muslim, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Dalam satu wawancara, Douglas E. Ramage, seorang Indonesianis lulusan University of South Carolina menyebut Wahib sebagai salah satu pemikir baru Islam yang revolusioner.

Pada 1971, Wahib menginggalkan Yogyakarta. Tujuannya adalah Jakarta, mencari kerja. Ia pada akhirnya diterima sebagai calon reporter majalah berita mingguan Tempo. Ia juga ikut kursus filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, sebuah perguruan tinggi yang didirikan oleh seorang Jesuit Jawa, Driyarkara. Pada saat yang sama, ia juga ambil bagian dalam pertemuan berbagai kelompok diskusi. Ia bahkan sempat membuat rancangan tema diskusi soal teologi, politik dan budaya yang sangat ambisius. Sayangnya, ia wafat tertabrak motor pada 30 Maret 1973.


Semasa Kecil

Wahib tumbuh dewasa dalam lingkungan yang kehidupan keagamaannya sangat kuat. Ayahnya adalah seorang pemimipin pesantren dan dikenal luas dalam masyarakatnya. Tapi ia juga adalah orang yang berpikiran luas dan terbuka, yang mendalami secara serius gagasan pembaharuan Mumammad Abduh Ia menolak objek-objek kultus yang menjadi sesembahan para leluhurnya. Objek-objek ini sangat populer dalam tradisi rakyat Madura, seperti tombak, keris, ajimat, dan buku-buku primbon.

Pembahasan-pembahasan seputar masalah-masalah tersebut menimbulkan ketertarikan kepada persoalan-persoalan yang lebih umum, seperti persoalan apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah “ideology Islam”? Apakah Islam, dalam kenyataannya, adalah sebuah ideologi? Bagaimanakah sebuah ideology politik dapat dirumuskan demi kepentingan umat Islam di Indonesia? Di mana posisi Islam secara  vis a vis berhadap-hadapan dengan  ideologi-ideologi sekuler seperti demokrasi, sosialisme dan Marxisme? Ketertarikan kepada soal-soal ini sejalan dengan corak pertumbuhan Wahib dalam keluarganya.

Semasa Masih Berkuliah

Selain itu, Yogyakarta adalah salah satu kota yang secara intelektual dan budaya paling kaya di Indonesia. Ini berperngaruh dalam perkembangan pribadi Wahib. Yogyakarta adalah kota lembaga-lembaga pendidikan. Universitas Gadjah Mada, karena alasan-alasan kesejarahan, memiliki daya tarik yang besar, dan kenyataannya mampu menyedot banya pelajar dari seluruh Indonesia. Di sana juga ada perguruan-perguruan tinggi lain, baik milik swasta maupun pemerintah, yang juga memiliki daya tarik. Termasuk di dalamnya adalah IKIP Sanata Dharma, milik sebuah yayasan Katolik, Universitas Islam Indonesia, dan UIN Sunan Kalijaga.

Mukti Ali, mengenai kelompok diskusi ini, menyatakan bahwa kelompok tersebut menarik perhatian banyak peserta. Kelompok tersebut juga secara reguler mengundang pembicara-pembicara tamu dari berbagai kalangan, baik orang Indonesia maupun bukan. Kelompok tersebut membahas persoalan-persoalan penting menyangkut masa depan kaum Muslim Indonesia, dalam suatu kerangka yang membuka kemungkinan untuk tumbuhnya gagasan-gagasan baru yang segar. Masalah-masalah teologis yang sublim kerap didiskusikan juga, dan gagasan-gagasan yang dikemukakan seputar masalah tersebut kadang jauh dari apa yang diyakini orang kebanyakan dan bersifat provokatif.

Masa-masa Wahib di Yogyakarta adalah masa-masa yang paling bergolak dalam sejarah Indonesia. Inilah titik dimana ambruknya perekonomi Indonesia dan terjadinya ketegangan politik yang berujung dengan usaha kup oleh PKI pada masa 1965. Sebagai balasan atas kup yang gagal total ini, terjadilah pembunuhan besar-besaran atas mereka yang dituduh antek-antek PKI. Di Jawa Tengah saja, ribuan orang tewas. Hal ini menjadi salah satu alasan peralihan kekuasaan dari Orde Lama menjadi Orde Baru, di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto,  periode yang di kenal bertangan besih ini juga banyak meninggalkan luka-luka psikologis di kalangan mereka yang mengalaminya.

Semua unsur di atas (latar belakang keluarga, penyesuaian diri dengan lingkungan baru, dengan konsekuensi meluasnya horizon berfikir secara dramatis, tekanan-tekanan baik bersifat politis maupun personal, dan pembunuhan besar-besaran yang mengerikan lantaran gagalnya kup PKI) jelas turut menentukan berubahnya arah pemahaman Wahib mengenai Islam. Unsur-unsur tersebut pulalah yang pada akhirnya megantarkannya untuk keluar dari HMI pada 30 September 1965. Mungkin bukanlah sebuah kebetulan bahwa tanggal di atas bersamaan dengan hari ulang tahun ke-3 gagalnya kup PKI pada 30 September 1965.

Sayembara Si Ahmad Wahib

Sejak tahun 2003, Ahmad Wahib menjadi simbol sayembara penulisan esai. Sayembara ini bermaksud mendorong anak-anak muda menuangkan gagasan kritisnya mengenai agama, bangsa dan kemanusiaan melalui tulisan. Tulisan diyakini sebagai sarana yang lekang dimakan zaman. Meski meninggal di usia muda, catatan harian yang kemudian diterbitkan melanggengkan kehadirannya. Sehingga, sayembara ini dapat melahirkan Wahib baru dari generasi saat ini.

Hingga kini sayembara tersebut masih berlangsung. Kali ini, Yayasan Paramadina, lembaga yang didirikan oleh Nurcholis Madjid atau Cak Nur, sebagai penyelenggara sayembara tersebut. Kini sayembara tidak hanya menantang anak muda untuk menuangkan gagasan melalui esai. Mereka juga ditantang untuk menggunakan blog dan video sebagai sarana menuangkan ide kritisnya. Sayembara ini diharapkan akan melahirkan wahib masa kini, sosok insan yang menyampaikan gagasan mengenai Islam, kemanusiaan, kebebasan dan keadilan melalui teknologi informasi.

Sayembara ini akan memperebutkan hadiah total 67 juta rupaih plus voucher buku-buku penerbit Mizan jutaan rupiah. Untuk memilih siapa yang berhak atas hadiah-hadiah tersebut, panitia mengundang Ihsan Ali-Fauzi (penulis), Ucu Agustin (filmaker), Fahd Djibran, Cholil Mahmud (musisi ERK) dan Afra Suci (penulis) sebagai dewan juri. Semua keputusan dewan juri tidak dapat digangu gugat.

Kutipan

Dalam memahami wahib sangat penting untuk dilihat apa, dimana dan kapan pemikiranya ditelurkan. Wahib bukanlah pemikir yang telah selesai, ia benar-benar orang yang resah dalam mencari hakikat hidupnya sebagai hamba Allah dalam menempatkan diri dengan berbagai perubahan realitas yang begitu cepat. Periode dekade 60-70-an. 


Pada periode ini pergolakan sosial dan politik yang sangat dramatis. Panasnya konflik ideologi menjadikan islam sebagai salah satu alat untuk menghabisi ideologi lain, termasuk jadi legitimasi untuk membenarkan pembunuhan pada mereka yang tak bedosa atasnama agama. Keresahan ini menyelimuti pola pikir wahib untuk membangun satu konsepsi islam yang butuh diterjemahkan ulang secara individual agar setiap individu menemukan makna atas keberislamanya secara otentik bukan semata-mata tafsir atau dogma dari orang-orang disekitarnya. 

“Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia.”

- Pemikiran wahib dalam buku Pergolakan pemikiran islam, bukanlah satu rangkaian utuh yang terstruktur, wahib menuliskanya dalam lembar-lembar catatan harian, jelas siapapun tahu catatan harian bukan konsumsi publik, bahkan sesuatu yang sangat intim bagi manusia dan lingkaran terdekatnya. Walaupun ada beberapa tulisan dan argumentasi yang tajam, tapi ini memiliki ruang personalitas yang tinggi. Baru Setelah ia meninggal catatan hariannya di publish pada era 80-an dalam buku "Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan harian Ahmad Wahib".

Editor : Andi Muh Ridha R

0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top