(Foto: Misbahuddin, S.Pd.I, M.Hum, Dok. Misbahuddin)


redaksiaklamasi.org - Menurut Ayatullah Murthada Muthahhari, perbuatan manusia dapat dibedakan antara perbuatan alami (biasa) dan perbuatan akhlaqi. Perbuatan alami adalah perbuatan yang tidak menjadikan pelakunya menjadi layak puji, misalnya; sesorang yang lapar akan makan, yang haus akan minum, yang lelah akan istirahat dan lain-lain. Jenis perbuatan alami ini juga diperbuat oleh binatang.[1] Sedangkan perbuatan akhlaqi adalah perbuatan yang layak untuk dipuji atau disanjung, perbuatan yang identik dengan usaha (ikhtiar). Dalam artian manusia mengakui akan nilai agung suatu perbuatan akhlaqi. Nilai yang imaksud tidaklah sama dengan harga yang dapat disandingkan atau disejajarkan dengan materi seperti uang atau barang lainnya, sebesar apapun materi tersebut. nilai yang dimaksud berada pada kedudukan yang lebih tinggi dalam diri manusia.

Perbuatan akhlaqi tersebut berbeda dan jauh lebih mulia dibandingkan dengan perbuatan alami. Perbuatan akhlaqi inilah yang biasa juga disebut perbuatan manusiawi, yang lebih bernilai dari sekedar perbuatan alami atau hewani. Di dalamnya terdapat kemerdekaan, salah satu nilai yang melampaui aspek hewani manusia dan nilai materil. Olehnya itu akan kita jumpai manusia yang lebih memilih jalan hidup sulit dengan alasan yang penting ia merdeka dan tidak diperbudak.[2]

Hadirnya perbuatan akhlaqi tersebut disebabkan karena manusia adalah maujud yang memiliki dua sisi, ia berada di alam materi dan metafisik, memiliki ruh dan jasad. Di satu sisi manusia sangatlah tinggi, di sisi lain ia mempunyai kesamaan dengan binatang dan maujud lainnya yang bergantung pada petunjuk ilham (naluri, fitrah). Olehnya itu manusia memliki potensi yang lebih besar untuk mencapai kesempurnaan dibandingkan hewan. Mereka yang lebih sempurna adalah yang lebih banyak bergantung kepada petunjuk daya pikir dan akal (yang dimaksud adalah akal dan hati).

Lewat potensi internal manusia yang telah Allah anugerahkan, menjadikan manusia harus memlih sendiri system pendidikan dan moralitas yang dianggapnya perlu. Para pembimbing (Nabi dan Rasul), didatangkan kepada manusia untuk menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada fitrah alamiahnya. Dalam istilah Mulla Shadra, Tuhan telah memberi manusia bukti-bukti kebenaran lewat dua jalur, yaitu, jalur internal berupa akal (akal yang dimaksud adalah gabungan antara rasio dan hati), dan eksternal yaitu kehadiran para Rasul dan Nabi.[3] Dalam hadis Nabi Muhammad saw, bersabda yang artinya “dan telah memberitakan kepadaku dari malik, sungguh ia telah menyampaikannya, bahwasanya rasullullah saw bersabda aku diutus untuk menyempurnakan kebaikan akhlak”.

Maksud dari hadis tersebut ialah pada mulanya manusia diciptakan dalam keadaan tidak sempurna, kemudian didatangkanlah sikap akhlaqi untuk menghilangkan kelemahan dan kekurangan yang terdapat pada fitrah dasar manusia tersebut, sehingga manusia dapat mencapai kesempurnaan dengan kekuatan berpikir dan kehendak sendirinya.[4] Menurut Murthada Muthahhari, kemanusiaan dan akhlak tidak akan memiliki arti apabila tidak dibarengi dengan pengenalan kepada Tuhan (ma’rifat Allah). Artinya, tauhid dalam pandangannya adalah akar dari prinsip akhlak orang beriman yang tidak akan dapat dicabut oleh kekuatan manapun. Bukan karena alasan bertaklid, didikte, terhipnotis, ataupun alasan lainnya, karena semuanya sangat mudah terbantahkan sekaligus mempunyai akibat yang sangat berbahaya bagi kelangsungan akhlak manusia.

Bahaya yang mengancam kelanggengan akhlak manusia tersebut disebabkan oleh masalah ego di dalam akhlak manusia yang tidak dikelola dengan benar, ego yang meyakini adanya pembatasan dan penyempitan. Sedang manusia yang egois adalah manusia yang mengakui batasan tetapi selalu menghendaki apa yang ada di luar batasan dikorbankan untuk yang apa ada dalam batasan. Pandangan Nietsche dan kaum komunis misalnya, pokok akhlak mereka tidak lebih dari satu, yaitu memelihara kehidupan individualism yang berdasar pada ego. Sementara system akhlak dan pendidikan di dunia mempunyai istilah keluhuran akhlak, keadilan, kejujuran, amanah, dan lainnya yan bertentangan dengan egoisme individual, yaitu sejenis perlawanan terhadap ego. Murthada Mutahhari sendiri mengklasifikasikan ego ke dalam tiga jenis; yaitu, ego individualism, ego kekeluargaan atau kelompok, dan ego kebangsaan.

Untuk melawan ego tersebut terdapat dua pilihan yang biasa ditempuh oleh manusia; pertama, melemahkan ego seperti yang dilakukan oleh penganut Hindu dan Budha ataupun dari beberapa orang dari kelompok Islam sendiri. Kedua, memperluas batasan ego hingga mencakup seluruh maujud alam, tanpa batas. Bagi Muthahhari, Islam hanya diperbolehkan menempuh cara yang kedua, sehingga disatu sisi Islam mewajibkan ummatnya untuk melawan ego, sekaligus mewajibkan agar mempertahankan hak dan kehormatan dirinya. Dengan demikian, wilayah akhlaqi tidaklah terbatas pada individu atau daerah tertentu, tetapi meliputi seluruhnya, termasuk di dalamnya Muslim dan Non-Muslim. Hal ini dapat kita perhatikan dalam ajarannya yang membolehkan membalas orang yang menzalimi kita, tetapi hanyalah sebatas kejahatan yang mereka lakukan. Islam melarang melakukan pembalasan yang melampaui batas.

Olehnya itu Murthada Muthahhari menolak keras pandangan yang menyatakan bahwa, akhlak dapat digapai dan diwujudkan begitupun ego dapat dibantah tanpa bersandar pada prinsip tauhid (iman dan ma’rifat Allah).[5] Menurutnya teori yang paling pas bagi akhlak adalah teori penyembahan. Pilihan teori penyembahan Murthada Muthahhari yang tidak memisahkan antara akhlak dan agama adalah hasil dari perolehan studi kritis yang ia lakukan –antara lain– atas teori-teori akhlak yang memisahkan maupun membuka peluang pemisahan pada keduanya.

Argumen Murthada Muthahhari menunjukkan bahwa perwujudan semua kejadian di alam ini merupakan perwujudan dari keagungan, keindahan dan kemuliaan Allah. Segala sesuatu berasal dari-Nya, begitupun akan kembali kepada-Nya (Allah adalah wujud, sedangkan makhluk adalah maujud). Menurutnya setiap perbuatan akhlaqi adalah sejenis tindakan ibadah atau penyembahan yang berbeda di alam bawah sadar, dimana setiap manusia mengenal Tuhannya melalui fitrahnya. Secara fitrah manusia menganggap mulia perbuatan akhlaqi, sekalipun bertentangan dengan logika alami dan logika akal praktisnya yang mengajarkan manusia agar memelihara kepentingan individualnya.

Murthada Muthahhari juga menyatakan, bahwa manakala perasaan alam bawah sadar yang berubah menjadi alam sadar, maka semua perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagai perbuatan akhlaqi. Ketika program hidup manusia berjalan atas dasar taklif dan keridhaan Allah, maka manusia telah menjadi manusia yang berkhlak lagi suci. Orang beriman adalah orang yang tidak membeda-bedakan antara keluarga, kelompok, agama dan seluruh makhluk dalam melaksanakan keluhuran akhlak. Segala sesuatu baginya adalah milik Allah, di mana saja gagasan keagamaan selalu memberikan nilai kesucian padanya. Segala perbuatannya tercermin dalam ayat Q.S. al-An’am (6): 162). Manusia yang memanusiakan dirinya dengan perbuatan  akhlaqi dengan landasan tauhid adalah manusia yang teladan, unggul lagi luhur, manusia yang sempurna dalam keimanannya. Pribadi inilah yang tercermin dalam pribadi luhur Nabi Muhammad saw.


Kesimpulan

Hadirnya perbuatan akhlaqi tersebut disebabkan karena manusia adalah maujud yang memiliki dua sisi, ia berada di alam materi dan metafisik, memiliki ruh dan jasad. Olehnya itu menurut teori penyembahan Murthada Muthahhari akhlak tiak akan memiliki arti apabila tidak dibarengi dengan pengenalan tuhan (ma’rifat Allah). Artinya, tauhid dalam pandangannya adalah akar dari prinsip akhlak orang yang beriman yang tidak akan dapat dicabut oleh kekuatan manapun. Manakala perasaan alam bawah sadar yang berubah menjadi alam sadar, maka semua perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagai perbuatan akhlaqi. Itulah yang tercermin dalam pribadi manusia-manusia suci.

Saran dan Implikasi

Konsep manusia sempurna memang menjadi pembahasan yang tiada habisnya dan tetap selalu menarik untuk dibahas dalam ranah akademis. Setiap lahir konsep baru tentang hakikat manusia, setiap itu pula muncul kritik tajam terhadapnya. Perdebatan itu terus terjadi sampai saat ini. Konsep tentang manusia seutuhnya terus dikaji, karena konsep ini memunyai pengaruh besar terhadap cara hidup manusia. Konsep inilah yang mampu memberikan gambaran kepada manusia bahwa manusia sempurna harus sebagaimana yang dituangkan dalam konsep manusia sempurna. Dalam Islam, mengetahui konsep manusia sempurna merupakan hal yang sangat penting, karena konsep itulah yang akan menjadi model dan contoh, yang kalau kita berusaha meneladaninya, kita pun dapat mencapai kesempurnaan manusiawi sesuai ajaran Islam.

Apa yang dirumuskan Murtadha dalam usaha memaknai kembali manusia sempurna merupakan tawaran solusi untuk menjawab tantangan dan tuntutan pembangunan masyarakat modern yang manusia-manusianya memiliki pribadi akhlaqi. Secara konseptual, teori yang dikembangkan Murtadha dapat memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengoptimalkan intelektualnya demi kebutuhan dan kemajuan bangsa tanpa harus memarjinalkan potensi lainnya, sehingga kemajuan yang dihasilkan tidak menimbulkan keburukan terhadap kehidupan manusia untuk hari-hari berikutnya.

Tentang Penulis

Misbahuddin, S.Pd.I, M.Hum. Lahir pada tanggal, 05 Oktober 1989 di Selayar, Sulawesi Selatan. Terlahir dari pasangan orang tua Arman Jafar dan Andi Ernawati sebagai Putra Sulung dari tiga bersaudara. Misbah barusaja menyelesaikan Studi Magister di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar pada Program Studi Dirasah Islamiyah, Konsentrasi Sejarah dan Peradaban Islam. Dalam organisasi kemahasiswaan, pernah aktif dalam Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah Makassar (IMM). Sebelum menyelesaikan Studi S2, penulis sempat menyelesaikan sebuah Jurnal Internasional yang berjudul Eksisensi Sistem Kepercayaan Makka Keke di Selayar. Saat ini telah menjadi Dosen Luarbiasa (Non PNS) di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar. Saat ini ia tetap aktif menulis dan meneliti, khususnya dalam bidang Sejarah dan Budaya. Baru-baru ini telah menyelesaikan sebuah Buku Berjudul “Persyarikatan Muhammadiyah di Selayar (1928 – 1950)” yang segera akan diterbitkan.


[1]Murthada Muthahhari, Falsafe Akhlaq, terj. Faruq bin Dhiya’, Filsafat Akhlak (Cet. I; Bandung: Pusataka Hidayah, 1995), h. 30.
[2]Murthada Muthahhari, Perfec Man, terj. M. Hashem,  Manusia Sempurna; Pandangan Islam Tentang Hakekat Manusia (Cet. II; Jakarta: Lentera, 1994), h. 37.
[3]Agus Effendi, Mengenal Mulla Shadra, dalam Sukardi, ed.,Kuliah-Kuliah Tasawwuf (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), h. 199.
[4]Murthada Muthahhari, Falsafe Akhlaq, terj. Faruq bin Dhiya’, Filsafat Akhlak (Cet. I; Bandung: Pusataka Hidayah, 1995), h. 54.
[5]Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balagah, terj. Muhammad Bagir, Mutiara Nahj al-Balagah: Wacana dan Surat-Surat Imam Ali (Cet. III; Bandung: Mizan, 2003), h. 22.


Editor: Andi Haerur Rijal

0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top