(Foto: Jalaluddin el- Rumi. Dok. S.D)) |
redaksiaklamasi.org - “Apa pun yang
kau dengar dan katakan (tentang Cinta), Itu semua hanyalah kulit belaka. Sebab
inti dari Cinta adalah sebuah rahasia yang tak terungkapkan” (Jalaluddin
Rumi)
Kita dilahirkan sebagai pribadi-pribadi yang berlainan satu dengan lainnya di dunia ini. Kita menjadi aku yang benar-benar jika kita mempunyai hubungan yang erat dengan orang-orang lain. Melewati Thou seseorang menjadi I. Karenanya, menurut Martin Buber, Aku itu bersifat sosial dan interpersonal, dan seseorang yang real adalah orang yang hidup antara orang dan orang.
Kita dilahirkan sebagai pribadi-pribadi yang berlainan satu dengan lainnya di dunia ini. Kita menjadi aku yang benar-benar jika kita mempunyai hubungan yang erat dengan orang-orang lain. Melewati Thou seseorang menjadi I. Karenanya, menurut Martin Buber, Aku itu bersifat sosial dan interpersonal, dan seseorang yang real adalah orang yang hidup antara orang dan orang.
(Foto: MARTIN BUBER. Dok. Int) |
Menurut Martin Buber, hubungan I-Thou mempunyai ciri-ciri timbal balik,
langsung dan kesungguhan (intensity). Dalam hubungan yang semacam itulah suatu
dialog atau pengetahuan dapat terlaksana. Dialog tersebut mungkin dengan
perkataan atau secara diam-diam. Bahkan dialog tersebut terjadi dengan sekadar
pandangan yang spontan dan tanpa gaya, akan tetapi mengandung pemahaman dan
perhatian yang timbal balik.
Lebih lanjut Martin Buber mengkritik, atau tepatnya melakukan protes terhadap “pembendaan” serta kecenderungan depersonalisasi dalam kehidupan modern seiring maraknya fetishisme (pembendaan) atau komodifikasi dalam segala hal, karena kedua hal tersebut akan berakibat mengingkari aku dan menghalangi ekspresinya.
Begitulah, menurut filsafatnya Martin Buber, orang hanya dapat hidup dalam hubungan yang timbal balik jika mereka dapat berkata Thou kepada yang lain dan yang baik itu dalam pandangan Buber adalah persatuan jiwa dengan kehidupan, sedang yang jahat adalah pemisahan jiwa dari kehidupan.
Apa yang didadarkan filsafatnya Martin Buber itu sangat koheren dan berada di garis wawasan dan spiritual yang sama dengan puisinya Jalaluddin Rumi, filsuf sufi yang hidup sebelum Buber, lewat puisinya yang berjudul Kau dan Aku:
Nikmati waktu selagi kita duduk di punjung,
Lebih lanjut Martin Buber mengkritik, atau tepatnya melakukan protes terhadap “pembendaan” serta kecenderungan depersonalisasi dalam kehidupan modern seiring maraknya fetishisme (pembendaan) atau komodifikasi dalam segala hal, karena kedua hal tersebut akan berakibat mengingkari aku dan menghalangi ekspresinya.
Begitulah, menurut filsafatnya Martin Buber, orang hanya dapat hidup dalam hubungan yang timbal balik jika mereka dapat berkata Thou kepada yang lain dan yang baik itu dalam pandangan Buber adalah persatuan jiwa dengan kehidupan, sedang yang jahat adalah pemisahan jiwa dari kehidupan.
Apa yang didadarkan filsafatnya Martin Buber itu sangat koheren dan berada di garis wawasan dan spiritual yang sama dengan puisinya Jalaluddin Rumi, filsuf sufi yang hidup sebelum Buber, lewat puisinya yang berjudul Kau dan Aku:
Nikmati waktu selagi kita duduk di punjung,
Kau dan Aku;
Dalam dua bentuk dan
dua wajah dengan satu jiwa,
Kau dan Aku.
Warna-warni taman dan
nyanyian burung memberi obat keabadian
Seketika kita menuju ke kebun buah-buahan, Kau dan Aku.
Bintang-bintang Surga keluar memandang kita
Kita akan menunjukkan Bulan pada mereka, Kau dan Aku.
Seketika kita menuju ke kebun buah-buahan, Kau dan Aku.
Bintang-bintang Surga keluar memandang kita
Kita akan menunjukkan Bulan pada mereka, Kau dan Aku.
Kau dan Aku,
dengan tiada ‘Kau’
atau ‘Aku’,
akan menjadi satu melalui rasa kita;
Bahagia, aman dari omong-kosong, Kau dan Aku.
Burung nuri yang ceria dari surga akan iri pada kita
Ketika kita akan tertawa sedemikian rupa; Kau dan Aku.
Ini aneh, bahwa Kau dan Aku, di sudut sini …
Keduanya dalam satu nafas di Iraq, dan di Khurasan
akan menjadi satu melalui rasa kita;
Bahagia, aman dari omong-kosong, Kau dan Aku.
Burung nuri yang ceria dari surga akan iri pada kita
Ketika kita akan tertawa sedemikian rupa; Kau dan Aku.
Ini aneh, bahwa Kau dan Aku, di sudut sini …
Keduanya dalam satu nafas di Iraq, dan di Khurasan
Kau dan Aku.
Persis seperti yang diidealkan Martin Buber, puisi Kau dan Aku-nya Jalaluddin Rumi tersebut memadahkan keintiman dalam sebuah hubungan yang karib dan saling memahami satu sama lain. Sebuah puisi yang mengandung filosofi dan hikmah yang demikian dalam dan karib dan dimadahkan dengan suara dan bahasa yang jernih, yang pada saat bersamaan merupakan simbolisme yang sublim sebuah kearifan pedagogis yang disampaikan dengan modus dialog dan medium puitis, sehingga yang membacanya akan merasa terlibat sebagai kawan dialog itu sendiri, bukan semata objek yang digurui.
Persis seperti yang diidealkan Martin Buber, puisi Kau dan Aku-nya Jalaluddin Rumi tersebut memadahkan keintiman dalam sebuah hubungan yang karib dan saling memahami satu sama lain. Sebuah puisi yang mengandung filosofi dan hikmah yang demikian dalam dan karib dan dimadahkan dengan suara dan bahasa yang jernih, yang pada saat bersamaan merupakan simbolisme yang sublim sebuah kearifan pedagogis yang disampaikan dengan modus dialog dan medium puitis, sehingga yang membacanya akan merasa terlibat sebagai kawan dialog itu sendiri, bukan semata objek yang digurui.
Sementara itu, bila kita kembali kepada filsafatnya Martin Buber, manusia
mempunyai dua relasi atau dua hubungan yang fundamental yang berbeda antara
satu dan lainnya. Di satu pihak relasi dengan benda-benda, dan di lain pihak
relasi dengan sesama manusia dan Allah. Dalam hal ini, puisinya Jalaluddin Rumi
yang berjudul Kau dan Aku itu, bila dibaca dalam kerangka filsafatnya Martin
Buber, berada dalam kategori relasi atau hubungan antara manusia dengan manusia
dan hubungan atau relasi antara manusia dengan Tuhan.
Dan seperti terefleksi dengan jernih dalam puisinya Jalaluddin Rumi itu, Martin Buber lebih lanjut mengatakan bahwa karena dua jenis relasi inilah “Aku” sendiri bersifat dwi-ganda, di mana “Aku” yang berhubungan dengan “Itu” (atau dengan benda) berlainan dengan “Aku” yang behubungan dengan “Engkau” .
Jenis dan bentuk hubungan antara Aku dan Itu, demikian dalam filsafat Martin Buber merupakan dunia dimana saya menggunakan benda-benda, menyusun benda-benda, memperalat benda-benda. Dunia ini ditandai kesewenang-wenangan. Semuanya dalam dunia ini diatur menurut kategori-kategori seperti kepemilikan dan penguasaan, tak ada dialog.
Sedangkan bentuk dan jenis hubungan Aku – Engkau adalah dimana di dunia ini Aku tidak menggunakan Engkau sebagaimana terjadi dalam hubungan antara Aku dan Itu, melainkan Aku menjumpai Engkau, Aku yang menjumpai Engkau sebagaimana dilukiskan dengan indah oleh puisinya Jalaluddin Rumi yang berjudul Kau dan Aku itu. Di sini, Aku karena Engkau, Engkau yang hadir dan tampil bagi Aku sebagai suatu rahmat.
Dan seperti terefleksi dengan jernih dalam puisinya Jalaluddin Rumi itu, Martin Buber lebih lanjut mengatakan bahwa karena dua jenis relasi inilah “Aku” sendiri bersifat dwi-ganda, di mana “Aku” yang berhubungan dengan “Itu” (atau dengan benda) berlainan dengan “Aku” yang behubungan dengan “Engkau” .
Jenis dan bentuk hubungan antara Aku dan Itu, demikian dalam filsafat Martin Buber merupakan dunia dimana saya menggunakan benda-benda, menyusun benda-benda, memperalat benda-benda. Dunia ini ditandai kesewenang-wenangan. Semuanya dalam dunia ini diatur menurut kategori-kategori seperti kepemilikan dan penguasaan, tak ada dialog.
Sedangkan bentuk dan jenis hubungan Aku – Engkau adalah dimana di dunia ini Aku tidak menggunakan Engkau sebagaimana terjadi dalam hubungan antara Aku dan Itu, melainkan Aku menjumpai Engkau, Aku yang menjumpai Engkau sebagaimana dilukiskan dengan indah oleh puisinya Jalaluddin Rumi yang berjudul Kau dan Aku itu. Di sini, Aku karena Engkau, Engkau yang hadir dan tampil bagi Aku sebagai suatu rahmat.
Penulis: Sulaiman Djaya
Editor: Andi Haerur Rijal
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar