Muhammad Akbar Yanlua alias Bung Abe Dok. FB

redaksikalamasi.orgOleh Muhammad Akbar Yanlua alias Bung Abe (KETUA Komunitas Penggiat SOLITER, Penggiat CARABACA serta Dewan Pembina Serikat Mahasiswa Penggiat Konstitusi dan Hukum Sulawesi Selatan)

Mungkin ada benarnya apa yang diucapkan seorang sahabat, bahwa Valentine Day adalah hari yang selalu di nanti setiap tahunnya oleh sepasang kekasih yang sedang merajut cinta dengan benang terbaik.

Valentine Day di awal kemunculannya di Eropa sebagai hari kasi sayang sekitar 4 dekade lalu, valentine day kini telah menjadi semacam keniscayaan yang suda pasti dirayakan di setiap negara berkembang maupun negara maju. Jika mengintip sejarah dalam tradisi Romawi. konon katanya bahwa perayaan Valentine day, diperuntukan tuk mengingat kematian seorang pendeta, pelayan tuhan St. Valentine 14 Februari 270 M, yang terbunuh karena berani menentang, pelarangan pernikahan dan pertunangan serta kebijakan politik lainnya dari "Raja Claudius II" (268 - 270 M) penguasa Romawi pada saat itu, dan untuk menggenang pengorbanan St. Valentine, maka para pengikutnya memperingati kematian St. Valentine sebagai upacara keagamaan, yang dianggap sebagai simbol ketabahan, kepasrahan dan keberanian dalam menghadapi kesewenang-wenangan dan tirani.

Hanya saja sejak abad 16 M, upacara keagamaan tersebut mulai berangsur - angsur hilang dan berubah menjadi hari perayaan bukan lagi sebuah upacara keagamaan, perubahan dalam memaknai Hari Valentine day bisa saja terjadi karena adanya sebuah persoalam besar dalam dunia tanda, sebagaimana ungkapan seorang sahabat dari Prancis "Rolland Barthes", masalah dalam petanda, adalah petanda (signifie) yang “tersubstansi masuk ke sebuah substansi lain yang bukan substansi petanda tersebut.” Lihat saja di era sekarang, bagaimana Hari Valentine yang tadinya sebagai petanda atas hari kematiannya seorang pejuang cinta dan pejuang kemanusiaan, yang rela mengorbankan dirinya kepada tirani dan kesewenang-wenangan demi kepentingan bersama. 

St. Valentine, telah bergeser dari sendinya, dan lebih di maknai sebagai petanda hari pembuktian cinta dan kasih sayang, terhadap sang kekasih (pacar) atau orang tertentu. dan demi membuktikan cinta beragam motif dilakukan dengan beberapa cara melalui dari pemberian, Coklat, Bunga, dan kartu pengungkapan cinta pernak pernik lainnya yang di anggap mampu merepresentasi perasaan dan cintanya. seraya merayakannya di diskotek-diskotek mal, dan rumah bernyanyi. 

bahkan ada yang memaknai Valentine day sebagai hari pelampiasan hasrat seksual sebagai tanda cinta Sementara bagi seorang Nitszche, filsuf yang hidupnya di penuhi dengan luka, menganggap bahwa mencintai dengan cari seperti demikian adalah sebuah perilaku tak bermoral, sebagai mana pendakuannya , "bahwa mencinta seseorang adalah tindak laku barbar sebab kita mencintai seseorang dengan mengorbankan cinta-cinta lain" pernahkah bertanya, apa yang sedang kita rayakan ?, atau kita tak sadar bahwa sedang merayakan sesuatu yang kita sendiri tak tahu mengapa kita rayakan ?. Tidakkah kita merasakan ada duka nasional atas penemuan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) yang memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia akan bertambah 1,5 juta jiwa. 

Tidakkah ini semacam ‘Tragedi Atiik” yang di maksud Nietzsche dalam The Birth of Tragedi-nya. Dengan merayakan cinta di atas tarian kemelaratan yang sedang memberi jarak pada kelas sosial kita. Jarak sosial, jarak yang muncul melalu trema-trema kaya dan miskin, jarak yang hadir dengan tidak manusiawi, yang secara metafora di jelaskan oleh Vikas Sawarup, “bagaimana orang miskin beranak-pinak seperti nyamuk dan hidup seperti anjing, sementara anjing orang kaya tidur di atas kasur dunlopollo di rumah mewah bebas nyamuk.”
 
Bukankah seseorang yang merayakan hari kasih sayang suda sampai pada situasi yang sama dalam komunikasi cinta, termasuk juga komunikasi sosial, dengan mencoba merobohkan tembok-tembok besar yang hanya meninggalkan kesenjangan sosial. Dengan tidak lagi merasa ada sendiri, serta tak memikirkan individu pribadi. Melainkan hanya dapat merasa ada dengan menyikapi keberadaan orang lain dengan menciptakan situasi "State Of Affrais" yang dalam kacamata Jurgen Habermas di jelaskan secara ilustrasi "State Of Affrais" adalah situasi yang merasakan sesuatu menyangkut orang lain di dalam dirinya. Dalam tradisi agama-agama yang ada, "State Of Affrais" atau kepekaan dalam merasakan penderitaan orang lain juga diajarkan, seperti dalam Islam dikenal “Arahman dan Arahim” sebagai sebuah sifat Maha Kasih dan Sayang Tuhan, sifat Kasih dan Sayang ini harus kemudian di bumikan melalu praktik-praktik kemanusian. Sebagaimana dalam sebuah riwayat Muhammad Saw bersabda, : “sayangilah yang ada di bumi maka engkau akan disayangi mereka yang ada di langit”.

Selaras dengan hal itu kita dapat melihat ke dalam tradisi Kristen dengan cinta kasihnya, bagaimana Yesus dan Salib adalah epos tentang sebuah pengorbanan atas respons terhadap kekerasan termasuk juga kekerasan kemiskinan. Lalu memberi sesamanya adalah bentuk Cinta Kasih. Maka jika Valentine day di identikkan sebagai hari kasi sayang, sudah barang tentu velentine day adalah hari besar seperti lebaran dan natal, atau seperti hari-hari besar pada agama lainnya, yang harus di rayakan oleh Agama Cinta. Dengan melihat pada Cinta seperti bayi kecil yang lahir dari rahim kelas sosial, yang terbiasa hidup tanpa makan. Pada diri dan hati orang-orang kecil, orang-orang yang mempertaruhkan Cinta dan Kehormatannya sebagai manusia di antara kegamangan dan kelaparan. Agar kita hidup tidak dengan kesalahpahaman cinta yang terus berulang.

Editor: Andi Haerur Rijal


0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top