(Foto: Wawan. Dok. redaksiaklamasi.org) |
redaksiaklamasi.org - Oleh: Wawan (Kader HMI Komisariat Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar Cabang Gowa Raya dan Penggiat Komunitas Rumah Baca Paradox)
Sore itu pukul 5 Jake baru saja menyelesaikan tugas kuliahnya, mungkin lelah, juga sepi, akhirnya ia memutuskan menelpon sahabatnya sembari menikmati seduhan kopi dan sebungkus rokok batangan yang ia beli di kios kecil, samping lorong sempit dekat tempat tinggalnya. Sebuah novel tua dan berdebu di hadapannya membuatnya gelisah.
“Aku lelah, aku tidak ingin menyentuhnya.” pikirnya dalam hati.
Ia hanya ingin menulis, sebuah pena di tangannya dan selembar kertas di hadapannya. Hal yang sama terjadi, ia gelisah, bingung, semua ide-idenya hilang seketika, ia merasa muak dengan dirinya, ia merasa bodoh di hadapan dirinya sendiri. Jake semakin tidak mampu berbuat apa-apa, seketika ia benci dengan dirinya, benci dengan kehidupannya, benci dengan nama-nama yang ada dalam kepalanya. Senja di ufuk barat mulai kehilangan keindahannya, suasana langit semakin gelap, ia duduk di ruang tamu yang sempit itu. Mendadak suara pagar besi berbunyi, Jake lalu membuka pintu rumah tua kontrakannya.
“Hai Jake, bagaimana kabarmu” tanya Mike sahabat lamanya.
“Baik, silahkan masuk” .
“Sobat kayaknya kau butuh kopi” Jake menawarkan.
“Itu ide yang bagus Jake.” Mike menerima tawarannya.
Jake lalu bergegas kedapur dan meracik kopi untuk Mike. Setelah beberapa menit, Jake kembali dengan segelas kopi hitam dan kue bolu dalam toples plastik tua dengan brandKOPIKO.
Mike, si “muka buruk”. Begitulah teman-teman sekolah dulu memanggilnya, seorang pria dengen kegagahan di bawah rata-rata, kulit cokelat dan sedikit berminyak. Pria tinggi, kekar, hampir sama dengan kebanyakan tentara-tentara Rusia dalam film-film perang.
“Begini sobat, aku menelponmu karena aku butuh teman, akhir-akhir ini aku mulai khawatir dengan kondisiku, dan saya harap kau bisa membantu.” Jake memulai pembicaraan. Ia sebetulnya pemarah, keras kepala, tidak jarang Jake menjadi bahan buah bibir kawan-kawan seperkuliahannya.
“Aku mengerti Jake, tapi bagaimana saya harus membantumu, aku terlalu sibuk dengan urusanku, kau mengerti kan?” Mike dengan wajah murung. Akhir-akhir ini ia sibuk dengan tugas penyelesaiannya, sibuk menghabiskan waktu untuk melanjutkan tulisan-tulisannya, sembari menghabiskan novel-novelnya.
“Iya Mike, tapi… Ahh sudahlah.” Jake tidak melanjutkan pembicaraan.
***
Jarum jam dinding tua asal Negeri suci itu menunjukkan pukul 08:30 Malam sekaligus itu menjadi saksi kebisuan mereka berdua, tak ada suara apapun yang keluar dari mulut mereka, selain suara tikus got berlarian dan suara anak tetangga sebelah yang begitu bising dan menjengkelkan. Mereka larut dalam sesak asap rokok yang memenuhi hampir seluruh ruang tamu yang sempit itu.
“Mike, apakah kau masih ingat, dulu kita sama sekali tidak punya beban pikiran seberat ini, yang kita tahu hanya bagaimana kita bisa menghabiskan waktu untuk bermain.” Jake memulai.
“Tentu, aku masih ingat, rasanya aku ingin kembali ke masa itu Jake”.
Jake bersama Mike lahir di suatu pulau yang jauh di seberang sana, Ia dibesarkan dari kedua orang petani di sebuah desa terpencil. Jake tumbuh besar dari keluarga miskin, tumbuh dari lingkungan keluarga dengan modal kehidupan yang susah dan murung, di umur Tujuh Tahun Jake sudah dididik dan dipaksa untuk baca Qur’an, beribadah lima kali sehari. Ia dipaksa untuk bekerja membantu keluarga, sehingga di musim hujan, sepulang sekolah dan ngaji, Jake harus tergopoh-gopoh ke sawah untuk membantu ayahnya mengelola sepetak sawah kecil milik tuannya, penguasa kikir kampungan itu.
Jake menemukan hal yang berbeda ketika ia masuk dalam dunia baru, dunia yang aneh, horror dan mengerikan. Ia meninggalkan kampung halamannya untuk melawan mitos baru juga buruk, mitos yang hidup dan menjamur dalam lingkungannya. Bahwa melanjutkan sekolah tinggi adalah cara satu-satunya untuk meraih kesuksesan, lalu mereka harus meninggalkan pulau terkutuk itu, dan ke Kota untuk merubah semuanya, paling tidak ia mampu merubah dirinya sendiri. Begitulah pesan dan harapan petuah-petuahnya.
Jake, ia melanjutkan pendidikannya bersama Mike di sebuah perguruan tinggi yang berbeda, mereka sesekali bertemu ketika ia masing-masing memiliki waktu luang dari sekian banyaknya tugas-tugas kuliah, tugas makalah, sampai tugas-tugas yang menyita hampir seluruh waktunya untuk memikirkan kepedulian tentang orang-orang yang ada di sekelilingnya, membuatnya terpenjara dalam ketikan-ketikan, yang sebenarnya ia tidak tahu apa manfaat dari semua itu.
“Mike, sekarang kita sudah tidak melihat bagaimana perempuan-perempuan tua itu berjejer di sepanjang anak tangga untuk saling mencari kutu ketika pekerjaan rumah selesai. Kau tidak ingin mengingat itu Mike.?”Jake melanjutkan cerita.
“Aku mengingatnya Jake, hampir semuanya”.
“Dan kau selalu terlambat ikut upacara yang membosankan di hari Senin itu lalu kau dihukum kan.” Jake memulai kisah sahabatnya. Pagi itu, selesai upacara bendera Mike dihukum oleh kepala Sekolah karena telat ikut upacara, dengan mengangkat satu kaki dan kedua tangannya masing-masing memegang kedua telinganya. Tidak hanya itu, Mike begitu berkeringat dan ketiaknya basah, bau badannya yang aneh menyengat hidung teman-teman sekelasnya.
“Ahahaha itu lucu dan konyol Jake, aku rindu dengan suasana itu, dan kau masih ingat ketika saat itu kau dan aku dihukum oleh pak Marto guru berangasan itu?” Mike membalasnya dengan kisah yang mungkin lebih menarik. Siang itu setelah bell Sekolah berbunyi, pertanda berakhirnya jam istirahat, mereka bersama teman-temannya berbondong-bondong masuk ke ruang kelas. Suasana seketika menjadi tegang, Jake dan Mike tidak menyelesaikan PR Matematika yang menyebalkan itu. Akhirnya mereka berdua dihukum dengan berdiri menghadap papan tulis, membelakangi teman sekelasnya. Seketika Mike ingin sekali mengeluarkan angin dari bokongnya, mungkin pengaruh mi instan yang makannya di kantin tua belakang kelasnya. Di tengah suasana keheningan, tiba-tiba suara menggelegar bak guntur di Siang bolong datang dari arah bokong Jake, disusul tawa riuh terpingkal-pingkal dari seluruh mulut orang-orang di ruangan itu. Ternyata kentut Jake tidak hanya busuk, suaranya yang menggelegar membuat pak guru berkumis dan sangar itu ikut tertawa terkekeh-kekeh.
“Hahaha… itu konyol bung, tapi sudahlah, itu sudah berlalu” Jake mengalah dan menutupnya dengan sesekali tertawa.
***
Malam itu mereka menghabiskan waktunya untuk saling berbagi kisah, mencumbu kisah konyol sewaktu di Sekolah dulu, mengingat para guru-guru kaku, anti kritik dan membosankan itu. Mereka menikmati setiap isapan rokok dan sesekali meneguk kopi hangat yang membasahi ruang kerongkongan. Tikus menyebalkan itu masih saja menjengkelkan kali ini ia mengobrak-abrik sisa-sisa makanan dan memecahkan satu buah piring kesayangan Mike. “Apakah ini pertanda buruk.?” Tanya Jake dalam hati, segerahlah ia membersihkan bekas pecahan kaca ulah tikus terkutuk itu.
“Sekarang begini Mike, tentang surat kaleng yang ditemukan oleh pak Dullah tepat di depan pintu rumahnya itu, kau masih ingat?” Jake memulai dengan topik yang berbeda dan lebih serius.
Surat kaleng yang ditemukan oleh pak Abdullah itu menggetarkan seluruh penghuni Kota, surat itu berisi tentang kritikan, hinaan kepada pemimpin berjenggut tebal itu, tokoh agama yang mengaku suci, mengaku berpijak di atas kebenaran, sosok pemimpin idola dengan ribuan sampai jutaan pengikut itu, dengan mudah mengkafirkan pengikut agama selain pengikut agamanya, mengutuk pemimpin selain dari pemimpin yang beragama sama dengannya, menganggap mereka semua yang berbeda dengannya adalah musuhnya. Ia adalah putih, suci, bersih dan tak berdosa. Begitulah penggambaran isi surat kaleng itu. Penulis surat itu mengancam akan membongkar seluruh kejahatannnya, ia akan mengungkap seluruh kemunafikannya, dan ia akan selalu menjadi hantu baginya.
“Dan kau tahu Mike? Seandainya aku tahu siapa penulis kafir terkutuk itu, aku akan mengeluarkan semua isi perutnya, aku akan menggantungnya di hadapan seluruh saudara-saudara dan seluruh keluarganya!!” Jake melampiaskan kemarahannya pada sahabatnya.
Mike tidak begitu menanggapi, ia tahu bagaimana sifat sahabatnya. Dengan mata memerah, murka, pertanda ia hendak menerkam dan menghabisi musuhnya.
“Kau serius dengan kata-katamu Jake?”
“Mengapa tidak? Tuhanku menghalalkan darahnya untuk manusia babi seperti dia”.
Suasana Kota memanas seperti logam dipanaskan selama ber abad-abad, langit seakan berwarna merah darah, semua kepala, terkaman, tertuju pada si penulis surat hitam itu. Sekejap sunyi, hening, mereka tertidur, tumbang dalam kelelahan.
Terik matahari, membangunkan Jake, keringat mengucur, mengguyur seluruh tubuhnya. Berita buruk telah datang mengabarkan. “Miiiiiiiikeeeee….” Ia sama sekali tak percaya, ia seakan bermimpi. Mike sudah tiada, Mike meregang nyawanya, lehernya hampir putus bekas gorokan, mereka berhasil membunuhnya. Lelaki yang semalam masih bersamanya kini meninggalkan Jake untuk selama-lamanya. Air mata itu jatuh tak terhenti, mata itu berkaca-kaca. Sepucuk surat ditemukannya di atas selimut tua itu, bekas pengalas tubuh Mike berbaring untuk yang terakhir kalinya. Jake begitu mengenal tulisan sahabatnya. Tulisannya itu masih sama seperti dulu, iya, itu tulisan tangan Mike, sahabatnya. Ia menjadi lumpuh tak berdaya. Tulisan itu untuk sahabatnya, Jake. Dan untuk manusia-manusia suci tak berdosa itu.
"Jake sahabatku. Aku melihat diriku yang hidup, aku tidak mati, aku selamanya akan melawan dan menelanjanginya demi sebuah kebenaran, teriakanku dalam aksara akan merongrong setiap kali mereka mengingatku, bahwa surat kalengku akan selalu ada, aku ada untuk membuka topeng kesuciannya. Aku akan menjadi hantu baginya, dan kau Jake, kau akan selalu menjadi sahabatku."
-MIKE-
Ingatan itu berhasil menghantam kepala Jake, ingatan tentang kisah-kisah bersama sahabatnya, ia tidak menyangka, penulis kafir terkutuk itu adalah sahabatnya sendiri, sahabat yang baru semalam ingusan itu besamanya. Ia Mike, lelaki yang malang itu
Editor: Nur Aisyah Ramadhani
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar