(Foto: Syamsuddin Radjab. Dok. Path) |
redaksiaklamasi.org - Oleh: Syamsuddin Radjab (Direktur Jenggala Center, KAHMI dan Dosen Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar)
Pada hari Senin (6/2), di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, mantan Ketum HMI Cabang Surabaya dan mantan PB HMI, Abraham Lagaligo secara lugas dan tegas menyatakan kesalahan, menyesali perbuatan dan meminta maaf atas kesalahan penulisannya yang berbunyi, “…CGMI underbow PKI yang sekarang berubah menjadi GMNI”.
Pernyataan itu dikemas dalam konferensi pers bersama antara Abraham, Ketua Presidium GMNI, Chrisman Damanik dan disaksikan Koordinator Presidium Nasional KAHMI, Moh. Mahfud, MD dan Ketua Umum DPP PA GMNI, Ahmad Basarah.
Penggalan tulisan artikel (27/1) diatas sekejap menjadi viral di media sosial, menghentak jagat aktivis, gonjang-ganjing dan diskusi-diskusi kecil menyeruak khususnya dikalangan kader-kader GMNI dan HMI.
(Dok. Path) |
Di sisi lain, Abraham dalam tulisan artikelnya segera menyadari, ada kesalahan pemahaman sejarah terkait GMNI yang dikatakannya sebagai kelanjutan dari CGMI yang merupakan sayap mahasiswa PKI.
Kesalahan pemahaman sejarah itu, segera ia ralat dan merevisi tulisannya baik di chat terbatas maupun ke media-media online lainnya sebagai bentuk tanggungjawab.
Cara Menyelesaikan
Tudingan Abraham ke GMNI merupakan tuduhan serius, kejam dan fitnah. Tetapi masalah besar itu tidak membuat GMNI dan alumninya bertindak gegabah, mengancam apalagi main hakim sendiri atau anarkis.
Baik Abraham maupun GMNI mengambil jalan damai, terhormat dan bermartabat, dan yang terpenting, pelibatan alumni baik PA GMNI dan KAHMI sangat berperan dalam proses tercapainya kesepakatan kedua belah pihak.
Oleh GMNI, mendengar organisasinya dituduh, langkah yang diambil adalah:
Pertama, Check and Recheck. Mencari tahu kebenaran tulisan dimaksud dan tentang penulisnya.
Tulisan bisa diyakini kebenarannya bahwa benar ada dan dimuat beberapa media online. Presidium GMNI mengetahui Abraham merupakan kader HMI Cabang Surabaya sehingga menelpon GMNI disana agar bisa membangun komunikasi dengana penulis.
Dari pembicaraan melalui telepon dan koordinasi dengan alumni masing-masing, dicapai kesepakatan untuk menyelesaikan tuduhan itu secara baik-baik dan kekeluargaan. Apalagi sesama organisasi Cipayung (HMI, GMNI, PMII, GMKI dan PMKRI), organisasi kemahasiswaan paling berpengaruh di Indonesia.
Kedua, Membangun Dialog. Apa yang dilakukan oleh Presidium GMNI dan Abraham adalah saling mengupayakan adanya komunikasi untuk menyelesaikan masalah, bukan saling menegasikan. Penulis menyadari kesalahannya dan memohon maaf, sementara GMNI membuka pintu maaf dan memberi wejangan-wejangan. Pada hari kamis (2/2), dibuat rencana kesepakatan damai untuk mengakhiri gonjang-ganjing kedua organisasi mahasiswa ternama itu.
Ketiga, Berpikir Positif. Dalam situasi tertuduh, GMNI tidak langsung memerintahkan kadernya mencari dan menghajar penulis yang telah menuduhnya sebagai bagian dari PKI. Cara yang dipilih justeru membangun cara pikir bahwa kemungkinan si penulis hanya tidak tahu sejarah kelahiran dan kontribusi GMNI terhadap bangsa dan Negara Indonesia.
Dengan cara berpikir seperti itu, GMNI ingin memberikan pemahaman yang benar kepada penulis bahwa apa yang dituliskannya tidak sesuai dengan sejarah kelahiran dan kiprah GMNI. Demikian pula dengan Abraham, kesalahan penulisan dalam artikelnya kemudian berpikir untuk segera memperbaiki dan meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan dan bukan ngeyel atau bersikap acuh.
Keempat, Mencari Solusi. Baik GMNI maupun Abraham dengan sikap cepat dan responsif mencari cara penyelesaian bersama dari viral medsos yang berkembang cepat yang dapat ditunggangi oleh kelompok tertentu untuk memperkeruh suasana dan memancing konflik antar organisasi. Bagi provokator dan pemain tikungan politik sudah mewanti-wanti momen ini sehingga tidak bisa dimanfaatkan karena keduanya menjadi solusi bukan menyebar polusi.
Kelima, Pelibatan Alumni. Komunikasi antara Ketum DPP PA GMNI dan Koordinator Presidium Nasional KAHMI walaupun melalui telepon dan chatting WhatsAPP keduanya segera meredakan suasana dan mendorong percepatan damai. Dan tepat, senin (6/2) di Kawasan Cikini, permohonan maaf dan penanda tanganan kesepakatan damai dilakukan didepan media massa, aktivis dan para alumni GMNI dan HMI.
Pelajaran kepada Politisi
Saat ini sedang dihelat pilkada serentak secara nasional termasuk pilkada DKI Jakarta. Ditengah tensi politik semakin tinggi, hawa panas politik Jakarta makin panas menjelang hari pencoblosan pada 15 Februari 2017 nanti.
Terlebih, pilkada DKI Jakarta sekarang ini diiringi dengan persidangan terhadap salah satu kontestan calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok atas dugaan penistaan agama.
Selama berbulan-bulan, Jakarta dipenuhi aksi-aksi massa jalanan baik yang kontra maupun pro terhadap Gubernur petahana. Berawal dari pidato Ahok di hadapan warga kepulauan seribu (27/9/2016), kemudian video pidato tersebut di unggah ke Youtube pada 6 Oktober 2016.
Pidato tersebut memantik aksi protes dari kalangan umat Islam khususnya Front Pembela Islam (FPI) dengan adanya kata-kata “...jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu enggak pilih saya. Dibohongi pakai surat Al-Maidah ayat 51, macam-macam itu. Itu hak bapak ibu...”.
Jauh sebelumnya, Ahok memang kerap kali didemo oleh pelbagai kelompok masyarakat baik karena kebijakannya maupun karena penggusuran pemukiman warga yang dianggap menyalahi aturan dan atau penyebab banjir.
Dikalangan pegiat lingkungan seperti Walhi Jakarta dan masyarakat dampingannya, berkali-kali menggelar unjuk rasa terkait penggusuran paksa dan pencaplokan tanah warga di Pulau Pari, Kepulauan Seribu oleh PT. Bumi Pari Asri maupun proyek reklamasi pantai di teluk Jakarta.
Persoalan hukum Ahok diatas berbuntut panjang dan beranak-pinak memunculkan masalah-masalah hukum baru, berupa saling lapor ke kepolisian mengharap keadilan.
Pelapor diadukan karena diduga memberi keterangan palsu dibawah sumpah, pelapor balik melaporkan karena merasa nama baiknya dicemarkan, begitu seterusnya. Dan bahkan penegak hukum juga dilaporkan karena dinilai tidak independen dalam penanganan kasus, menjadi “provokator” dalam aksi unjuk rasa bela Islam, diduga melakukan kriminalisasi terhadap ulama dan lain-lain.
Andai saja, pihak pelapor dan terlapor maupun aparat kepolisian memilih jalan damai seperti yang dicontohkan GMNI dan HMI dalam penyelesaian masalah, maka semuanya dapat teratasi, aman dan terkendali.
Pemenjaraan tidak selalu menjadi cara terbaik menuju jalan keadilan, namun tren dunia hukum sekarang adalah restorative justice, pelapor dan terlapor berkesempatan menyelesaikan masalahnya dengan jalan damai, kekeluargaan dan berbudaya ala Trisakti ajaran Bung Karno yang telah dicontohkan oleh GMNI dan alumninya. Wallahu A'lam bissawab
Jakarta, 8 Februari 2017
Editor: Andi Haerur Rijal
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar