(Foto: Wawan. Dok. redaksiaklamasi.org) |
redaksiaklamsi.org - Oleh: Wawan (Mahasiswa Jurusan Hukum Pidana
dan Ketatanegaraan UIN Alauddin Makassar, Kader HMI Komisariat Syariah dan
Hukum UIN Alauddin Makassar Cabang Gowa Raya serta Penggiat Komunitas Rumah Baca PARADOX)
Seusai
makan malam, Mappi tertatih-tatih
melangkahkan kakinya ke depan pintu, dan terhenti tepat di serambi rumah kayu
yang hampir lapuk termakan usia. Sayur
dari daun kelor dan ikan goreng tumisan ibu, selain mungkin memenuhi ususya,
aroma dan sisa daging yang hinggap, menempel di sela-sela gigimasih menyisakan
rasa di keronkongan, ayah pun tak kunjung datang.
Menatap langit membentang
gelap, kali ini tak adarembulan, apatah lagibintang-bintang seperti yang
sudah-sudah, yang terlihat hanya kekaburan, mendung itu telah datang.Belum lagi
sempat berkedip, gemuruh hujan bertabur, mengguyur, menjatuhi atap rumah kecil
hasil keringat ayah dan orang-orang di perkampungan itu. “Pi, ambilkan aku
ember kecil itu.” Perintah ibu cepat kepada Mappi anaknya, ia pun sontak
tergopoh-gopoh melintasi ruang tamu kecil itu, barang kurang dari 60 detik,
mungkin 23 detik saja, Mappi datang dengan ember kecil tepat sesuai permintaan ibu.
Atap tua dari daun kelapa itu telah bocor, hujan membasahi kasur tempat tidur
Mappi, ibu, dan ayahnya, tempat Mappi di lahirkan dari perut ibunya, tempat ia
mendengar cerita, kisahyang lalu-lalu dari mulut ayahnya.
Mappi perempuan belia, saat ini
umurnya sudah memasuki empat Tahun lebih, lahir dari rahim perempuan cantik
bernama Nurwati. Nurwati, perempuan sederhana, satu-satunya perempuan yang
membuat ayahnya tergila-gila, begitulah kata ayah di suatu waktu, saat Mappi
setengah tidur dengan mata setengah terpejam, setengah lagi terbuka, melihat
kedua orang tuanya saling mendekap cumbu,lalu seterusnya yang terdengar hanya
suara bisik pelan dan suara rintih nikmat berkali-kali,Mappi sama sekali tak
mengerti apa gerangan yang sedang terjadi.
***
Melihat Nurwati, perempuan
kampung itu, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Mappi anaknya, bibirnya
merona tanpa pewarna. Kehidupannya sederhana, tak perlu ongkos banyak untuk
memenuhi kebutuhannya, ia sudah pasti tidak seperti perempuan-perempuan pesolek
kebanyakan. Yang membedakan Nurwati dengan anaknya hanya umur dan sedikit
lesung pipi Mappi, yang tidak dimiliki ibunya, tetapi itu tidak harus
menghilangkan kecantikan Nurwati. Mereka hidup bertiga dengan ayahnya, pak Marko,
lelaki yang sekarang berubah menjadi
seorang pemabuk berat,sosok lelaki yang di masa mudanya menjadi idola dari
perempuan-perempuan di perkampungan itu.
Sepertiga malam hujan menutup
redah, menyisakan rintik yang menjatuhi atap dan kelopak daun pisang samping
rumahnya. Ayah belum lagi pulang.“Ibu, ayah kemana? mengapa belum pulang?”
Tanya Mappi kepada ibunya, biasanya selarut ini ayah sudah lama berbaring
bersama Mappi dan menceritakan satu, dua kisah kepada Mappi, sebagai pengantar
tidurnya.“Sebentar lagi dia datang, hujan mungkin menghambat perjalanannya.”Nurwati sebetulnya ikut khawatir, suami belum pulang
sedari siang tadi.
Seusai makan siang tadi, pakMarko
meninggalkan rumah tua itu, Izinnya kepada sang istri adalah ke kebun untuk
memeriksa dan memperbaiki sedikit pagar bambu yang rusak, tumbang dan jeblos
ulah babi hutan itu. Awal musim hujan, memang membuat pak Marko harus setiap
hari memeriksa tanaman jagungnya, kadang ia harus bermalam berhari-hari untuk
memastikan tanaman jagung itu aman dari berbagai ancaman, termasuk babi ganas
yang kerap kali membuatnya cemas dan jengkel. Tetapi tidak, siang tadi sebelum
pak Marko berangkat, ia berjanji untuk kembali, sayur dari daun kelor dan ikan
goreng tumis buatan istri adalah juga makanan kesukaannya, dania pasti kembali.
***
Kelelahan dan rasa kantuk
menunggu sang ayah, membuat perempuan kecil nan manis itu terlelap dalam
pangkuan ibu. Sunyi membalut malam, suara katak terusmenggendang-gendang di ubun-ubun.Rasa cemas, takut, khawatir, terus
berkecamuk dalam batin, suami belum juga datang. Akhirnya Nurwati memutuskan untuk menemui pak
Toba, tetangga sebelah rumahnya. Laki-laki yang sudah kurang lebih 7 tahun
menjalani hubungan suami istri, baru minggu lalu ia mendapat kabar dari mertua
bahwa istrinya, telah mengandung, ia pastilah bahagia, bertahun-tahun mengharap
keturunan, berobat kemana-mana mengharap sembuh dan terbebas dari penyakit
mandul terkutuk itu.
Ia hidup berdua dengan Nanang
Istrinya, perempuan cantik pesolek, perempuan yang tidak kalah cantiknya dengan
Nurwati, bulatan wajahnya masih terlihat muda, ini mungkin disebabkan karena
Nanang belum pernah mengandung dan melahirkan, terlalu banyak mengurung diri
dalam rumahnya membuat kulitnya putih kemerah-merahan. Perempuan yang dulu itusering
kali mengeluh kepada Nurwati karena pak Toba belum bisa memberinya satu orang anak saja kepadanya, tetapi kini
semuanya akan terjawab, sebentar lagi Nanang akan memiliki momongan baru.
Setelah memindahkan Mappi dari
serambi rumah ke kasur tempat tidurnya, ia lekas melanjutkan niatnya untuk
menemui pak Toba, mungkin pak Toba melihat dan mengetahui keberadaan suaminya.
Selain berseberangan rumah, ia juga bertetangga kebun dengan pak Toba. Menjejaki
anak tangga rumah pak Toba, sampailah ia di depan pintu.“Ayah Mappi belum pulang,
katanya ia hanya sebentar.” Tanpa babibu lagi, Nurwati meminta, memohon kepada
pak Toba laki-laki bertubuh kekar itu, untuk menyusul suaminya.
***
Singkat cerita, Toba dan enam
orang lainnya, Jamal, Ikko, Pero’, Mail, dan dua orang lagi, Ikal dan Herman
sontak tergopoh-gopoh melewati pematang sawah sempit dan panjang itu,melewati
pohon besar seabad dengan sejuta mitos yang menakutkan. Konon, pohon itu sudah
hidup jauh sebelum koloni Belanda masuk merampok hampir seluruh isi negeri.
Setiap langkah mereka,dipenuhi kicau
burung aneh dan suara gemerincing jangkrik yang terus mendengung di telinga,
mereka terus berjalan,mereka tidak peduli dengan kecipak air yang hampir
menjengkal akibat hujan lebat di sore tadi, angin keras menyapu hampir seluruh
permukaan sawah, tidak ada cahaya Tuhan terbentang, selain silau lampu senter
Mail, ikko dan Pero’.
Perjalanan sudah lebih sejam, nampak
dari kejauhan macam tembok raksasa, sedikit lagi mereka tiba di bibir hutan.
Langkahnya semakin pelan ketika memasuki lorong yang dipenuhi semak belukar nan
gelap itu. Cuaca dingin menembus pakaian pelindung kulit sampai ke tulang
sum-sum, mereka tetap berjalan pelan. Setelah melawati sungai di penyeberangan
jalan berbatu itu, sampailah mereka di pintu pagar bambu tepat di kaki kebun
milik pak Marko, mendaki tubuh gunung yang lumayan tinggi, membuat napas ke
tujuh orang itu terengah-engah. Mereka pun sampai di permukaan kebun yang
dipenuhi dengan tanaman jagung seusia dini.
Setelah sampai di gubuk tua
milik keluarga pak Marko, Mereka tidak menemukan tanda-tanda keberadaan pak
Marko, nyamuk yang hampir sebesar lalat itu terus menempel, menghisap darah dan
menyetubuhi. Ikko, Jamal dan Pero’ lekas menyusuri sisi lain dari sudut kebun
itu dan hasilnya? mereka tak menemukan apa-apa. Suara gagak hitam memberi
pertanda buruk. Ikal, Herman dan Mail kecuali pak Toba,menyusuri semak-semak, menyusuri
sudut kebun dari arah yang berbeda, sampai menembussisi ruang-ruang gelap
gulita itu.
Dari jarak sekitar 30 meter,
Nampaklah sepasang kaki tak menyentuh tanah, mereka terus mendekat, sepasang
mata yang sangat mereka kenal itu membelalak pucat kebiru-biruan, ya dialah pak
Marko,ia kini berubah menjadi sesosok mayatmengerikan dalam keadaan tergantung,
tali nilon putih sebesar ibu jari itu, menjerat leher dan menghabisi nyawanya,
susul riuh, isak tangis jatuh tak tersadarkan menatap mayat bergantung
itu. Detak jantung melesat tidak seperti
biasanya, mereka benar, suara burung gagak hitam itu menjadi tanda saksi,kabar kematian
pak Marko.
“Cepat panggil Toba.” Perintah
Mail tergesah-gesah kepada salah satu dari mereka, Toba tiba-tiba menghilang dari
kegelapan, apa yang terjadi?, memanggil-manggil pak Toba dan sama sekali tak
ada jawaban, Ikko menyusul si Herman, orang yang baru saja diperintah untuk
memanggil pak Toba, burung gagak hitam itu sekali lagi mengeluarkan suara, dan
kali ini cukup panjang.
Di belakang gubuk
peristirahatan pak Marko, ditemukannya pak Toba dalam keadaan bermandi darah, badik
tajam pusaka peninggalan itu telah tertanam rapat dalam perutnya, napasnya terengah berkali-kali, darah itu terus
menyembur, memuntah dari mulutnya, “Maafkan aku, aaaa’ku telah membunuuuuhnya.”
Ia masih sempat bercerita sebelum tiba napas terakhirdan maut menjemputnya,
meskisuara itu kurang jelas di telinga, tetapi mereka berdua Ikko dan Herman tetap
mengerti apa yang dikatakannya, ternyata perempuan manis yang ditinggalkannya
dalam keadaan mengandung itu bukanlah hasil darah dagingnya, perempuan yang di
malam itu di paksanya mengaku tentang siapa laki-laki bangsat penyebab
kehamilannya, adalah pak Marko. Ya, anak yang berada di kandungannya itu adalah
darah daging pak Marko, tetangga sebelah rumahnya sendiri.
Editor: Andi Haerur Rijal
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar