Dok. Fb


redaksiaklamasi.org – Oleh: Sulaiman Djaya (Dewan Kesenian Banten)

Kala itu, tepatnya pada awal 1950, Ariel Sharon memerintahkan Unit 101, sebuah unit pasukan khusus, untuk melakukan pembantaian terhadap pengungsi Palestina di Gaza dan Yordania. Pada 14 Oktober 1953, Unit 101 yang dipimpin Ariel Sharon menyerang Qibya, sebuah desa kecil di Tepi Barat. Saat itu, unit 101 yang dipimpinnya membantai 69 warga Palestina, dimana sebagian besar dari mereka dibakar hidup-hidup di dalam rumah. Pembantaian Qibya pun memicu kecaman dari seluruh dunia.

Dok. Fb

Bertahun-tahun kemudian, setelah Perang pendudukan 1967, Ariel Sharon pun menjadi gubernur militer di Gaza. Saat itu, dia terkenal sangat brutal dalam menjalankan kebijakan penyiksaan dan pembunuhan terhadap warga Palestina yang melawan rezim pendudukan Apartheid Israel.

Demikianlah selanjutnya, puncak pembantaian yang dipimpin Ariel Sharon adalah invasi 1982 terhadap Lebanon dan pembantaian terhadap warga Palestina di kamp pengungsi Sabra dan Shatila di Beirut. 

Sebagai Menteri Pertahanan Israel kala itu, Ariel Sharon merancang dan memimpin—tentu saja dengan dukungan penuh Amerika Serikat—serangan besar-besaran atas Lebanon. Selama tiga bulan di Musim Panas 1982, jet-jet pembom Israel tanpa henti membombardir Beirut dan kota-kota lainnya. Serangan ini menewaskan tak kurang 20.000 warga sipil Lebanon dan Palestina.

Dok. Fb

Tujuan yang dinyatakan secara terbuka dari invasi tersebut adalah mengusir Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dari Lebanon. Di Lebanon, hidup lebih dari 400 ribu pengungsi Palestina yang diusir dari tanah air mereka untuk melapangkan jalan bagi pendirian negara Israel pada 1948. Secara keseluruhan, sekira 8 juta warga Palestina saat ini hidup dalam pengungsian.

Setelah tiga bulan invasi, pemimpin pusat PLO akhirnya mengalah. PLO mengevakuasi para pejuang mereka dari Lebanon. Sebagai bagian dari perjanjian gencatan senjata yang mengharuskan mereka pergi itu, penduduk sipil Palestina yang tersisa harus ditempatkan di bawah perlindungan internasional.

Tapi Ariel Sharon rupanya belum puas untuk melakukan aksi brutal dan kejinya. Dengan melanggar perjanjian gencatan senjata, tank-tank Israel mengepung kamp Sabra dan Shatila. Kemudian, pada 16 September 1982, dengan persetujuan penuh Ariel Sharon, pasukan penjajah Israel menguasai kamp tersebut. Di sisi lain, boneka Israel di Lebanon yaitu kaum Fasis Maronit, diizinkan untuk memasuki Sabra dan Shatila.

Milisi fasis Maronit sekutu Israel tersebut adalah kelompok pengagum Adolf Hitler, yang disuplai seragam militer oleh Israel dan disediakan senjata. Selama tiga hari, mereka mengamuk di kamp Palestina: menyiksa, memperkosa, dan membunuh. Sebagian besar korban dimutilasi atau dipenggal kepalanya. Tak seorang pun tersisa. Di akhir episode pembantaian, lebih dari 1.900 warga Palestina, perempuan maupun laki-laki, ditemukan dalam keadaan gugur.

Editor: Nur Aisyah Ramadhani


0 komentar Blogger 0 Facebook

Posting Komentar

 
REDAKSI AKLAMASI © 2016. All Rights Reserved | Developed by Yusran016
Top