Sulaiman Djaya (Dewan Kesenian Banten)
” ini, misalnya, banyak tulisan-tulisan yang melahirkan filsafat dan analisis baru atau menghasilkan filsafat baru, seperti yang dilakukan Jacques Derrida dan Michel Foucault, dan tak jarang pula yang sifatnya artifisial. Beberapa penulis dan filsuf bahkan “menuduh” filsafat Nietzsche tak harus ditanggapi dengan serius, sebutlah Bertrand Russell yang menganggap remeh tulisan-tulisan Nietzsche. Namun, seperti yang kita ketahui, filsafat Nietzsche memiliki pengaruh yang sangat luar biasa dalam disiplin filsafat itu sendiri, hingga dalam ranah sastra dan kebudayaan, bahkan hingga saat ini.
Salah-satu sumbangan terpenting Nietzsche adalah ketika ia menguak, atau katakanlah berhasil menyingkap, bahwa “klaim kebenaran” bersifat relasional atau tak akan ada dan tidak hadir karena dirinya sendiri. Klaim kebenaran acapkali merupakan kedok motif dari kekuasaan yang ingin mengambil manfaat darinya. Inilah yang kemudian menginspirasi Michel Foucault dengan genealogi dan arkeologi pengetahuan yang dikemukakan dan dikembangkannya. Misalnya Nietzsche menulis:
“Para filsuf hanyalah orang-orang yang menunjukkan sebagai para pencari kebenaran. Dalam kenyataan, kebenaran yang mereka nyatakan memiliki keterkaitan dengan keberadaan mereka, dan juga dengan konstitusi fisiologis mereka. Para filsuf bukanlah individu-individu yang objektif, mereka tidak terpisah dari permasalahan, dan pengetahuan mereka bersumber dari kepentingan diri sendiri….
Mereka menggunakan nalar setelah adanya fakta. Abstraksi berasal dari keinginan-keinginan hati mereka. Dari itu filsafat menjadi samaran ringkasan dari suatu pernyataan pribadi….
Gagasan fisiologis kita terkait dengan tata-bahasa –yang terpusat pada subjek yang tidak memungkinkan kita untuk memahami hubungan yang secara radikal berbeda dengan dunia…..Karena alasan inilah, status dari pernyataan filsafat bukanlah sebagai kebenaran atau kepastian, tetapi sebagai interpretasi (penafsiran) yang kita berikan pada dunia”.
Bertahun-tahun kemudian, salah-seorang filsuf yang terinspirasi olehnya dan menimba ilmu dari filsafatnya, yaitu Michel Foucault (yang analisis filsafatnya kemudian digunakan sebagai alat analitik dan basis argumentative oleh Edward W. Said untuk mengurai praktek wacana dan diskursus dalam keterkaitannya dengan ideologi dan kekuasaan yang dituangkan dalam Orientalism), menyatakan:
“Kebenaran berpusat pada bentuk diskursus ilmiah dan institusi yang memproduksinya. Ia adalah subjek bagi rangsangan konstan ekonomi dan politik. (Kebutuhan akan kebenaran sama banyaknya dengan produksi ekonomi atau kekuasaan politik); ia adalah objek difusi besar-besaran dan konsumsi besar-besaran (yang beredar melalui perangkat pendidikan dan informasi yang meluas secara relatif dalam lembaga sosial, tanpa ada batas yang tegas); ia diproduksi dan ditransmisikan di bawah apparatur sentral dan dominan, jika bukan malah eksclusif, dari segelintir aparatur besar politik dan ekonomi (universitas, militer, tulisan, media)”.
Singkat kata, Nietzsche menyingkap bagaimana kekuasaan lah yang memproduksi kebenaran, ketika ia mengumandangkan bahwa kehendak manusia yang paling besar bukanlah untuk survival, tapi untuk berkuasa (Will To Power), yang di tangan Foucault menjadi genealogi dan arkeologi pengetahuan, di mana pengetahuan dan klaim kebenaran tidak berdiri sendiri dan tidak hadir begitu saja tanpa relasi dengan sesuatu dan hal-hal yang di luar dirinya.
Istilah Nietzsche untuk menyebut problem relasi dan tafsir tentang “kebenaran” itu adalah “perspektivisme”, di mana segala pandangan tentang dunia menurutnya, adalah ciptaan atau produk serangkaian kepentingan-kepentingan. Dalam hal ini, sebagaimana yang kemudian dikembangkan filsafatnya Michel Foucault dan Jacques Derrida, genealogi (pengetahuan) mencakup pembongkaran nafsu-nafsu dan kebutuhan-kebutuhan manusiawi di mana “klaim kebenaran” diproduksi oleh institusi kekuasaan, media, universitas, atau etika. Lagi-lagi, ada motif “Will To Power” dalam klaim kebenaran yang diproduksi dan dinyatakan, atau disebarkan oleh mereka yang memiliki kepentingan dengannya.
Tak ragu lagi, inilah sumbangan Nietzsche yang juga sangat penting, yaitu pada studi analisis wacana dan diskursus dalam masyarakat mutakhir kita. Sebagai contoh bagaimana media menjadi alat kekuasaan dan korporasi, di mana wacana-wacana yang disebarkan media seringkali atas dasar kepentingan korporasi dan kekuasaan, seperti yang diungkap Noam Chomsky, sebab seringkali media-media memang kepunyaan para korporat dan korporasi.
Contoh terbaik untuk “kasus” ini adalah politik Amerika, yang haruslah diakui “menguasai” jaringan-jaringan korporasi-korporasi dan media-media raksasa, perusahaan-perusahaan multinasional yang tak segan-segan “mempraktikkan” kekuatan dan kekerasan demi kepentingan material mereka, semisal untuk mendapatkan bahan mentah dan minyak yang mereka butuhkan.
Bila saya mengutip secara bebas wawasan dan pembacaannya Heidegger dan Derrida, bahasa dan tulisan-tulisan Nietzsche adalah bentuk bahasa dan gaya tulisan yang puitis-meditatif, bahasa yang menginstrospeksi dirinya sendiri, bahasa yang bertualang dan mencari sejumlah kemungkinan-kemungkinan bagi pemuasan dan kritik-diri. Dan selanjutnya, bagi saya sendiri, ketika membaca tulisan-tulisan Nietzsche, saya seolah-olah tengah membaca sejumlah cerita dalam catatan harian seorang lelaki yang memang kesepian, yang kadang begitu sedih, dan kadang-kadang begitu gembira penuh humor, canda, dan bermain-main layaknya seorang penari yang asik menari-nari dalam kesendirian.
Dengan demikian dapatlah dikatakan tulisan-tulisan Nietzsche adalah tulisan-tulisan yang berpribadi dan acapkali juga memiliki banyak karakter dari seseorang yang terlampau mencintai pertanyaan dan koreksi-instrospektif: “But will our philosophy not thus become a tragedy? Will truth not become inimical to life, to the better man?”, Nietzsche: Human, All Too Human. “A question seems to lie heavily on our tongue and yet refuses to be uttered: whether one could consciously reside untruth?” (ibid).
Itulah salah-satu contoh kritiknya terhadap pemikiran yang terlampau mengorbankan keseharian, seolah-olah pemikiran dapat terbebas begitu saja dari kenyataan yang lebih akrab dengan kita, hingga kita tak perlu terlampau membela “kebenaran” dengan kematian seperti yang dilakukan Sokrates, sebab anggapan-anggapan kita tentang kebenaran lebih merupakan kekeliruan yang dipercaya untuk sementara sebelum muncul yang lain yang lebih selaras dengan keseharian kita sendiri, dan yang tentu saja lebih meyakinkan. Kebenaran adalah kekeliruan yang dipercaya karena ia untuk sementara berfungsi memelihara hidup manusia, karena sifat relasionalnya yang pas secara pragmatis, dan bukan tak mungkin ia pun kelak akan tak berguna untuk masa yang akan datang. Atas dasar itulah Nietzsche mengejek dengan nakal mereka yang terlampau dogmatis.
Bahkan dari Nietzsche-lah kita mendapatkan wawasan mencerahkan bahwa pemikiran tak mungkin dilepaskan dari persoalan-persolan fiksional, bahasa, dan penulisan itu sendiri. Seperti kita tahu, gagasan ini di kemudian hari dikembangkan lebih jauh dan lebih jelas oleh Derrida dan Rorty. Pengandaian-pengandaian dalam pemikiran dapat juga dipahami sebagai pergulatan kita dengan bahasa:
“Man has for long ages believed in the concepts and names of things as in aeternae veritates he has appropriated to himself….he really thought that in language he possessed knowledge of the world [Human, All Too Human: On First and Last Things]”.
Nietzsche mencurigai para penulis dan pemikir yang terobsesi klaim-klaim kebenaran sebagai sesuatu yang memiliki asal-usul historis dan muasal arkhaik yang asali dan tak tergugat, klaim kebenaran yang seakan-akan absolut, tunggal, atau pun universal: “The whole of teleology is constructed by speaking of the man of the last four millennia as of an eternal man towards whom all things in the world have had a natural relationship from the time he began. But everything has become: there are no eternal facts, just as there are no absolute truths. Consequently what is needed from now on is historical philosophizing, and with it the virtue of modesty [ibid].
Hasrat pencarian asal-usul yang Platonist tersebut memang telah disadari Nietzsche sebagai pakem pemikiran dan filsafat yang akan dikritik dan ditolaknya sebagai sejumlah kekeliruan yang membuat pemikiran terasa kurang rendah hati dan kurang jujur pada situasi dan kondisinya yang manusiawi. Di pengantar bukunya, Human, All Too Human itu, ia pun mengeluh: “All philosophers have the common failing of starting out from man as he is now and thinking they can reach their goal through an analysis of him [ibid]”.
Seperti kita tahu, di esei pertama yang ia beri judul On First and Last Things dalam bukunya yang berjudl Human, All Too Human itu, Nietzsche mengejek dengan riang dan nakal metafisika, atau apa yang di kemudian hari dijuluki Derrida sebagai logosentrisme, sejenis wawasan dan klaim yang terlampau mempercayai sesuatu yang ajeg dan yang asali, dengan modus membalikkan dan menertawakannya: “Almost all the problems of philosophy once again pose the same form of question as they did two thousand years ago: how can something originate in its opposite, for example rationality in irrationality, the sentient in the dead, logic in unlogic, disinterested contemplation in covetous desire, living for other in egoism, truth in error? Metaphysical philosophy has hitherto surmounted this difficulty by denying that the one originates in the other and assuming for the more highly valued thing miraculous source in the very kernel and being of ‘thing in itself’ [ibid].
Esei-esei Nietzsche memukau saya dan enak dibaca, terutama esei-esei yang ditulisnya untuk setiap pengantar dan pembukaan buku-bukunya, sebelum ia memasuki dan menenggelamkan diri ke dalam wawasan pemikiran yang enigmatik dan aforistik. Pemikiran yang seakan-akan sengaja mengarungi kegelapan dan kebisuan malam-malamnya sebagai seorang lelaki yang setia dengan kesendirian. Seringkali membuat saya sendiri besimpati dengan tuturan dan cerita-cerita latar-belakang yang dikisahkannya:
“From this morbid isolation, from the desert of these years of temptation and experiment, it is still a long road to that tremendous overflowing certainty and health which may not dispense even with wickedness, as a means and fish-hook of knowledge, to that mature freedom of spirit which is equally self-mastery and discipline of the heart and permits access to many and contradictory modes of thought – to that inner spaciousness and indulgence of superabundance which excludes the danger that spirit may even on its own road perhaps lose itself and become infatuated and remain seated intoxicated in some corner or other, to that superfluity of formative, curative, moulding and restorative force which is precisely the sign of great health, that superfluity which grants to the free spirit the dangerous privilege of living experimentally and of being allowed to offer itself to adventure….[Human, All Too Human: Preface].
Derrida menyebut gaya bahasa dan tulisan Nietzsche sebagai teks dan praktek tulisan yang merayakan kontradiksi dan perbedaan dalam dirinya sendiri. Sedangkan Richard Schacht memahami Human, All Too Human-nya sebagai “monument of crisis”, mungkin karena ditulis dalam masa-masa kesepian dan dekadensi kesehatannya, dan tentu saja sebagaimana Richard Schacht membacanya, krisis yang dipahami Nietzsche sendiri sebagai krisis kultural dan intelektual Eropa selama menulis buku-bukunya.
Editor: Fahrul Fahreza
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar