redaksiaklmasi.org – Oleh: Roofi Jabbar
(Sekertaris Umum HMI
Komisariat Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar Cabang Gowa Raya Periode
2016-2017 dan Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar)
“Faa biayyi alaa’i rabbi kuma tukadzdzi ban (maka nikmat
Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?) ungkapan indah sekaligus peringatan
bagi manusia.” Surah Ar-rahman.
Alam
diciptakan lebih dulu sebelum manusia menandakan adanya aturan dasar yang
mengharuskan manusia tunduk. Walau pada dasarnya manusia dijadikan sebagai
khalifah dimuka bumi bukan berarti manusia bebas memperlakukan alam sesuai
kehendaknya. Begitu banyak yang alam rahasiakan tentang kehidupan. Adanya
spesies makhluk hidup yang telah punah sebagai bukti ketidakberdayaannya saat
menantang alam. Ia keluar dari aturan yang telah ditetapkan oleh alam.
Kehidupan predator seperti Tirex dan Dinosaurus saja misalnya yang bisa kita
katakan berada pada puncak-puncak rantai makanan pada masanya tak bisa melawan
kehendak alam untuk bertahan.
Tak
berlebihan saya rasa ungkapan diatas untuk kita bisa saling mengingatkan. Bahwa
saat ini pemerintah sedang asik-asiknya melakukan reklamasi pantai. Entah apa
maksud dan tujuannya. Karena pembicaraan mengenai reklamasi pantai kunjung tak
ada habisnya. Tapi terlepas dari itu sebenarnya kita sedang menantang alam.
Kepentingan-kepentingan yang ada akan menjadi harapan derita.
Keuntungan-keuntungan yang dijanjikan akan menjadi kerugian yang paling besar
sepanjang masa.
Ada
banyak ketakutan yang muncul dari masyarakat, mengingat sosio-kultur kehidupan
kita sangat dekat dengan alam. Juga masih banyaknya dari masyarakat kita yang
masih memiliki kepercayaan-kepercayaan tentang keberlangsungan kehidupan
didunia lain selain manusia yang tidak boleh kita ganggu (yang disakralkan).
Penelitian melalui sains pun menunjukkan berapa banyak kerusakan yang
ditimbulkan oleh reklamasi pantai yang ujung-ujungnya tentu akan kembali kepada
manusia. Bukankah ini kerisauan yang harus pemerintah pikirkan?
Saat
ini sudah banyak korban akibat cuaca ekstrim yang terjadi beberapa hari
terakhir bahkan sampai kehilangan nyawa. Motor dan mobil tertimpa pohon
tumbang, jalan jadi tertutup hingga menimbulkan kemacetan. Jika sudah seperti
ini keuntungan apa yang kita dapatkan ketika roda perekonomian sudah terhambat?
Malah menyusahkan dan menyengsarakan banyak orang terutama rakyat kecil. Bagus
jika organ pemerintah yang menangani hal tersebut cepat tanggap datang
membersihkan jalan jalan yang tertimpah pohon tumbang. Tapi naas hampir semua
jalan yang tertimpah pohon yang membersihkan hanyalah warga setempat.
Sebagai
bahan refleksi, sebenarnya pembangunan apa yang diinginkan? Kemajuan seperti
apa yang diharapkan pemerintah? Apakah kita kekurangan pulau sehingga harus
membuat pulau buatan? Kondisi daratan dan lautan sudah begini adanya. Jangan
ditambahkan atau dikurangi karena akan memicu ketidakseimbangan terhadap alam
karena begitulah kepercayaan yang dipegang sebagian besar masyarakat kita.
Namun ada dari mereka yang memungkiri perasaan itu demi kepuasan belaka juga
keuntungan kelompok. Kondisi daratan yang kita huni masih memiliki banyak
masalah. Mulai dari penataan ruang-ruang, hingga perairan drenase yang masih
banyak mengundang keluh kesah masyarakat. Bukankah hal tersebut yang harus
diselesaikan lebih dulu, sesuatu yang urgen untuk keberlangsungan hidup kita.
Pembuatan daratan baru (reklamasi pantai) berarti menambah masalah baru, dengan
melihat kondisi realitas yang ada saat ini.
Juga
yang perlu menjadi perhatian adalah untuk siapa daratan baru itu? Apakah rakyat
biasa seperti kita bisa tinggal disana? Begitu banyak pertanyaan yang akan
muncul dan tentunya belum mendapatkan kejelasan dari pemerintah. Sedangkan yang
lebih dulu mendapatkan dampaknya adalah kita semua.
Jika
kita ingin membangun dan melihat negara ini menjadi maju, maka lakukanlah
dengan menggunakan cinta. Karena dengan mencintai negara ini, sulit bagi kita
untuk mengkhiantinya juga merusaknya.
Editor:
Andi Muh Ridha R
jago tawwa...
BalasHapus=))