(Foto: Garda Revolusi Iran. Dok. Sulaiman Djaya) |
redaksiaklamasi.org - Oleh
Abu Husein
Benih-benih ISIS saat ini sesungguhnya memiliki akar yang telah sangat lama, yaitu hasrat membajak agama demi ambisi kuasa dan tirani-fasisme yang seringkali menggunakan segala cara, yang acapkali keji, sembari menipu orang-orang beragama, seperti perilaku politik Muawwiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin Ash dalam Perang Shiffin.
Ada beberapa hal yang perlu kita perjelas keberadaannya baik dalam batasan wacana maupun realitas dalam politik Islam. Pertama, kelompok yang sengaja memolitisasi Islam. Kedua, dugaan-dugaan politik yang ingin di-Islam-kan. Ketiga, etika dan roh politik Islami.
Kala itu Perang Shiffin sudah dimulai. Pasukan Imam Ali bin Abi Thalib hampir saja memenangkan pertempuran. Sebuah hasrat dan nafsu yang mengental kotor telah tersirat di benak Muawwiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Ash manakala mereka menancapkan Al-Qur’an di ujung tombak seraya berteriak nyaring, “Bainana wa bainakum Al-Qur’an” (Antara kami dan kalian terdapat Al-Qur’an).
Muawwiyah dan Amr bin Ash dapat melihat dengan jelas, bila perang itu berlanjut terus, maka mereka akan terpecundangi. Oleh karena itu, Al-Qur’an mereka jadikan alat dan legitimasi untuk dapat mengambil simpati massa –dan massa pun harus tertipu dengan cara mereka yang mengatasnamakan kitab suci itu.
Mereka memolitisasi Islam dan ummat. Muawwiyah dan para sekutunya adalah aktualisasi yang paling transparan dalam memolitisasi Islam untuk sebuah ambisi politik yang di dalamnya terdapat segenap intrik, konspirasi, kolusi dan ribuan bentuk kelicikan lainnya.
Pada akhirnya semua itu bersatu dalam bentuk destruktif. Sementara Imam Ali bin Abi Thalib, dengan nurani Islaminya, bangkit seraya mengatakan, “Mereka adalah orang-orang pencari kebatilan dan telah mendapatkannya”.
Sementara itu, di sisi lain dalam barisan kelompok Imam Ali, ada segelintir pengikut Imam Ali bin Abi Thalib yang juga terkontaminasi. Mereka adalah orang-orang Khawarij –orang-orang yang gemar larut pada simbol-simbol luaran, serta memiliki dugaan-dugaan politik yang ingin mereka Islamkan, sembari mengatakan “La hukma illa-Allah”.
Sayangnya, anggapan-anggapan dan dugaan-dugaan mereka melumat semua akal sehat mereka, dan karenanya mereka masuk dan terjebak pada sebuah kondisi di mana atribut harus didahulukan daripada substansinya.
Imam Ali memberi penilaian terhadap mereka, “Adapun Khawarij adalah orang-orang yang senantiasa mencari kebenaran, tetapi mereka telah keliru dalam memahaminya, akhirnya mereka terjerumus dalam kesesatan”.
Untuk memahami Al-Qur’an, kita perlu memiliki ilmu pengetahuan yang memadai. Tanpa hal tersebut, kita hanya mengikuti dugaan-dugaan tanpa dasar. Imam Ali sebenarnya hanya ingin memberi-tahu keadaan dan kondisi intelektual mereka yang rapuh, jiwa mereka yang labil, dan mudah diombang-ambing karena tak bersandarkan ilmu yang sahih.
Kelompok-kelompok (Khawarij) ini tak hanya berhenti sebatas di stasiun Shiffin saja, mereka terus menggelinding ke dalam kancah sejarah Islam bahkan berganti-ganti bentuk. Namun, isinya tak pernah jauh berbeda dengan sejarah lamanya.
Gerbong-gerbong Khawarij akhir-akhir ini penuh dan berada di sekitar kita dengan ciri-ciri khusus mereka: bodoh, memaksakan kehendak, dan intinya penuh dengan dugaan-dugaan yang tak jelas yang ingin mereka Islamkan, terutama dalam pandangan-pandangan politik mereka.
Kelompok yang terakhir adalah etika (akhlaq) dan ruh politik Islam. Kelompok ini adalah manusia Qur’ani dan sekaligus diwakili oleh washi-nya (pengemban wasiat) Rasulullah, Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau sadar ketika melihat Al-Qur’an yang sedang ditancapkan di ujung tombak, ketika beliau tak mudah tertipu oleh kulit luaran, sementara batin mereka penuh dengan kebatilan.
Maka, beliau mengatakan, “kalimatul haq yurodu biha bathil”, artinya kalimat bahwa Al-Qur’an yang terpampang di ujung tombak itu benar –namun tujuan mereka penuh dengan intrik-intrik kebatilan.
Tak hanya sebatas itu, Imam Ali pun menegaskan, “Itu adalah Al-Qur’an yang bisu, yang terlihat oleh kalian. Sementara aku yang berada di hadapan kalian adalah Al-Qur’an yang berbicara”.
Sebenarnya Imam Ali ingin mengatakan bahwa Al-Qur’an yang sudah menyatu dalam diri manusia akan membentuk penjernihan dalam akal dan jiwa manusia tersebut. Ia akan tercerahi dengan ma’rifat-ma’rifat rabbani.
Maka, manusia yang telah memiliki esensi Al-Qur’an dan berada di dalam Al-Qur’an, tak akan mudah disesatkan oleh segala bentuk yang tampak di permukaan –walau pun keberadaannya dalam lambang-lambang yang religius.
Benih-benih ISIS saat ini sesungguhnya memiliki akar yang telah sangat lama, yaitu hasrat membajak agama demi ambisi kuasa dan tirani-fasisme yang seringkali menggunakan segala cara, yang acapkali keji, sembari menipu orang-orang beragama, seperti perilaku politik Muawwiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin Ash dalam Perang Shiffin.
Ada beberapa hal yang perlu kita perjelas keberadaannya baik dalam batasan wacana maupun realitas dalam politik Islam. Pertama, kelompok yang sengaja memolitisasi Islam. Kedua, dugaan-dugaan politik yang ingin di-Islam-kan. Ketiga, etika dan roh politik Islami.
Kala itu Perang Shiffin sudah dimulai. Pasukan Imam Ali bin Abi Thalib hampir saja memenangkan pertempuran. Sebuah hasrat dan nafsu yang mengental kotor telah tersirat di benak Muawwiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Ash manakala mereka menancapkan Al-Qur’an di ujung tombak seraya berteriak nyaring, “Bainana wa bainakum Al-Qur’an” (Antara kami dan kalian terdapat Al-Qur’an).
Muawwiyah dan Amr bin Ash dapat melihat dengan jelas, bila perang itu berlanjut terus, maka mereka akan terpecundangi. Oleh karena itu, Al-Qur’an mereka jadikan alat dan legitimasi untuk dapat mengambil simpati massa –dan massa pun harus tertipu dengan cara mereka yang mengatasnamakan kitab suci itu.
Mereka memolitisasi Islam dan ummat. Muawwiyah dan para sekutunya adalah aktualisasi yang paling transparan dalam memolitisasi Islam untuk sebuah ambisi politik yang di dalamnya terdapat segenap intrik, konspirasi, kolusi dan ribuan bentuk kelicikan lainnya.
Pada akhirnya semua itu bersatu dalam bentuk destruktif. Sementara Imam Ali bin Abi Thalib, dengan nurani Islaminya, bangkit seraya mengatakan, “Mereka adalah orang-orang pencari kebatilan dan telah mendapatkannya”.
Sementara itu, di sisi lain dalam barisan kelompok Imam Ali, ada segelintir pengikut Imam Ali bin Abi Thalib yang juga terkontaminasi. Mereka adalah orang-orang Khawarij –orang-orang yang gemar larut pada simbol-simbol luaran, serta memiliki dugaan-dugaan politik yang ingin mereka Islamkan, sembari mengatakan “La hukma illa-Allah”.
Sayangnya, anggapan-anggapan dan dugaan-dugaan mereka melumat semua akal sehat mereka, dan karenanya mereka masuk dan terjebak pada sebuah kondisi di mana atribut harus didahulukan daripada substansinya.
Imam Ali memberi penilaian terhadap mereka, “Adapun Khawarij adalah orang-orang yang senantiasa mencari kebenaran, tetapi mereka telah keliru dalam memahaminya, akhirnya mereka terjerumus dalam kesesatan”.
Untuk memahami Al-Qur’an, kita perlu memiliki ilmu pengetahuan yang memadai. Tanpa hal tersebut, kita hanya mengikuti dugaan-dugaan tanpa dasar. Imam Ali sebenarnya hanya ingin memberi-tahu keadaan dan kondisi intelektual mereka yang rapuh, jiwa mereka yang labil, dan mudah diombang-ambing karena tak bersandarkan ilmu yang sahih.
Kelompok-kelompok (Khawarij) ini tak hanya berhenti sebatas di stasiun Shiffin saja, mereka terus menggelinding ke dalam kancah sejarah Islam bahkan berganti-ganti bentuk. Namun, isinya tak pernah jauh berbeda dengan sejarah lamanya.
Gerbong-gerbong Khawarij akhir-akhir ini penuh dan berada di sekitar kita dengan ciri-ciri khusus mereka: bodoh, memaksakan kehendak, dan intinya penuh dengan dugaan-dugaan yang tak jelas yang ingin mereka Islamkan, terutama dalam pandangan-pandangan politik mereka.
Kelompok yang terakhir adalah etika (akhlaq) dan ruh politik Islam. Kelompok ini adalah manusia Qur’ani dan sekaligus diwakili oleh washi-nya (pengemban wasiat) Rasulullah, Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau sadar ketika melihat Al-Qur’an yang sedang ditancapkan di ujung tombak, ketika beliau tak mudah tertipu oleh kulit luaran, sementara batin mereka penuh dengan kebatilan.
Maka, beliau mengatakan, “kalimatul haq yurodu biha bathil”, artinya kalimat bahwa Al-Qur’an yang terpampang di ujung tombak itu benar –namun tujuan mereka penuh dengan intrik-intrik kebatilan.
Tak hanya sebatas itu, Imam Ali pun menegaskan, “Itu adalah Al-Qur’an yang bisu, yang terlihat oleh kalian. Sementara aku yang berada di hadapan kalian adalah Al-Qur’an yang berbicara”.
Sebenarnya Imam Ali ingin mengatakan bahwa Al-Qur’an yang sudah menyatu dalam diri manusia akan membentuk penjernihan dalam akal dan jiwa manusia tersebut. Ia akan tercerahi dengan ma’rifat-ma’rifat rabbani.
Maka, manusia yang telah memiliki esensi Al-Qur’an dan berada di dalam Al-Qur’an, tak akan mudah disesatkan oleh segala bentuk yang tampak di permukaan –walau pun keberadaannya dalam lambang-lambang yang religius.
Editor: Fahrul Fahreza
0 komentar Blogger 0 Facebook
Posting Komentar